11 research outputs found
Prevalensi penderita Overactive Bladder pada pegawai perempuan di lingkungan Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta
Tujuan: Mengetahui prevalensi penderita overactive bladder (OAB)
pada pegawai perempuan di Lingkungan Departemen Obstetri dan Ginekologi
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta serta mengetahui
sebaran gangguan OAB tersebut menurut beberapa faktor risiko seperti
usia, paritas, cara persalinan, status menopause, obesitas dan riwayat
operasi histerektomi.
Rancangan/rumusan data: Studi observasional deskriptif dengan
rancangan potong lintang.
Bahan dan cara kerja: Penelitian ini dilakukan pada 250 orang
responden yang bekerja di lingkungan Departemen Obstetri dan Ginekologi
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta yang memenuhi kriteria,
tanpa batasan usia, yang dipilih secara acak. Lalu diberikan
kuesioner yang terdiri dari beberapa pertanyaan dan dilakukan pengukuran
tinggi dan berat badan untuk menentukan besarnya nilai indeks
massa tubuh (IMT) responden tersebut. Bagi responden yang
menunjukkan gejala-gejala OAB dilakukan pemeriksaan urinalisa untuk
menyingkirkan adanya infeksi saluran kemih maupun glukosuria. Kemudian
bagi responden yang memiliki hasil urinalisa dalam batas normal
diberikan lembaran daftar harian berkemih untuk membuktikan
adanya pola gangguan OAB. Responden yang terbukti mengalami gangguan
OAB tersebut selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik guna menyingkirkan
adanya kelainan organ.
Hasil: Dari 250 orang responden didapatkan 89 orang (35,6%) yang
mengaku mengalami gangguan berkemih (inkontinensia urin) dan sebanyak
66 orang di antaranya menunjukkan gejala klinis OAB sesuai definisi
yang telah ditetapkan oleh The International Continence Society
(ICS) tahun 2002. Rerata usia subjek penelitian OAB ini adalah 40,8 tahun
dengan usia termuda 20 tahun dan usia tertua responden adalah 65
tahun. Responden terbanyak adalah pada kelompok usia 40 hingga 49
tahun yaitu sebanyak 90 orang (36%). Dari 66 orang responden yang
menunjukkan gejala OAB terdapat 40 orang (60,6%) yang memiliki hasil
urinalisa dalam batas normal, terdapat 21 orang (31,8%) glukosuria,
dan yang terdeteksi adanya infeksi saluran kemih (ISK) pada penelitian
ini ada 5 orang (7,5%). Setelah dikonfirmasi melalui lembaran daftar
harian berkemih pada 40 orang responden yang dicurigai menderita
OAB tersebut yaitu yang mempunyai hasil urinalisa dalam batas normal,
didapatkan 39 responden yang terbukti menderita gangguan OAB serta
tidak ditemukan adanya kelainan pada pemeriksaan fisik. Sehingga ketigapuluhsembilan
orang inilah yang akhirnya didiagnosa sebagai penderita
OAB (15,6) dengan 31 orang di antaranya merupakan tipe campuran,
yaitu selain menderita SIU ia juga menderita OAB secara bersamaan.
Usia rerata subjek penderita OAB yang berjumlah 39 orang
tersebut adalah 44,5 tahun dengan nilai SD 7,5. Pada penelitian ini terlihat
kecenderungan timbulnya gangguan OAB dengan pertambahan
usia, cara persalinan pervaginam khususnya dengan bantuan ekstraksi
vakum, jumlah paritas, status menopause, obesitas serta riwayat operasi
histerektomi.
Kesimpulan: Prevalensi penderita OAB pada pegawai perempuan
yang bekerja di lingkungan Departemen Obstetri dan Ginekologi
RSUPNCM Jakarta adalah 15,6% (39 orang). Faktor usia, cara persalinan,
paritas, status menopause, obesitas, dan riwayat operasi histerektomi
merupakan faktor-faktor yang cenderung berpengaruh terhadap
timbulnya gangguan OAB.
[Maj Obstet Ginekol Indones 2008; 32-2: 82-92]
Kata kunci: overactive bladder, urge inkontinensia, stres inkontinensia
urin, daftar harian berkemi
Perbandingan efektivitas dan keluhan efek samping pada penggunaan Dioktil Sodium Sulfosuksinat (DSS)-Sorbitol dan Klisma Gliserin untuk persiapan pra-operasi di Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Tujuan: Untuk mengetahui perbandingan antara pemakaian DSSSorbitol
dengan klisma gliserin untuk persiapan pra-operasi dalam hal
efektivitas, kenyamanan dan keluhan (efek samping) yang ditimbulkan
keduanya.
Rancangan/rumusan data: Uji klinis tersamar tunggal.
Bahan dan cara kerja: Penelitian ini dimulai pada tanggal 1 April
2006 selama 6 bulan, dilakukan pada 180 orang pasien yang akan menjalani
pembedahan elektif di departemen obstetri dan ginekologi RSCM,
dibagi atas 2 kelompok yaitu kelompok yang diberi DSS-Sorbitol (90
orang) dan kelompok yang dilakukan klisma gliserin (90 orang). Pengambilan
sampel dilakukan secara random. Setelah perlakuan, pasien
ditanyakan keluhannya dan dicatat pada kuesioner kemudian selama
operasi berlangsung dilakukan pengamatan dan pencatatan apakah ada
feses yang keluar di meja operasi.
Hasil: Pada kelompok gliserin didapatkan 3 pasien (3,3%) keluar feses
saat operasi sedangkan pada kelompok DSS-Sorbitol didapatkan 1
pasien (1,1%). Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok.
Hampir sebagian besar pasien merasa nyaman dengan pemberian
DSS-Sorbitol (81 orang) hanya 9 orang yang menyatakan tidak nyaman.
Sedangkan pada kelompok gliserin terdapat 30 orang yang merasa tidak
nyaman dan perbedaan ini sangat bermakna {p = 0.000; OR = 4.50 (1.99
- 10.18)}. Terdapat 58 pasien (32,2%) yang mengeluh saat dilakukan
klisma atau pemberian DSS-Sorbitol dengan 9 orang diantaranya mempunyai
keluhan lebih dari satu (8 orang dari kelompok gliserin dan 1
orang dari kelompok DSS-Sorbitol). Dari 58 pasien tersebut, 42 orang
di antaranya diberikan gliserin (46,7%) dan sisanya, 16 orang diberikan
DSS-Sorbitol (17,8%). Keluhan yang paling banyak adalah mulas,
dikeluhkan oleh 40 pasien dari kelompok gliserin dan 10 pasien dari
kelompok DSS-Sorbitol. Keluhan yang lain adalah mual (2 dari kelompok
DSS-Sorbitol, 1 dari kelompok gliserin), pusing (2 dari kelompok
DSS-Sorbitol, 1 dari kelompok gliserin), dan feses tidak keluar (1 dari
kelompok DSS-Sorbitol, 3 dari kelompok gliserin) ditemukan pada
kedua kelompok sedangkan keluhan kembung (3 orang), feses berdarah
(3 orang) dan alat panas (1 orang) hanya ditemukan pada kelompok gliserin.
Sebanyak 114 pasien menyatakan bersedia untuk diulangi persiapan
pra-operasi pembersihan rektum ini, dengan proporsi lebih banyak
yang bersedia dari kelompok DSS-Sorbitol, tetapi perbedaan tersebut tidak
bermakna. Dari perhitungan statistik ternyata kesediaan pasien untuk
diberikan kembali klisma gliserin atau DSS-Sorbitol sangat dipengaruhi
oleh rasa nyaman dan keluhan yang ditimbulkan oleh masingmasing
cara.
Kesimpulan: Pemakaian klisma gliserin sama efektifnya dengan
pemberian DSS-Sorbitol, namun pemberian DSS-Sorbitol lebih nyaman
dan menimbulkan keluhan yang lebih sedikit.
[Maj Obstet Ginekol Indones 2008; 32-1: 55-62]
Kata kunci: DSS-Sorbitol, gliserin, persiapan pra-operas
Korelasi Akurasi antara Kateter dengan Ultrasonografi Transabdominal untuk Mengukur Volume Kandung Kemih
Tujuan: Mencari korelasi antara kateterisasi dengan USG transabdominal
untuk mengukur volume KK dan volume urin sisa dan menentukan
nilai diagnostik USG transabdominal untuk mendiagnosa retensio
urin.
Rancangan penelitian: Penelitian ini merupakan studi observasional
analitik dengan rancangan potong lintang (cross sectional) untuk
menilai korelasi dan menentukan nilai diagnostik.
Tempat penelitian: (1) Klinik Anggrek Divisi Fetomaternal Departemen
Obstetri dan Ginekologi RS Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM),
(2) IGD Lt. III RSCM.
Bahan dan cara kerja: Selama kurun Oktober 2003 sampai Agustus
2004, dilakukan pengukuran volume KK dan volume urin sisa pada
90 pasien postpartum nifas hari pertama, kedua dan ketiga. Volume KK
dan volume urin sisa diukur secara USG transabdominal dibandingkan
dengan hasil pengukuran secara kateterisasi yang merupakan baku emas.
Volume KK dianggap merupakan kapasitas KK dan volume urin sisa
ialah urin yang masih terdapat dalam KK segera setelah pasien
berkemih. USG transabdomina1 digunakan untuk mendiagnosa adanya
retensio urin dengan titik potong urin sisa 200 ml dan kateterisasi sebagai
baku emas. Dilakukan 3 formula USG (formula 1, 2 dan 3).
Hasil: Untuk pengukuran volume KK didapatkan korelasi yang kuat
antara USG formula 1, 2 dan 3 dengan tindakan kateterisasi, masingmasing
dengan R 0,84, 0,87 dan 0,80, tapi hanya formula 2 USG yang
menghasilkan pengukuran volume KK yang tidak berbeda bermakna
dengan tindakan kateterisasi. Pada pengukuran volume urin sisa didapatkan
korelasi yang kuat antara USG formula 1, 2 dan 3 dengan kateterisasi
masing-masing R 0,85, 0,87 dan 0,85, juga hanya formula 2
yang menghasilkan pengukuran urin sisa yang tidak berbeda bermakna
dengan tindakan kateterisasi. USG formula 2 dapat mendiagnosa kondisi
retensio urin dengan Se 87%, Sp 95,5%, NDP (nilai duga positif)
87% dan NDN (nilai duga negatif) 96%.
Kesimpulan: Pengukuran volume KK dan volume urin sisa secara
ultrasonografi transabdominal mempunyai korelasi yang kuat dengan
tindakan kateterisasi. Sehingga USG transabdominal dapat dijadikan sebagai
alternatif dari penggunaan kateter. Hal ini akan membuat tindakan
kateterisasi menjadi lebih selektif. Terutama dalam hal diagnostik seperti
kondisi retensio urin, sehingga penggunaan USG transabdominal
akan mengurangi efek samping berupa infeksi dan trauma akibat penggunaan
kateter yang bersifat invasif.
[Maj Obstet Ginekol Indones 2006; 30-2: 104-11]
Kata kunci: vo1ume KK, volume urin sisa. USG transabdominal,
kateterisasi
Manajemen Risiko Klinik
Tujuan: Memberi pemahaman tentang manajemen risiko klinik.
Bahan dan cara kerja: Kajian literatur.
Hasil: Manajemen risiko klinik merupakan proses yang terencana
dan sistematik untuk menurunkan dan atau mengendalikan kemungkinan
kerugian akibat segala risiko yang ada dalam manajemen pasien.
Manajemen risiko melibatkan kultural, proses, dan struktur yang
ditujukan ke arah manajemen efektif dan pengendalian efek samping.
Prinsipnya adalah identifikasi akar permasalahan, mengarah pada
penilaian risiko medik dalam situasi klinik untuk dapat mengambil
langkah yang rasional dalam rangka mengontrol risiko. Tahap-tahap
manajemen risiko terdiri dari identifikasi, analisa, pengendalian, evaluasi
risiko, yang ditujukan untuk menurunkan risiko serta morbiditas
dan mortalitas. Pada dasarnya, tahapan tersebut berlaku dalam setiap
kasus medik, namun pada situasi gawat darurat diperlukan kecepatan
dan kecermatan yang tinggi untuk memecahkan masalah klinik serta
menentukan tindakan dan terapi yang tepat dalam situasi yang terbatas.
Kesimpulan: Manajemen risiko klinik merupakan suatu metode untuk
mengidentifikasi, mengontrol, memonitor, serta meminimalisasi semua
aspek risiko melalui proses yang terencana dan sistematik untuk
menurunkan dan atau mengendalikan kemungkinan kerugian akibat
risiko yang ada dalam manajemen pasien sehingga terwujud sistem
pelayanan medik yang aman, efektif, dan berkualitas. Dalam menjalankan
praktik kedokteran harus senantiasa berdasarkan pedoman
pelayanan yang berlaku serta pokok-pokok etika kedokteran sesuai dengan
Kode Etik Kedokteran Indonesia.
[Maj Obstet Ginekol Indones 2006; 30-3: 141-4]
Kata kunci: manajemen risiko klinik
Laceration Extension in Median and Mediolateral Episiotomy
Objective: To compare the laceration extension between median
and mediolateral episiotomy in women with perineal body sized
more than 2.5 cm.
Method: A single‐blind RCT study was conducted on 104 women receiving
median episiotomy and 104 women receiving mediolateral
episiotomy at Dr. M. Djamil Hospital Padang and Reksodiwiryo Military
Hospital Padang.
Result: There was no difference in laceration extension in both
groups, but pain in the first 24 hours and pain after day 14 was
higher on mediolateral group than the median group (p=0.005 and
p=0.008, respectively).
Conclusion: There is no difference in terms of laceration extension
between median and mediolateral episiotomy, but the pain is higher
in the mediolateral group.
[Indones J Obstet Gynecol 2015; 1: 38‐43]
Keywords: laceration extension, median episiotomy, mediolateral
episiotom
Unicornuate Uterus with Rudimentary Horn and Complicated with Endometriosis
Objective: To report the congenital abnormalities of müllerian duct and review its literature.
Methods: Case report. Case: A sixteen years old unmarried woman came to our policlinic with chief complain of cyclical abdominal pain (VAS 6). She had regular menstruation. In other hospital, she had diagnosed as suffering from ovarian tumor. Our examination showed that the uterus was unicornuate with rudimentary horn. We did explorative laparotomy. We took out the left cornu and left salpingoophorectomy due to hematosalphing and endometrial cyst. The Visual analogue score after surgery was reduced until VAS 2.
Conclusion: Congenital abnormalities of the müllerian ducts are relatively common. Comprehensive examination can diagnose this abnormality earlier, thus intervention can be given as soon as possible. Keywords: abnormalities müllerian ductus, endometriosi
IIIB-IV Degree Perineal Rupture Repair Using Overlapping and End-to-End Techniques with Pudendal Block Anesthesia
Objective: To compare the incidence of persistent sonographic anal
sphincter defect, fecal urgency, anal and fecal incontinence after IIIb-
IV degree perineal rupture repair using overlapping and end-to-end
technique.
Method: An open clinical trial with randomization was carried out in
July 2010-April 2012. The population consisted of the patients who
underwent vaginal delivery in Dr. Sardjito Central General Hospital,
Sleman District General Hospital, as well as Tegalrejo, Jetis and Mergangsan
Community Health Centers who did no have complaints of
fecal urgency, anal incontinence, and/or fecal incontinence, and suffered
IIIb-IV degree perineal rupture repaired within less than 24
hours of rupture. The exclusion criteria included conditions in which
patients could not undergo repair at the moment (shock, uncooperative
patient). Fourty-eight research samples were divided into 2
groups, 24 samples for each of the treatment group (overlapping repair)
and the control group (end-to-end repair). Local anesthesia was
performed in a pudendal-block manner.
Result: Success of the repair was assessed based on the presence of
persistent sonographic anal sphincter defects in the 6-week evaluation
after repair. Successful repair was higher in the overlapping group
than that of the end-to-end group (94.74% vs 81.25%, p=0.31).
Clinically and based on the Fecal Continence Scoring Scale (FCSS),
evaluation at weeks II and VI indicated successful repair in both
groups.
Conclusion: There was no difference in the incidence of persistent
sonographic anal sphincter defects, fecal urgency, anal incontinence,
and fecal incontinence, after IIIb-IV degree perineal rupture repair
using overlapping technique in comparison with end-to-end technique.
Keywords: end-to-end technique, III-IV degree perineal rupture,
obstetric perineal rupture, overlapping techniqu
Prevalence of Urinary Incontinence, Risk Factors and Its Impact: Multivariate Analysis from Indonesian Nationwide Survey
Aim: to describe the profile of urinary infection (UI) and to analyze its risk factors and impacts. Methods: subjects were enrolled consecutively from pediatric, urology, obstetrics & gynecology, and geriatric outpatient clinics at six teaching hospitals in various regions of Indonesia. Those with urinary tract infection and diabetes mellitus were excluded. The UI questionnaire was adapted from the 3 Incontinence Questions (3IQ). Written informed consent was obtained prior to the interview. Results: about 2765 completed questionnaires were obtained. The overall UI prevalence was 13.0%, which consisted of prevalence of stress UI (4.0%), urgency UI/wet OAB (4.1%), dry OAB (1.6%), mixed UI (1.6%), overflow UI (0.4%), enuresis (0.4%), other UI (0.7%). The prevalence of UI was significantly higher (p0.05) between male and female subjects. Enuresis and urgency UI/wet OAB were the most common UI in pediatric population. The prevalence was 2.3% and 2.1% respectively. Urgency UI and stress UI were the two most common type in adult and geriatric population. Both have an equal prevalence of 4.6%. The multivariate analysis showed that the prevalence of UI increased with LUTS (PR 4.22, 95%CI 2.98-5.97), chronic cough (PR 2.08, 95% CI 1.32-3.28), and fecal incontinence (PR 1.85, 95% CI 1.03-3.32). We found that UI impaired family life (25.3%), sexual relationship (13.6%), and job/school performance (23.7%). Frequent toilet use and reducing fluid intake were the two most common behavior changes. Conclusion: the prevalence of UI in Indonesia is nearly similar to other Asian countries. It increases with age and is not affected by gender. LUTS, chronic cough, and fecal incontinence may have significant effects on the prevalence. UI seems to impact daily life and behavior. Key words: urinary incontinence, daily life, LUTS, prevalence, age
Comparison of Relaxin Levels Between Premenopausal Women and Menopausal Women with and without Pelvic Organ Prolapse
Introduction: Aging has been associated with pelvic floor dysfunction, a condition related to secondary effects of various predisposing factors, including postmenomausal estrogenee levels. Decreasing estrogene levels during this period may manifest in degenerative changes in certain organs, including pelvic organ supporting structures. Other contributing predisposing factors for pelvic floor dysfunction include pregancy and delivery. This physiological condition has also been synergentically associated with the endocrine or hormonal system that prepares reproductive organs and supporting structures during pregancy, known as relaxin. This study was conducted to determine relaxin hormonal levels in premenopausal and menopasual women with and without pelvic organ prolapse Methods: This cross-sectional study examined premenopausal and menopausal women to determine severity degrees of uterine prolapse using the Pelvic Organ Prolapse Quantification (POP-Q). Twenty five patients diagnosed with pelvic organ prolapse were allotted in to the case group whereas 38 non pelvic organ prolapsed patients comprised the control group. Relaxin serum was measured using Enzym Linked Immuno Sorbent Assay (ELISA). Statistics were analysed using the Mann Whitney test. Results: Mean relaxin serum levels in premenopausal pelvic organ prolapsed and non pelvic organ prolapsed women were 91.450 ± 52.962 pq/ml and 109.441 ± 134.365 pq/ml, respectively, indicating no significant difference in relaxin serum levels between the two groups (p>0,05). Mean relaxin serum levels in menopausal pelvic organ prolapsed and non pelvic organ prolapsed women were 56.571 ± 37.875 pq/ml and 56.800 ± 57.097 pq/ml, respectively. Statistic testing also showed no significant difference in relaxin levels between the two groups (p>0,05). Conclusion: Relaxin serum levels in premenopausal pelvic organ prolapsed women did not significantly differ with their non pelvic organ prolapsed counter parts. The same conclusion was drawn between menopausal pelvic organ prolapsed women and their non pelvic organ prolapsed counterparts. Key words : Relaxin serum, menopause, Pelvic organ prolaps
Prevalence and risk factors of persistent stress urinary incontinence at three months postpartum in Indonesian women
Background: Mode of delivery and some certain risk factors have a relationship to postpartum stress urinary incontinence (SUI). For that reason, the objective of this study was to assess the prevalence of postpartum stress urinary incontinence (SUI), the relationship between postpartum SUI and mode of delivery; and the association between SUI and other demographic and obstetric factors.
Methods: In this prospective observational cohort study, all primiparous women who were under postpartum care in obstetric and gynecologic ward were recruited. Four hundreds primiparous women with no history of urinary incontinence (UI) who fulfilled the criteria and would like to participate in this study were followed up for three months after delivery. The analysis was done using Stata 12. Bivariate analysis using Chi-square test and multivariate analysis using logistic regression test were done to obtain associated risk factors to postpartum SUI.
Results: The prevalence of postpartum SUI was 8.8%. The mode of delivery was significantly associated with postpartum SUI, there were more women who got vaginal delivery that had stress urinary incontinence (14.1%) compared to women caesarean section (7.1%) with OR=2.1 (95% CI=1.05-4.31), this risk increased when vaginal delivery was assisted with vacuum instrument (OR=9.1, 95% CI=3.9-21.6). There was no statistical difference of stress urinary incontinence incidences in patients with emergency or elective caesarean section with OR=0.84 (95% CI=0.28-2.57). Based on multivariate analysis BMI ≥30 kg/m2 at labor, vacuum assisted delivery, birth weight more than 3,360 g, and second stage labor more than 60 minutes appeared to be associated with an increased rate of postpartum SUI.
Conclusion: Stress urinary incontinence increased in the early postpartum period of a primiparous woman. Although vaginal delivery increased the risk of postpartum SUI, elective nor emergency caesarean delivery without vaginal delivery id not appear to increase the risk of stress urinary incontinence