19 research outputs found

    MANAJEMEN KULTUR ROTIFER DENGAN TANGKI VOLUME KECIL

    Get PDF
    Keberhasilan pembenihan ikan sangat dipengaruhi keberhasilan produksi jasad pakan rotifer secara tepat dan efisien. Penelitian kultur rotifer dengan tangki volume kecil bertujuan untuk mendapatkan efisiensi produksi yang paling optimal dan memenuhi prinsip dasar akuakultur low volume high density. Penelitian menggunakan tangki polyethylene dengan volume 500 L dan volume media awal 100 L, padat tebar awal 200 ind. rotifer per mL dengan sediaan pakan dasar fitoplankton Nannocloropsis occulata, ragi roti (0,05 g/mio.rot./feeding) dan suplemen Scott emulsion (0,005 g/mio.rot./feeding). Penelitian dilakukan secara bertahap; tahap pertama (I) tanpa penambahan air laut, peningkatan volume hanya dari penambahan 15 L Nannochloropsis tiap hari sampai hari kelima, tahap kedua (II) dengan penambahan alga 40 L dan air laut 40 L; serta tahap ketiga (III) dengan menggandakan pemberian ragi roti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada percobaan tahap I: total produksi rata-rata 122,37 x 106 ind. rotifer, pada tahap II: 97,67 x 106 ind. rotifer, dan pada tahap III: dicapai rata-rata total produksi tertinggi dengan 187,17 x 106 ind. rotifer per tanki kultur 500 L. Pengelolaan kultur pada tahap III memberikan hasil terbaik dengan simpangan terkecil antar tangki kultur ulangan, dan membuktikan sebagai pengelolaan terbaik untuk kultur rotifer dengan tangki volume kecil. Success of marine seed production is highly influenced by effective and efficient production performance of life food rotifer. Observation on rotifer culture using small volume tank was aimed to get the optimum production and efficiency, to fulfill the basic principle of aquaculture “low volume high density”. Polyethylene tanks of 500 L. were used as culture container, with initial 100 liter sea water as culture medium and initial density of 200 ind. rotifer per mL. N. occulata, baker yeast (0.05 g/mio.rotifer/feeding) and Scott emulsion (0.005 g/mio.rotifer/feeding) were used as basic feed, and applied differently among three trials. First trial without seawater addition, increasing volume of culture media was only from 15 L. of N. occulata within 5 days culture, second trial was done with addition of seawater of 40 L and 40 L of N. occulata every day; and the last trial with twice dosage of baker yeast from trial I and II. The result showed that the average total production from the first trial was 122.37 x 106 ind. rotifer and the second trial was decreased to 97.67 x 106 ind. rotifer. Highest average total production was achieved by the last trial with 187.17 x 106 ind. rotifer per culture tank 500 L. Culture management on the third trial gave the best result with the lowest deviation among replication tanks, and proved as the best management practice for small-scale culture container

    SATIATION AND DIGESTION RATE OF MANGROVE SNAPPER FINGERLING (Lutjanus argentimaculatus)

    Get PDF
    Mangrove snapper is an economically value in domestic as well overseas market, but supplies are mostly sourced from the wild. Observations on satiation and digestion rate of fingerlings was undertaken to provide basic information for culturing mangrove snapper. Ten fingerling mangrove snapper (body weight 3.8—19.5 g) were stocked into each of nine plastic 200 L tanks. After starvation for 24 hours, fish were fed with chopped ‘trash’ fish and the amount of eaten feed was record as satiation data. Feeding data was recorded after 4 hours feeding. The satiation rate for juvenile mangrove snapper followed the power regression line Y=0.4503x-0.6472. Thus, in larger juveniles the satiation rate was lower. Digestion rate followed a polynomial regression line, indicating that digestive activity was not the same during observation time, and analysis of two linear regressions shown that the flection point for digestion rate occurring after 10 hours when digestion rate reached 72%. These results indicate that the optimum feeding rate for mangrove snapper fingerling was 72% of satiation, and optimum feeding frequency two times per day

    BEBERAPA TEKNIK TRANSPORTASI IKAN LAUT HIDUP DAN FASILITASNYA PADA PERDAGANGAN IKAN LAUT DI BELITUNG

    Get PDF
    Permintaan produk perikanan laut di masa datang tidak dapat dipenuhi hanya dari hasil penangkapan, sehingga produksi hasil budidaya akan memegang peranan sangat penting pada pemenuhan kebutuhan ikan yang berkualitas, karena dapat disampaikan dalam kondisi hidup. Teknik transportasi ikan laut hidup menjadi faktor utama bagaimana menyampaikan produk budidaya sebaik mungkin. Observasi pada kegiatan transportasi ikan laut hidup dilakukan di wilayah budidaya laut di Belitung bertujuan untuk mengetahui perkembangan teknologi transportasi ikan laut hidup dan faktor-faktor penting dalam penyelenggaraannya. Wawancara dan dokumentasi dilakukan sebagai cara untuk menghimpun data dan informasi. Hasil observasi menunjukkan ada tiga bentuk teknik transportasi ikan laut hidup di wilayah Belitung, yaitu transportasi laut, transportasi darat, dan transportasi udara. Faktor yang berperan pada transportasi ikan laut hidup adalah kualitas media, pemuasaan, pendinginan, pembiusan, oksigenasi, dan kadar garam. Faktor-faktor tersebut berkaitan dengan proses-proses pencernaan, metabolisme hingga konsumsi oksigen. Butir penting dari transportasi ikan laut hidup adalah menurunkan tingkat konsumsi oksigen serendah mungkin, meniadakan pencemaran pada media pengangkut, menstabilkan kondisi oksigen terlarut dan suhu media pengangkut, serta meningkatkan daya angkut

    EFFECT OF MICROALGAE ON GROWTH AND FATTY ACID PROFILES OF HARPACTICOID COPEPOD, Tisbe holothuriae

    Get PDF
    Growth of marine copepods is influenced by feed. The purposes of this trial were to observe both growth and fatty acid compositions of harpacticoid copepod nauplii, Tisbe holothuriae by feeding with several microalgal species in laboratory: (A) Isochrysis tahiti; (B) Nannochloropsis oculata; (C) Rhodomonas sp., and (D) Tetraselmis chuii. The trial was carried out for 35 days with randomized complete design and triplicates in each treatment. The results showed that final copepod nauplii densities were not significantly different (P>0.05) in all treatments. However, lipid content of copepod nauplii fed with T. chuii was significantly higher (P<0.05) compared to that of other treatments while fatty acid profiles of EPA, DHA and DHA/EPA ratios showed both insignificant and significant differences among treatments

    KENDALA PADA PENDEDERAN BENIH IKAN BERONANG LADA (Siganus canaliculatus) PADA KERAMBA JARING APUNG DI PERAIRAN PULAU SIRAI, TANJUNGPINANG

    Get PDF
    Beronang lada (Siganus canaliculatus) adalah kelompok ikan yang banyak ditemukan di perairan pantai dan rataan terumbu karang, memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi terutama pada saat hari raya Imlek, di mana ikan yang matang gonad sangat digemari dan mencapai harga tertinggi hingga Rp 110 ribu/kg. Hal ini menarik minat pembudidaya untuk memelihara dan membesarkan dengan tujuan mencapai ukuran matang gonad pada saat tersebut. Ketersediaan benih yang melimpah dan mudah diperoleh menyebabkan pengusaha memelihara dengan kepadatan tinggi hingga 5 ribu ekor per kurungan berukuran 3 m x 3 m x 2 m (18 m3), dengan sediaan pakan potongan padang lamun dan pelet kakap komersial seri KPA 3-4. Kendala kematian benih yang cukup tinggi muncul pada saat pemeliharaan, yang dicirikan dengan gerakan abnormal, mulut kemerahan, dan ekor yang terkikis. Pengamatan lapang dilakukan pada fasilitas pemeliharaan dan wawancara untuk mendapat gambaran umum kondisi budidaya, serta pengambilan sampel benih sehat dan yang bermasalah untuk observasi visual (organoleptik) maupun secara mikroskopik. Hasil pengamatan dengan miksroskop diketahui mulut yang memerah disebabkan kerusakan pada gigi dan bibir, serta ekor yang terkikis lebih disebabkan gigitan benih ikan yang sehat. Perbaikan manajemen budidaya disarankan dilakukan dengan mengurangi tingkat kepadatan, penggunaan pelet basah (moist pellet) serta meningkatkan frekuensi pemberian pakan diharapkan dapat membantu mengatasi permasalahan

    PERKEMBANGAN AWAL LARVA KERAPU KERTANG (Epinephelus lanceolatus)

    Get PDF
    Observasi pada larva kerapu kertang (E. lanceolatus) dilaksanakan di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut (BBRPBL), Gondol-Bali, untuk mengumpulkan informasi dasar tentang perkembangan awal morfologi larva yang penting untuk menunjang keberhasilan pembenihannya. Larva berasal dari telur hasil pemijahan yang dirangsang dengan hormon (di Taiwan) dan ditransportasikan segera setelah menetas (D-0) melalui transportasi udara ke laboratotium pembenihan BBRPBL, Gondol. Pengamatan dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas tangki 500 L dengan sistem air resirkulasi. Dari data yang dihimpun diketahui bahwa rata-rata panjang total larva (D-1) 2,48 mm; D-8 3,17 mm; dan tumbuh dengan cepat mencapai 10,79 mm pada D-19. Kuning telur larva yang berumur sehari (D-1) rata-rata bervolume 150,3 x 10-4 mm3 dan pada hari ketiga terserap 42,61% dan habis pada hari keempat (D-4). Butir minyak larva D-1 sebesar 41,9 x 10-4 mm3 dan masih tersisa sebesar 0,34 x 10-4 mm3 sampai dengan D-6. Mulut larva diperhitungkan sudah mencapai lebar sebesar 200 μm pada D-2. dan mampu untuk memangsa rotifer sejalan dengan pigmentasi mata yang mulai terjadi pada D-2 dan sempurna pada D-3. Dari analisis pertumbuhan terjadi titik belok (flexion point) pada D-8 dan setelah itu terjadi kurva pertumbuhan yang cepat y= 0,6747x-2,5508. Berdasarkan hasil observasi tersebut maka pemberian pakan awal untuk larva kerapu kertang sudah bisa diberikan pada D-2 akhir (sore), pada D-8 komposisi pakan alami sudah harus diubah dengan memberikan pakan yang lebih besar dan bernutrisi tinggi.Observation on early development of E. lanceolatus larvae have been conducted in laboratory condition at Gondol Research Institute for Mariculture (GRIM) Bali; the purpose was to gain basic data mainly on the larval development stage to support both larval rearing and aquaculture technique of this species. The larvae from egg were produced by induced spawning technique and transported on D-0 to GRIM. Observation have been conducted in 500 L tank with recirculation (close system) facilities. Morphological data showed that the total length of larvae on D-1 was 2.48 mm, became 3.17 mm on D-8 and grew faster to reach 10.75 mm on D-19. The volume of yolk on D-1 was 150.3 x 10-4 mm3 and was absorbed 42,61% on D-3 and finished on D-4. Oil globule on D-1 was 41.9 x 10-4 mm3 and still remained 0.34 x 10-4 mm3 on D-6. The mouth width of larval was 200  μm on D-2 and able to catch and feed rotifer in line with eye pigmentation where started from D-2 (in the afternoon) and became completed on D-3 early morning. The flexion point was on D-8 with faster growth with curve at y= 0.6747x–2.5508 afterward. Based on this result, there are some key points, first feeding for king grouper larvae might start on late D-2, and on D-8 larval feed should be changed with bigger size and more nutritious feed

    PRELIMINARY STUDY ON POPULATION DYNAMIC OF HARPACTICOID COPEPOD Euterpina acutifrons IN CULTURE CONDITION

    Get PDF
    The most important factor to high mortality rate in larval rearing is feeding success in early larval stage related to kind and size of natural live food. Copepod basically is the main source of natural food in the open ocean having some advantages such as smaller size of nauplii, attractive movement and high nutritional value. Observation on population dynamic of harpacticoid copepod Euterpina acutifrons was carried out using 5-L plastic bucket with initial density 100 ind./L. Green algae Nannochloropsis sp. was added to culture media at density of 50,000 cells/mL as a basic feed and additional feeds given were wheat flour (group A) and chicken liver (group B) at a rate of 50 mg/bucket. The result showed that there was no difference on population pattern in both groups where the incubation time took eight days to hatch, from nauplii to the copepodite stage was three days and from copepodite to adult copepod took five-to-six days. The differences came up from population number: in group (A) the highest number of copepod-bearing-egg was only 133 ind., nauplii production up to 62,833 ind. and number of copepodites was 22,333 ind. lower compared to group (B) with the highest copepod-egg was 308 ind., nauplii was 113,333 ind. and copepodite was 51,167 ind. The conclusion pointed out that the kind of food did not influence population pattern (quality) but gave effect to population growth

    KULTUR ROTIFER DENGAN BEBERAPA JENIS PAKAN DAN KOMBINASINYA

    Get PDF
    Tujuan penelitian untuk mengetahui jenis dan kombinasi pakan yang terbaik pada kultur rotifer secara intensif. Penelitian menggunakan pakan alga Nannochloropsis oculata, ragi roti (Saccharomyces cerevisiae), vitamin B dan Scott’s emulsion, perlakuan pakan A) N.oculata, B) ragi roti + Scott’s emulsion, C) Ragi roti + Scott’s emulsion + Vit.B12, dan D) N.oculata + ragi roti + Vit.B12 + Scott’s emulsion. Wadah penelitian menggunakan kontainer plastik putih volume 20 L. dengan media pemeliharaan 18 L, densitas awal adalah 56 ekor rotifer/mL. Produksi tertinggi adalah 33,4 juta ekor         rotifer (1.867 ekor rotifer/mL) pada perlakuan D) dengan persentase produksi telur harian mencapai 29%. Peringkat kedua produksi ada pada perlakuan A) yang hanya mengandalkan N. oculata. Hasil pengamatan menunjukkan peranan vital alga sebagai dasar sumber energi yang akan berlipat hasilnya dengan penambahan suplemen yang essensial untuk memacu kemampuan reproduksi rotifer. Intensifikasi budidaya dan produksi rotifer dapat dikembangkan dengan pakan dasar alga dikombinasikan dengan suplemen essensial, dan didukung pengaturan kondisi pencahayaan yang tepat, diyakini akan memberikan hasil yang optimal.The aim of this study was to find out types of feed and their combinations for intensive culture of rotifer. Feeds used were Nannochloropsis oculata, beaker yeast (Saccharomyces cerevisiae), vitamin B12 and Scott’s emulsion. The treatments consisted of A) N.oculata, B) beaker yeast + Scott’s emulsion, C) beaker yeast + Scott’s emulsion + Vit.B12, and D) N. oculata + beaker yeast + Vit.B12 + Scott’s emulsion. White plastic containers were used for culturing the rotifer in 18 L. culture medium, with initial density of 56 ind./mL. The highest production was 33.4 million rotifers (1,867 rotifer/mL) in treatment D with daily production of eggs of 25%, and the second was reached by treatment A) (algae only). This result showed the important role of algae as a basic energy source for growth and rotifer reproduction can be accelerated with the addition of essential supplements. Development of intensive culture of rotifer using algae as a basic feed, combined with essential supplements, and cultured under appropriate light intensity could result in optimum growth of rotifer

    PERKEMBANGAN AWAL LARVA KAKAP MERAH, Lutjanus sebae

    Get PDF
    Telaah perkembangan awal larva kakap merah L. sebae dilakukan dalam kondisi laboratorium di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Lau

    KERAGAAN COPEPODA CYCLOPOIDA: Apocyclops sp. PADA KONDISI KULTUR

    Get PDF
    Copepoda pada dasarnya adalah udang berukuran mikroskopik yang menjadi rantai pakan alami yang penting di perairan bebas. Investigasi jenis-jenis copepod lokal akan membantu menyiapkan informasi untuk pengembangan budidayanya sebagai jasad pakan alami. Penelitian dilakukan dengan mengkoleksi jenis Cyclopoida lokal perairan pantai Gerokgak, Buleleng, Bali, diisolasi dan dikembangbiakkan dengan pakan kombinasi antara alga Nannochloropsis oculatta, tepung terigu, ragi roti, dan hati ayam dalam tangki beton 5 m3. Tiga ratus individu Cyclopoida yang membawa telur ditempatkan pada tiga wadah kultur bervolume satu liter. Pengamatan pada pertumbuhan individu dilakukan dengan sampling setiap hari dan setiap dua hari untuk melihat perkembangan telurnya. Jenis Cyclopoida lokal termasuk famili Cyclopidae dan genus Apocyclops spp. Kecepatan pertumbuhan mencapai 20 µm setiap harinya, dan dari fase copepodit mencapai ukuran dewasa membawa telur dianalisis selama 12 hari, perkembangan telur memerlukan waktu maksimal 10 hari, sehingga estimasi siklus umur minimal adalah 22 hari. Produktivitas rata-rata telur Apocyclops spp. pada penelitian ini diestimasi sebanyak 36 (minimum16-maksimum 65) butir per individu betina. Penelitian kultur lebih lanjut difokuskan pada optimalisasi suhu, salinitas, oksigen terlarut pada media hingga optimalisasi pada jenis pakan.Copepod, a microscopic shrimp, is an important member in natural food chain in waters. Investigating the types of local copepod will provide valuable information for the development of other natural live feed culture. The research was carried out by collecting local Cyclopoida species from Gerokgak coastal waters, Buleleng Regency-Bali, isolated and cultured with combination feed of algae Nannochloropsis oculatta, wheat flour, yeast bread and chicken liver in 5 m3 concrete tank. Three hundred individuals of Cyclopoida carrying eggs were placed in three beaker glasses of one-liter culture volume. An observation on the individual growth was done by daily sampling and every two days to see the development of the eggs. The type of local Cyclopoid was classified as Cyclopidae family in the genus of Apocyclops spp. The growth rate reached 20 ìm per day, and from copepodite to adult carrying eggs took 12 days, the egg development took maximum 10 days, and the estimate of the minimum age cycle was 22 days. The average productivity of egg of Apocyclops spp. in this study was estimated to be 36 (min. 16-max. 65) eggs per female. Further culture studies focusing on the optimization of temperature, salinity, dissolved oxygen in the media and nutritional aspects, need to be further studied
    corecore