58 research outputs found

    Gending Klasik Palegongan

    Get PDF
    Bertitik tolak dari ciri tradisi seperti diuraikan di atas, Palegongan merupakan salah satu barungan klasik yang mampu bertahan dan masih terpelihara sampai sekarang. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah “klasik” diartikan mempunyai nilai atau posisi yang diakui dan tidak diragukan, yang bernilai tinggi serta langgeng dan sering dijadikan tolak ukur, bersifat sederhana, serasi dan tidak berlebihan (Tim Penyusun Kamus, 1988 : 445). Istilah klasik tidak sekedar menggolongkan sekelompok bentuk seni menurut tempat atau kelompok orang, akan tetapi sebagai sebutan bentuk kesenian yang mengandung konotasi penting tentang sifat bentuk-bentuk kesenian karena keindahan dan standarnya yang tinggi, dipeliharan sampai ke anak cucu, mengacu kepada suatu gaya dari suatu masa khusus, suatu gaya karena ciri-ciri bentuk yang dapat digambarkan secara jelas. Lebih lanjut istilah klasik menunjukan sifat antik atau tua, sifat mapan dari bentuk-bentuk kesenian yang sudah mencapai suatu keadaan ideal (Jennifer Lindsay, 1989 : 50). Berbicara tentang Palegongan sebagai bentuk kesenian yang tergolong klasik punya konotasi yang sama dengan kerumitan, bentuk dan standar yang tinggi. Bagaimanapun juga, istilah klasik masih mempunyai hubungan etimologis khusus, jika digunakan utnuk menggambarkan kesenian tradisional. istilah klasik tidak mempunyai petunjuk acuan yang dapat dibandingkan dengan perkembangan selanjutnya. Jika istilah tersebut dipakai untuk mengacu kepada salah satu kesenian yang mencapai puncaknya, sehingga berkaitan dengan gagasan tentang identitas, masa lalu, dan suatu pandangan tentang bentuk yang ideal atau yang optimal, maka istilah klasik selalu menunjuk kepada bentuk terbaru yang dicapai pada masa sebelumnya. Suatu gagasan bahwa tahap perkembangan yang dicapai oleh Palegongan sebagai kesenian klasik, merupakan tahap yang ideal atau “puncak” dan bukan tahap menengah atau paling rendah, menunjukkan bahwa artistik masa lalu itu sendiri sekarang lebih dihargai. Tetapi implikasi pandangan semacam itu adalah bahwa bentuk kesenian klasik yang telah mencapai puncaknya tidak dapat dikembangkan lebih lanjut, kecuali dilepaskan dari keadaan optimum tersebut, yang secara tidak langsung menunjukkan bahwa setiap perubahan dan bentuk yang ideal dapat berarti kemunduran atau penurunan. Dalam pendekatan klasik kesenian merupakan pernyataan dari pada idealisme intelektual, didasari oleh seperangkat sistem perlambangan yang menetap, yang dapat berbeda-beda menurut kemampuan setiap seniman dalam cara menyatakan dan cara menyajikannya, serta identitas penghayatannya (Jennifer Lindsay, 1989: 52). Melalui acuannya kepada sifat mapan dari kesenian klasik, dan gagasan tentang suatu puncak yang telah dicapai, berarti bahwa bentuk-bentuk kesenian yang telah mencapai puncaknya harus dapat dikenali, dan bahwa bentuk puncak juga harus tidak hanya dapat dikenali, tetapi paling tidak dalam teori harus dapat direproduksi. Menekankan identifikasi batasan-batasan formal sebagai ciri pokok kesenian klasik punya implikasi penting bagi cara bagaimana bentuk-bentuk kesenian semacam itu dihargai, dan bagi keputusan-keputusan yang dibuat sebagai usaha mempertahankan bahkan menyelamatkan bentuk-bentuk kesenian tersebut

    Analisis Struktur Gending Tangis (Bagian Kawitan sampai Pangipuk)

    Get PDF
    Gambelan Palegongan mempunyai bentuk dan struktur gending yang biasanya diintikan oleh tiga bagian penting, yaitu ; pangawak, pangecet, dan pakaad. Setelah adanya ketiga bagian inti tersebut kemudian dilengkapi dengan beberapa bagian lain sebagai perbendaharaan susunan tari yang diiringi. Bagian-bagian gending yang dimaksud seperti ; pengalihan atau gineman, pangawit, gabor bapang, lalonggoran, pangipuk, batel, batel maya, pangetog, pamalpal dan tangis (Proyek Pengembangan Sarana Wisata Budaya Bali, 1974/1975 : 37). Berdasarkan uraian di atas, dapat memberikan gambaran yang jelas untuk menganalisa Gending Tangis secara lengkap. Menurut komposisinya, bagian-bagian yang menyusun Gending Tangis terdiri dari : 1) kawitan, 2) pangawak, 3) pangecet, 4) pangrangrang, 5) pangipuk, 6) gabor, 7) batel, 8) bapang, 9) pakaad, dan 10) bapang pesiat. Untuk lebih jelasnya, lihat pada lampiran notasi gending. 1) Kawitan Kawitan (pangawit) adalah melodi awal untuk memulai gending yang dilakukan oleh permainan gender rambat. Apabila dilihat dari nada-nada yang menyusunnya, kawitan Gending Tangis terdiri dari 16 matra, masing-masing matra terdiri dari empat ketukan atau empat peniti penyacah. Keseluruhan dari kawitannya terdiri dari 14 ketukan, empat peniti jegogan, sekali gong dan belum ada peniti jublag. Pukulan kendang baik lanang maupun wadon turun pada akhir matra ke-12 dan selesai pada akhir matra ke-16. 2) Pangawak Pangawak berasal dari kata awak (bahasa Bali), dalam bahasa Indonesia sama dengan badan, merupakan bagian utama atau inti dari sebuah gending. Melalui pangawak orang dapat mengetahui ukuran dari sebuah gending, baik yang disebut tabuh pisan, tabuh dua maupun tabuh telu. Dilihat dari melodi yang menyusunnya, pangawak Gending Tangis memiliki melodi yang terpanjang dibandingkan dengan bentuk-bentuk melodi yang menyusunnya. Dalam satu palet atau satu gong, terdiri dari ; 16 baris atau 16 pada, meliputi ; 256 peniti panyacah, 64 peniti jublag, 16 peniti jegogan dan tiga kali pukulan kemong. Pukulan kemong jatuh pada setiap 64 peniti panyacah, atau setiap 16 kali pukulan jublag atau setiap empat kali pukulan jegogan, sampai pada finalis satu gongan. Berdasarkan analisa pangawak ini, maka dapat diketahui bahwa Gending Tangis memiliki ukuran tabuh telu, karena terdapatnya tiga kali pukulan kemong dalam satu gong. 3) Pangecet Pangecet biasanya dirangkaikan dengan pangawak mempergunakan pupuh kekendangan asta windu. Untuk dapat disebut pangecet tabuh telu, paling tidak memiliki ukuran lagu 64 ketukan dalam satu gong, atau terdiri dari empat baris melodi. Akan tetapi gending ini, melodi pangecetnya hanya terdiri dari satu baris melodi, diberikan nama pengecet karena mempergunakan pola kendang ecet-ecetan yang dalam hal ini pengecet tabuh pisan menyesuaikan melodi yang ada. Pangecet tabuh pisan biasanya terdiri dari dua baris melodi (32 ketukan), satu baris adalah peluang untuk pukulan kemong, dan satu baris lagi sebagai finalis (gong). Seperti diuraikan di atas bahwa pangawak gending ini memiliki ukuran tabuh telu. Paling tidak pengecetnya juga harus memiliki ukuran tabuh telu, karena pangawak dan pengecet merupakan ukuran dari gending Palegongan untuk menyebutkan nama tabuh. Akan tetapi demikian kenyataannya, pangecet gending ini hanya setengah dari pengecet tabuh pisan yang sebenarnya. Oleh karena itu, pengecet tidak selalu dipakai ukuran untuk menentukan nama tabuh seperti ukuran pada melodi pangawak. 4) Pangrangrang Pangrangrang adalah permainan bebas yang dilakukan oleh gender rambat yang biasanya terdapat pada awal gending untuk memperkenalkan nada-nada sebelum mengalih kepada permainan pokok. Atau pangrangrang juga terdapat ditengah-tengah gending sebagai transisi bagian gending yang satu dengan yang lainnya sesuai dengan kebutuhan. Sistem permainan pangrangrang tidak terikat oleh tempo, bersifat improvisasi dalam batas permainan yang ada. Tempo permainan dari satu nada ke nada yang lainnya terutama setelah jatuhnya pukulan jegogan, agak sulit ditebak karena sifat permainannya lebih mengutamakan rasa. Sehingga mengalami kesulitan untuk menotasi secara tepat, dan yang berhasil ditulis disini adalah berdasarkan perasaan penulis saja. Bentuk pangrangrang di dalam Palegongan, sudah umum dikenal bahwa motif dan jenisnya hampir sama satu dengan yang lain, boleh dikatakan jenis pangrangrang dalam Palegongan klasik bentuknya sudah dianggap baku biasanya dimulai dengan nada ndung kecil (tinggi). Menurut notasi yang penulis catat bahwa pangrangrang gending Palegongan ini terdiri dari 14 baris atau 58 matra yang berakhir pada nada ndong. Permainannya dodominir oleh gender rambat dilengkapi dengan suling dan rebab. Untuk memperjelas melodinya pada bagian-bagian tertentu diberi pukulan jegogan, dalam hal ini terdiri dari lima peniti jegogan sampai akhir sebagai finalis jatuhnya pukulan gong. 5) Pangipuk Pangipuk merupakan istilah yang dipinjam dari istilah tari, sebagai bagian dari struktur lagu, gending tidak memiliki bagian yang disebut pangipuk. Disebut pangipuk disesuaikan dengan bentuk tari dan pola melodi yang menyusunnya. Melodinya terdiri dari dua baris atau 32 ketukan, sedangkan 32 ketukan merupakan ukuran melodi pakaad. Akan tetapi kalau dikatakan pakaad, pupuh kekendangannya adalah kendang ipuk-ipukan dengan pola sejenis bebaturan. Kendang bebaturan adalah jenis pupuh yang dimainkan oleh kendang yang telah memiliki pola tertentu. Pola ini dapat dibuat pendek maupun panjang sesuai kebutuhan gending. Kalau melodinya dalam ukuran tabuh pisan, maka pupuh kekendangannya dimainkan singkat dalam arti pada bagian-bagian tertentu tidak ada pengulangan, demikian seterusnya dapat diulang sampai dua kali hingga tiga kali sesuai dengan panjangnya melodi. Dengan demikian jenis kendang bebaturan dapat dipergunakan untuk menentukkan ukuran tabuh. Berdasarkan bentuk analisa di atas bagian gending ini dapat disebut pangipuk yang berpola bebaturan

    MAKNA BALAGANJUR DALAM AKTIVITAS SOSIAL MASYARAKAT BALI

    Get PDF
    Balaganjur is a form of performance arts and audio-visually it might be an independent art. Balaganjur is a musical communication that instigates sensation and emotional response between the composer, players and viewers. It might influence the fan who are familier with the background of Balinese social life. This article is meant to see and analyze how Balinese people value the function of Balaganjur, especially in the context of festive social activity. The performance of Balaganjur is always conected to a religious life, traditional lore, and aspect of artistic life in response to the development of the cultural millie. Generally, Balaganjur complements the implementation of religious ritual. However, when Balaganjur is secularly composed and performed as an aesthetic presentation, Balaganjur develops its function toward profan values

    Erotisisasi Tubuh Perempuan dalam Joged Goyang Ngebor di Bali

    Get PDF
    Pengantar Tubuh perempuan merupakan kontruksi sosial, yang dalam tatapan laki-laki (male gaze) sering diobjektifikasikan. Sebagai objek tatapan, tubuh perempuan dijadikan daya tarik untuk berbagai kepentingan. Dalam kampanye politik, misalnya, tubuh perempuan dipergunakan sebagai daya tarik untuk menarik massa, namun dalam kondisi yang berbeda dijadikan penghancur karier politik seseorang, dalam hal ini laki-laki. Tubuh perempuan sering pula diekploitasi untuk mengeruk keuntungan, misalnya seperti dalam perdagangan perempuan (women trafficking). Dalam situasi konflik kekerasan tubuh perempuan tidak jarang menjadi sasaran kekerasan seksual. Dalam dunia seni, lebih khusus lagi seni pertujukkan , tubuh perempuan tidak jarang juga dipergunakan sebagai daya tarik untuk memikat penonton, lebih khusus lagi penonton laki-laki. Meskipun mungkin bukan satu-satunya motif, motif komersial jelas terlihat dalam konteks ini. Makalah ini akan menyajikan kajian kritis tentang Joged Goyang Ngebor, sebuah fenomena dalam perkembangan seni pertunjukan di Bali. Tinjauan difokuskan pada fenomena erotisasi tubuh perempuan yang ditampilkan dalam selubung-selubung estetika

    Prosiding Seminar: PENYAJIAN SENI PERTUNJUKAN GONG KEBYAR OLEH SEKAA GONG WANITA

    Get PDF
    Sekaa Gong Wanita merupakan kesatuan dari beberapa orang anggota masyarakat yang berjenis kelamin wanita, menghimpun diri atas dasar “kepentingan yang sama”. Terbentuk oleh adanya suatu gagasan secara individu menjadi gagasan kolektif, sebagai sarana bagi anggota sekaa untuk saling berkomunikasi, berinteraksi, dan berhubungan dalam hidup bersama. Konsep dasar dari pembentukan Sekaa Gong Wanita adalah adanya keinginan untuk membina hubungan sosial dan rasa kebersamaan diantara anggota kelompoknya sendiri. Kebersamaan menurut Hindu adalah cerminan dari konsep Tri Hita Karana, salah satunya adalah hubungan antara manusia dengan manusianya sendiri, berlandaskan pada konsep Tatwam Asi yang mengandung makna “kamu adalah aku atau aku adalah kamu”. Pengejawantahan dari konsep ini muncul ikatan-ikatan kelompok yang merupakan realitas dari konsep yang bersifat universal. Kata kunci : Sekaa Gong Wanita, motivasi, dan peranan

    GENDER WAYANG : FROM RITUAL INTO SECULER

    Get PDF
    Gender Wayang is one of the most important set of ensemble in Bali. It is not only aimed for accompanying a certain Shadow Puppet performance, but also it remain possesses a portion and function in almost every religiously ritual activity as a complement of spiritual needs. The presentation of Gender Wayang is a prominent key element which is conditioned into social activities, and it is considered to be able to support the necessity of the society for both morraly and spiritually. Gender Wayang from ritual into seculer is an expression of the artists to express their creative idea which posses a meaningful significance for the arts world and positively responsed by the peoples all over the world. This key analysis is a dinamic idealization of the peoples of Bali for the sake of aesthetical values appreciation and developement. The concerned problem to be analized is the developement of Gender Wayang’s function and creativity,, it is one of the various fenomenons of karawitan in the framework of developement of Balinese performing arts. The dessemination of Gender Wayang’s roles from ritual into seculer is caused by the demand and the nessesaty of it peoples, in order to anticipate the developement of time/era and value assesment. Gender Wayang is a masterpiece of the arts of which endeavors to enhance and dinamize the traditional values with the demand capasity developemnt. Gender Wayang becomes a seculer performance because of its art creativities those are fibrating an artistic dimenssion of which can still be recognized and appreciated by the peoples of Bali. Keywords : gender wayang, creativity, seculer

    Ciri-ciri Tradisi Gamelan Palegongan

    Get PDF
    Setiap masyarakat memiliki tradisinya sendiri. Tradisi itu meliputi segala aspek kehidupan seperti ; sosial, budaya, ethis, moral dan keagamaan. Tradisi itu hidup dalam masyarakat dan terungkap lewat bahasa, dalam perilaku dan adat-istiadatnya. Secara historis tradisi merupakan hasil pergumulan masyarakat dalam perjalanan hidupnya menghadapi berbagai tantangan dan masalah yang dijumpainya. Dalam masyarakat, tradisi itu dijaga dan dilestarikan. Oleh masyarakat, lewat pendidikan tradisi itu diteruskan dari satu angkatan ke-angkatan berikutnya. Ajaran yang mementingkan tradisi yang diterima dari generasi-generasi sebelumnya sebagai pegangan hidup disebut tradisionalisme (Mangunhardjana, 1996 : 220). Tradisi dapat berasal dari praktek hidup yang sudah berjalan lama berpegang pada tradisi budaya yang ada dalam masyarakat sebagai warisan nenek moyang. Para penganut tradisi budaya memandang tradisi masyarakat sebagai prinsip dan cita-cita ethisnya, serta dalam menentukan perilaku dan aktifitas ethis mereka. Kadang-kadang mempergunakan kesenian sebagai wahana pengungkapan, untuk mewujudkan bentuk-bentuk kesenian yang dapat dimaksudkan sebagai satu kategori kesenian tradisional. Kesenian tradisional adalah suatu bentuk seni yang bersumber dan berakar serta telah dirasakan sebagai milik sendiri oleh masyarakat lingkungannya. Pengolahannya didasarkan atas cita-cita masyarakat pendukungnya. Cita rasa disini mempunyai pengertian yang luas, termasuk nilai kehidupan tradisi, pandangan hidup, pendekatan falsafah, rasa ethis dan estetis serta ungkapan budaya lingkungan. Hasil kesenian tradisional biasanya diterima sebagai tradisi, pewarisan yang dilimpahkan dari angkatan tua kepada angkatan muda. Dengan ciri-ciri, tumbuh secara konstan beratus-ratus tahun, bentuknya mendetail, isinya selaras dengan keinginan orang-orang di daerah kekuasaan dan ada renungan tentang pandangan hidup (Jennifer Lindsay, 1989 : 40). Palegongan merupakan salah satu kesenian tradisional adalah suatu bentuk seni yang bersumber dan berakar, serta telah dirasakan sebagai milik sendiri oleh masyarakat Bali pada umumnya. Gending-gending Palegongan masih sanggup bertahan dalam identitas tradisionalnya, serta mengendalikan alamnya sendiri, justru karena dalam alam musiknya terkandung nilai-nilai yang lebih dalam seperti nilai budaya, peradaban, norma, dan adat yang menyatu dengan masyarakat pendukungnya (Aryasa, 1980 : 12). Pola-pola gending Palegongan yang sudah menjadi baku dihasilkan melalui expresi konsepsi para empu dalam keadaan suasana jiwanya yang sedang menikmati rasa kedamaian, kemegahan, kesucian dan kecemerlangan, disajikan sebagai perwujudan rasa bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa serta rasa pengabdian kepada masyarakatnya, tanpa dikejar suatu tujuan balas imbalan atau sifat-sifat pamerih yang berlebihan. Gamelan sebagai suatu media ungkap, telah memiliki identitas tersendiri dengan kelengkapan dan wujud instrumen yang berbeda-beda, merupakan ciri tradisi gamelan Bali untuk membedakan jenis barungan yang satu dengan jenis barungan yang lain. Beberapa ciri tradisi untuk menunjukkan identitas dari gamelan Palegongan sebagai satu barungan gamelan, adalah : 1) laras yang dipakai adalah laras pelog, 2) memiliki lima sistem susunan nada-nada, 3) berdiri sendiri sebagai satu kesatuan yang disebut barungan, 4) ada sistem ngumbang-ngisep, yaitu dua buah nada yang bilahnya dibuat sama tetapi getaran suaranya berbeda, 5) bentuknya berbilah dan sebagian besar mempergunakan resonator, 6) sistem pembuatannya masih memakai sistem tradisi dengan pedoman petuding, 7) umumnya dikelola oleh sekaa sebagai organisasi tradisi
    • …
    corecore