6 research outputs found

    PERPADUAN GUIDE SELF STUDY DENGAN PROBLEM BASE LEARNING UNTUK MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR DAN PENALARAN MAHASISWA

    Get PDF
    Paradigma pendidikan yang dianut saat ini adalah Paradigma Baru Sistemik Organik yang menekankan bahwa proses pendidikan formal memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a) Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning), b) Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel, c) Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki kharakteristik khusus dan mandiri dan 4) Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan (Zamroni, 2000). Melihat ciri-ciri proses pendidikan yang demikian itu tidak terlepas dari peran ketiga unsur yaitu, dosen sebagai pengajar, sistem pembelajaran sebagai proses dan mahasiswa sebagai peserta didik. Permasalahan yang menyebabkan kegagalan pendidikan tidak terlepas dari ketiga unsur tersebut, kualitas pengajar, metode pangajaran yang tidak tepat dan peserta didik yang tidak dapat mencapai prestasi yang baik. Berdasarkan fakta empirik, saat ini tampaknya telah terjadi pergeseran paradigma kampus sebagai wadah ketiga unsur tersebut. Proses belajar mengajar dianggap hanya retorika perkuliahan atau pertemuan tatap muka saja, setelah itu masing-masing dosen dan mahasiswa menganggap tugasnya telah selesai. Guide self study dengan Problem-Base Learning yang diharapkan dapat memberikan peningkatan pengertian, penalaran, pemecahan masalah dan mengimplementasikan atau mengaplikasikan dengan baik materi-materi kuliah yang telah diberikan. Model pembelajaran guide self study dan problem-base learning pada kesempatan ini akan dicoba pada mata kuliah Farmakologi Veteriner I pada Semester III. Hasil nilai mahasiswa setelah pelaksanaan Program Teaching Grand mengalami peningkatan dibandingkan dengan hasil evaluasi mahasiswa pada periode tahun sebelumnya yaitu dari nilai A-BC sejumlah 71 orang atau 63,4 % menjadi 101 orang atau 68,2 %, sedangkan untuk nilai C-E mengalami penurunan dari sejumlah 41 orang atau 36,6 % menjadi 47 orang atau 31,8 %. Jumlah mahasiswa yang berada pada peringkat di atas nilai rata-rata adalah terbesar dibandingkan dengan jumlah mahasiswa yang mendapat nilai di bawah peringka

    KARAKTERISASI PROTEIN D-ENDOTOXIN DARI Bacillus thuringiensis SUBSPESIES Israelensis SEROTIPE H-14 SEBAGAI BIOINSEKTISIDAL LALAT

    Get PDF
    Isolasi dan identifikasi Bacillus thuringiensis subspesies Israelensis serotipe H-14 bertujuan untuk memberikan informasi ilmiah tentang fraksi protein 8-endotoksin yang mampu berfungsi sebagai insektisida pada stadium larva dan dewasa dari beberapa spesies lalat. Isolat bakteri Bacillus thuringiensis subspesies. Israelensis serotipe H-14 dengan kode industri Bt. PS201L1 NRRL B-18750 dalam bentuk sheat kristal kering diperoleh dari Koppert Canada Limited. Bakteri selanjutnya perlu dibangkitkan aktivitasnya dan ditumbuhkan pada medium pertumbuhan. Koloni yang tumbuh kemudian diisolasi dan diperiksa di bawah mikroskop untuk memastikan bentuk bakteri. Untuk mengetahui aktifitas fungsional bakteri dilakukan uji biokimiawi dengan TSIA, SIM, Sitrat, Urease, MR/VP, Gula-gula, Glukosa, Laktosa, Maltosa, Manosa, Sukrosa, Dulsitol, Dekstrose, Raminose, Ratinose, Arabinose, Inulin, Salisin. Isolasi dan identifikasi protein bakteri dilakukan dengan mengambil dari koloni yang tumbuh pada medium biakan dan dimasukkan ke PBS, selanjutnya disentrifugasi dan substrat siap untuk diseparasi berdasarkan berat molekulnya dengan SDS-PAGE. Demikian pula dengan toksin yang disekresikan diambil dari medium cair, kemudian dilakukan presipitasi dengan Ammonium Sulfat jenuh sama banyak selama 24 jam pads suhu 4° C. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini ditemukan berat molekul protein dari whole bakteri Bacillus thuringiensis subspesies israelinsis sebesar 103, 90, 78 dan 57 kDa dan berat molekul protein hasil presipitasi sebesar 103, 90, 78, 57, 53, 44, dan 33 kDa. Berat molekul protein tunggal 8-endotoksin sebesar 103 kDa yang diduga mempunyai aktifitas sebagai insektisidal alami

    PROFIL, PRODUKSI DAN UJI AKTIFITAS PROTEIN ENDOTOXIN DARI Bacillus thuringiensis SUBSPESIES israelensis SEROTIPE H-14 SEBAGAI INSEKTISIDAL PADA BERBAGAI LARVA NYAMUK

    Get PDF
    Saat ini mulai dikembangkan biopredator baik pada stadium larva maupun dewasa dari serangga. Salah satu alternatif adalah pemanfaatan Bacillus thuringiensis yang digunakan untuk kontrol parasit nyamuk Hipotesis yang dapat diajukan pada penelitian ini adalah didapatkan profil protein Bacillus thuringiensis subspecies Israelensis. Terdapat perbedaan yang bermakna pada uji aktifitas whole bakteri dan S-endotoksin Bacillus thuringiensis subspecies Israelensis terhadap jumlah kematian larva dan nyamuk dewasa Culex pipien fatigans dan Aedes aegypti. Tujuan penelitian mengidentifikasi Bacillus thuringiensis subspesies Israelensis H-14 dan karakterisasi protein S-Endotoksin, mendapatkan fraksi protein S-Endotoksin dari Bacillus thuringiensis subspesies Israelensis H-14 melalui biakan pada media pertumbuhan dan purifikasi. Uji aktifitas whole bakteri dan S-Endotoksin dari Bacillus thuringiensis subspesies Israelensis H-14 sebagai Insektisidal pada larva dan nyamuk dewasa Culex pipien fatigans dan Aedes aegypti secara invitro. Isolat baked Bacillus thuringiensis spp. Israelensis serotipe H-14 dengan kode industri Bt PS 18749 dalam bentuk sheets kristal kering diperoleh dari Kopper Canada Limited. Selanjutnya bakteri dipreparasi dan diidentifikasi mulai dan ditanam pada medium pembangkit, medium pembiakan, uji biokimiawi, pewarnaan gram dan spora sampai pada pembiakan untuk dipakai penentuan profil protein dan uji coba pada larva nyamuk. Identifikasi protein dilakukan dengan membandingkan profit protein Whole bakteri dan hasil presipitasi. Pemurnian protein dilakukan untuk mendapatkan protein tunggal S-endotoksin yang bersifat insektisidal. Untuk mengetahui afinitas antibodi dengan antigen protein S-endotoksin dilakukan Western Blot. Elisa juga dilakukan untuk mendapatkan konsentrasi antibodi poliklonal yang optimal setelah diimunisasi dengan fraksi protein S-endotoksin. Whole bakteri dan S-endotoksin diuji coba pada larva nyamuk Culex pipien fatigans dan Aedes aegypti. Hasil yang diperoleh Telah ditemukan profil protein whole bakteri Bacillus thuringiensis subspesies Israelensis sebesar 102, 90, 78 dan 57 kDa dan profit protein hasil presipitasi sebesar 102, 90, 78, 57, 53, 44 dan 33 kDa. Telah ditemukan profil protein tunggal S-Endotoksin sebesar 77,4 kDa yang diduga mempunyai aktifitas insektisidal. Uji aktifitas whole baktari pada larva Culex pipien vatigans dan larva Aedes aegypti menunjukkan konsentrasi optimal sebesarlO. Sedangkan uji aktifitas S-Endotoksin menunjukkan konsentrasi optimal sebesar 400 µg. Tidak didapatkan perbedaan yang signifikan pangaruh pemberian suspensi bakteri terhadap kematian nyamuk dewasa Culex pipien vatigans dan Aedes aegypt

    IDENTIFIKASI DAN PRODUKSI ANTI BODI POLIKINAL, PROTEIN SPESIFIK EKSKRESI SEKRESI Haemonchus Contortus SEBAGAI BAHAN DIAGNOSTIK HAEMONCHHOSIS PADA DOMBA DAN KAMBING

    Get PDF
    Diagnosis terhadap penyakit cacing gastrointestinal sampai saat ini ditetapkan melalui pemeriksaan tinja dengan metode konsentrasi maupun apung, natnun untuk mendiagnose haemonchosis masih harus melakukan nekropsi dan dilanjutkan dengan cara pemupukan tinja untuk mengidentiflkasi stadium larva sehingga bisa ditentukan spesiesnya. Diagnosis secara serologis untuk menentukan spesies secara tepat dan cepat sampai saat ini di Indonesia belum ada laporan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memproduksi antibodi poliklonal protein spesifik ekskresi sekresi cacing fl. contortus. Diharapkan dengan didapatkan protein spesifik ekskresi sekresi dan dilanjutkan produksi antibodi poliklonal, dapat digunakan sebagai bahan diagnosis molekular haemonchosis pada domba dan kambing. Protein ekskresi sekresi yang bersifat imunogenik selanjutnya dapat dikembangkan sebagai bahan vaksin sub unit dalam penanggulangan haemonchosis pada domba dan kambing. Cacing H. contortus betina dewasa dikultivasi dalam medium PBS untuk tujuan isolasi protein ekskresi sekresi dan isolasi protein Whole didapat dengan metode sonikasi cacing utuh. Hasil isolasi protein kemudian dilakukan elektroforesis dengan SDS-Page untuk menentukan fraksi protein yang dihasilkan. Protein selanjutnya diinjeksikan pada kelinci untuk mendapatkan antibodi poliklonal yang akan digunakan proses imunobloting untuk mendapatkan protein imunogenik. Identifikasi protein imunogenik dilakukan dengan western blot dan protein ekskresi-sekresi yang imunogenik dipisahkan dengan kolum kromatografi. Protein ekskresi sekresi yang imunogenik basil pemisahan dengan kromatografi digunakan sebagai bahan produksi antibodi poliklonal protein spesifik pada kelinci. Pengukuran titer antibodi yang didapat dilakukan dengan uji ELISA. Setelah mencapai titer antibodi yang tinggi, kelinci dibunuh untuk mendapatkan serum yang mengandung antibodi terhadap protein spesifik ekskresi sekresi H. contortus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa protein ekskresi sekresi dengan bet-at molekul 33,5 kDa dan 29,4 kDa merupakan protein imunogenik dan dapat diproduksi pada kelinci. Disarankan penelitian lebih lanjut penggunaan protein ekskresi sekresi yang bersifat imunogenik dan protein dari stadium lain untuk pengembangan vaksin sub unit terhadap haemonchosis. Antibodi poliklonal yang didapatkan sebelum digunakan sebagai bahan diagnostik perlu dilakukan sensitivitas dan spesifitas serta dilanjutkan uji silang dengan protein cacing Nematoda lain khususnya kelompok Strongyloidc, sehingga antibodi poliklonal yang dipakai hanya spesilik terhadap fl. con/ rIus pada kambing dan domba di lapangan

    EFEK SITOTOKSIK IN VITRO DARI EKSTRAK BUAH MAHKOTA DEWA (Phaleria Macrocarpa) TERHADAP KULTUR SEL KANKER MYELOMA

    No full text
    Kanker merupakan penyebab kematian kedua setelah penyakit kardiovaskuler di negara maju, sedangkan di negara berkembang merupakan penyebab utama kematian (Rang,1995). Usaha pengobatan kanker telah banyak dilakukan, tetapi belum memberikan basil yang memuaskan sehingga banyak penderita kanker dalam stadium dini lebih memilih pengobatan alternatif Mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) merupakan salah satu tanaman yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai obat tradisional untuk mengatasi berbagai keluhan antara lain untuk diabetes, liver, antimikroba, hipertensi dan kanker (Anonim, 1989, Hartwell, 1987; Perry, 1980). Penelitian yang dilakukan oleh Lisdawati (2002) menunjukkan bahwa tanaman mahkota dewa mengandung berbagai macam bahan bioaktif antara lain terpenoid, alkaloid, saponin dan polifenol. Menurut Wiryowidagdo (2000) tanaman yang mengandung flavonoid, saponin, alkaloid dan polifenol, pada umumnya mempunyai efek sebagai sitotoksik dan antioksidan. Berdasarkan pada kandungan bahan aktif yang ada pada buah mahkota dewa sebagai sitotoksik, maka perlu dilakukan penelitian efek sitotoksisitasnya terhadap kultur sel mieloma. Buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) diekstraksi dengan cara maserasi menggunakan pelarut metanol. Ekstrak cair yang didapat, divapkan hingga didapat ekstrak kental. Dari ekstrak kental dibuat larutan uji dengan konsentrasi 5; 2,5; 1,25; 0,625; 0,312 mg/ml. Sebagai kontrol pelarut metanol dibuat dengan konsentrasi 10; 5; 2,5; 1,25 dan 0,625%, konsentrasi ini berdasarkan kandungan pelarut metanol yang ada pada masing-masing larutan uji. Sedang kontrol negatif hanya berisi suspensi set mieloma. Masing-masing larutan uji, larutan kontrol ditambahkan ke dalam suspensi sel mieloma dan kontrol negatif diinkubasi selama 24 jam pads suhu 37°C pada inkubator CO2. Setelah diinkubasi dilakukan penghitungan jumlah sel hidup dan mati menggunakan hemositometer dengan pewarnaan tripan biro. Viabilitas sel dinyatakan sebagai presentase sel yang hidup terhadap jumlah sel total. Data hasil percobaan diolah secara statistik dengan ANAVA satu arah menggunakan program SPSS 10.0 for Windows, jika hasil ANAVA terdapat perbedaan diantara perlakuan dilanjutkan dengan uji LSD. Hasil analisis varian diperoleh nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05, hal ini menunjukkan ada perbedaan diantara perlakuan. Dan uji LSD didapat bahwa ada perbedaan yang bermakna antara kontrol negatif dan kontrol pelarut metanol dengan semua konsentrasi larutan uji. Penurunan viabilitas sel mieloma seiring dengan penambahan ekstrak uji. Sedangkan antara kontrol negatif dengan semua konsentrasi dari kontrol pelarut metanol tidak ada perbedaan yang bermakna. Pada penelitian ini pemberian ekstrak buah mahkota dewa pads semua konsentrasi sudah dapat menyebabkan kematian sel mieloma. Pada dosis tertinggi yaitu 5 mg/ml mampu mematikan sel mieloma sebesar 24,75 %

    PROFIL DAN IDENTIFIKASI SERUM AMILOID PROTEIN (SAP) SEBAGAI PROTEIN FASE AKUT PADA MENCIT YANG DIPAPAR Salmonella enteritidis

    Get PDF
    Protein Fase Akut merupakan kelompok molekul yang secara fungsional dan struktural ditampilkan pada spesies tertentu dalam ekspresi dan respons inflamasi. Operasi dengan pembedahan pada manusia dan hewan, secara klinik dapat menimbulkan infeksi bakteri, variasi kanker, infeksi bakteri buatan, infeksi parasit dan injeksi bahan iritan pada mencit, semua itu dihubungkan dengan peningkatan protein fase akut dalam plasma (Dale et al. 1995). Salah satu protein fase akut yang dideteksi kadarnya meningkat dalam serum 100-1000 kali selama inflamasi adalah Serum Amiloid Protein (SAP). Dengan demikian SAP dapat dipakai salah satu indikasi kejadian infeksi akut oleh agen patogen. Protein fase akut juga memainkan peranan dalam ikatan dengan antigen atau imunogen agen infektif, proses opsonisasi, koagulasi darah, sebagai antiproteinase (Protocol online, 1996). Penelitian ini mempunyai tujuan jangka panjang untuk memanfaatkan secara maksimal potensi peran yang dimiliki oleh Serum Amiloid Protein dalam diagnosa dini, mencegah infeksi berkelanjutan dan secara hematologis memainkan peran antifibrinolisis untuk mencegah kerusakan jaringan. Sedangkan tujuan jangka pendek adalah mengidentifikasi SAP sebagai protein fase akut dari mencit yang diinokulasi Salmonella enteritidis dengan metode SDS-Page. Selama ini deteksi dini suatu penyakit infeksius selalu diupayakan dengan mencari molekul yang berperan baik dalam memodulasi respons imun maupun inflamasi, karena keduanya merupakan fenomena yang melibatkan mediator kimiawi yang berperan dalam proses imunitas. Peran SAP sebagai molekul yang mempunyai afinitas tinggi terhadap imunogen dan bersifat protektif terhadap patogen belum banyak diketahui, sebagaimana yang dijelaskan oleh Noursadeghi et al. (2000) bahwa Serum Amiloid Protein mengadakan ikatan dengan Streptococcus pyogenes. Neisseria meningitidis termasuk juga LPS Bari strain ganas Escherichia coli, ikatan tersebut mempunyai pengaruh anti opsonin yang kuat baik in vitro maupun invivo. Pentingnya peran SAP dalam mendeteksi secara dini kasus-kasus infeksi dan inflamasi, sebagai protektor agen infektif dan mencegah degradasi jaringan melalui peran antiproteinase, sehingga perlu dilakukan isolasi SAP, pembuatan antibodi poliklonal spesifik sampai dengan uji coba secara klinis pads hewan coba maupun kultur sel. Semua itu dapat dilakukan apabila diketahui terlebih dahulu dan diidentifikasi protein SAP di serum, dengan teknik separasi SDS-Page merupakan langkah awal untuk identifikasi protein tersebut
    corecore