24 research outputs found

    Pelebon

    Get PDF
    ABSTRAK Seni tidak dapat dinilai dari aspek teknis dan komersialnya saja. Ada aspek yang lebih esensial yang membuat suatu karya bisa digolongkan sebagai suatu ekspresi seni, yaitu aspek kreatif-eksploratif-estetik. Dalam urutan ini, aspek estetik dicapai bukan semata karena kelihaian dalam memanfaatkan aspek teknologi, karena adanya aspek kesengajaan dan keinginan untuk menciptakan sesuatu yang baru yang lahir dari perenungan gagasan yang bersifat eksploratif. Dengan kata lain, perenungan eksploratif melahirkan gagasan untuk mencipta. Gagasan ini kemudian dicarikan bentuknya dengan memanfaatkan aspek teknologi. Jika teknologi yang ada belum memungkinkan untuk memberikan bentuk ekspresi bagi gagasan yang dimiliki oleh seorang seniman, maka seniman akan berusaha menggabungkan beberapa teknologi yang ada, atau memanfaatkan teknologi yang ada secara kreatif untuk mewujudkan gagasannya itu. Jadi aspek teknologi atau kesempurnaan teknis dalam hal ini tidak menjadi unsur utama, tapi hanya pendukung atau alat berkreasi. Perkembangan fotografi yang pesat telah menjadikan fotografi sebagai angin segar bagi setiap kebutuhan manusia saat ini. Kehadiran kamera poket atau saku dan kamera ponsel berbagai merek kian terjangkau oleh masyarakat umum, dengan fasilitas yang canggih dan resolusi yang besar memberikan kemudahan-kemudahan bagi masyarakat awam terhadap fotografi. Kehadiran fotografi di kalangan masyarakat umum lebih bersifat kepada dokumentatif atau mengabadikan momen atau peristiwa yang hadir dalam kehidupan manusia itu sendiri. Sebaliknya kehadiran fotografi di kalangan seniman foto lebih bersifat sebagai sarana pemenuhan akan hasrat berkesenian yang dapat mendatangkan kepuasan batin pemotretnya atau sarana pengungkapan ekspresi artistik penciptanya. Kehadiran fotografi merupakan instrumen perekam atau pemotretan berbagai objek dan peristiwa sejelas-jelasnya sesuai aslinya. Upacara pembakaran jenasah bagi umat Hindu di Bali yang dikenal dengan sebutan pelebon sangat menarik untuk di potret. Pelebon adalah upacara pembakaran jenazah bagi umat Hindu di Bali. Pelebon atau sering juga di sebut ngaben, merupakan kewajiban umat Hindu yang memiliki peran penting untuk menghormati leluhur agar mendapat tempat yang baik di alamnya dan kelangsungan hidup di masa mendatang. Sarana upacara Pelebon merupakan Naga Banda, Lembu, dan Bade. Naga Banda merupakan salah satu sarana upacara Pelebon yang dibuat untuk raja atau keluarganya. Selain Naga Banda, sarana penting lainnya adalah Lembu. Lembu (patung lembu) adalah simbolisasi kesucian kasta Ksatria. Kasta Ksatria yang di dalamnya termasuk raja ini akan mengendarai lembu menuju nirwana. Sebuah bade tumpang solas atau tempat pengusung jenazah memang dibuat sesuai dengan status sosial si jenazah. Kata-kata Kunci : Fotografi, Pelebo

    LEGONG

    Get PDF
    ABSTRAK Pentas seni pertunjukan yang sarat peristiwa, gerak, dan susunan artistik, di mata pemotret dapat dijadikan objek yang menarik, dinamis, variatif dan menantang. Tantangan pada proses perekaman realita pentas di tangan pemotret, berpeluang terciptanya karya fotografi yang memiliki kaidah estetika fotografi, baik segi ideasional maupun teknikal. Seting artistik dalam pengertian susunan pentas, semua sudah tertata, mulai dari tata busana, gerak laku dan peristiwanya sudah diatur, tinggal bagaimana mata, tangan dan kepekaan estetis pemotret mampu serta mahir merekam adegan peristiwa panggung tersebut menjadi karya seni fotografi panggung. Gerakan tari Bali dilandasi dengan empat gerakan pokok yaitu, agem, tandang, tangkis, dan tangkep. Agem merupakan sikap pokok dalam tari Bali, tandang merupakan gerakan berjalan, tangkis merupakan gerakan peralihan, dan tangkep merupakan ekspresi wajah. Pendekatan kreatif estetis dan kemampuan teknik fotografi dipadukan dengan pemahaman akan unsur-unsur pembentuk tari seperti wiraga, wirama, wirasa digunakan untuk merekam keunikan dan keindahan gerak penari Bali di atas panggung. Proses editing pasca pemotretan dilakukan dalam kamar Terang dengan menggunakan soft ware Adobe Photoshop CS. 2 . Pengolahan foto dilakukan dengan teknik kolase, yaitu penggabungan lebih dari satu foto dalam satu frame, sehingga karya foto yang tercipta menawarkan nilai-nilai estetis yang ekspresif dan dinamis. Kata-kata Kunci: Tari Bali, Fotografi, Proses editin

    Ritus Dalam Fotografi Essay

    Get PDF
    ABSTRAK Pada peradaban zaman prasejarah, animisme dan dinamisme merupakan suatu kepercayaan yang diyakini oleh masyarakat. Animisme adalah keyakinan akan adanya roh, bahwa segala sesuatu di alam semesta ini didiami dan dikuasai oleh roh-roh, sedangkan dinamisme adalah keyakinan terhadap adanya kekuatan-kekuatan alam. Budaya Bali banyak dipengaruhi oleh paham-paham tersebut. Dalam hal ini dapat dilihat pada setiap Pura atau tempat-tempat suci di Bali menyungsung Pretima, Barong dan Rangda yang diyakini oleh masyarakat penyungsungnya sebagai penjaga dan pelindung desa dari bencana atau musibah. Menggambarkan atau menceritakan proses dan prosesi pembuatan sesuwunan Rangda yang di awali dengan pemilihan hari baik, pemilihan kayu, ngepel, napak, ngodakan (proses pewarnaan), dan mepasupati sangat menarik diangkat dalam fotografi essay. Fotografi essay adalah sebuah narasi dalam bentuk sekumpulan foto dirangkai dalam satu topik. Foto essay yang lengkap terdiri dari headline, naskah dan pengaturan tata letak foto yang saling mendukung. Semua itu akan menunjang pemahaman ide cerita yang ingin disampaikan. Foto essay cenderung simbolis dalam mengungkapkan cerita dan lebih menekankan pada alur atau perkembangan dari satu foto ke foto berikut. Di dalam pembuatan foto essay, ada beberapa hal yang dapat menjadi panduan dalam merangkai foto antara lain; foto wide shot, foto medium shot, foto close up, foto potrait, foto interaksi, foto klimaks, foto sekuen, foto detail, dan closer. Foto wide shot dipakai untuk menggambarkan suasana subjek dan lingkungan di sekelilingnya, foto medium shot memperlihatkan kejadian saat itu, foto close-up menampakkan emosi dari subjek, foto potrait menggambarkan tokoh dari sebuah cerita, foto interaksi memaparkan bagaimana subjek berinteraksi atau berhubungan dengan lingkungannya, foto klimaks menggambarkan puncak dari acara atau cerita, foto sekuen memaparkan tahapan perkembangan dalam pemotratan, foto detail bertujuan memperlihatkan detail benda atau bagian dari objek, dan yang terakhir closer yaitu foto penutup. Kata-kata Kunci : Pembuatan Sesuwunan, Fotografi essa

    THE MIROR

    Get PDF
    ABSTRAK Cermin adalah salah satu benda yang sering digunakan untuk menunjukkan suatu peribahasa atau juga ungkapan dalam budaya manusia. “Buruk rupa cermin dibelah”, “kita harus sering bercermin”, “sikap merupakan cerminan hati” dan lainnya. Cermin memiliki karakteristik bersedia menerima dan memperlihatkan apa adanya. Untuk itu,hal ini dapat dimaknai sebagai pribadi yang memiliki sifat-sifat, seperti sederhana, jujur, objektif, jernih, dan lain-lain. Filosofi cermin yang diambil adalah sesuatu yang menunjuk pada diri kita sendiri, karena pada hakekatnya begitulah fungsi cermin menampilkan bayangan diri kita agar kita dapat memperbaiki apa yang perlu diperbaiki, membangun apa yang perlu dibangun. Salah satu manfaat cermin yaitu bercermin dan setiap orang bercermin setiap harinya. Begitupula yang dialami oleh seniman jalan yang memakai cerin pecah untuk membantunya dalam berias. Efek yang dihasilkan dari cermin pecah sangat unik dan menarik sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi si pemotret,untuk memvisualisasikannya dalam media fotografi Secara teknis, pemotret menggunakan lensa Nikon AF NIKKOR 50mm 1:1.8 D untuk mendapatkan bukaan aperture 1.8 dengan shutter speed 1/60s sehingga menghasilkan ruang tajam yang sempit dan juga untuk menghindari efek distorsi. Pemanfaatan ruang tajam yang sempit ini pemotret manfaatkan untuk memfocuskan dibagian cerminya untuk memperlihatkan efek unik dan menarik yang dihasilkan oleh cermin yang pecah dan sekaligus menjadi point of interst dalam karya ini. Pengolahan pasca pemotretan menggunakan soft ware Adobe Photoshop CS3 dengan memanfaatkan fitur cropping untuk mengatur komposisi yang diinginkan, level untuk mengatur gelap terangnya, brightness contrast untuk mengoreksi kontrasnya, dan selective colors untuk mengatur pewarnaan yang diinginkan. Kata-kata Kunci: Cermin, Fotografi Seni,Pengolahan Pasca Pemotreta

    POCARI SWEAT

    Get PDF
    ABSTRAK Gebogan atau Pajegan adalah suatu bentuk persembahan berupa susunan dan rangkaian makanan atau segala hasil bumi yang disusun indah, dan umumnya dijunjung oleh para ibu-ibu untuk dihaturkan atau dipersembahkan di pura dalam rangkaian Upacara agama di Bali. Filosofi dari banten gebogan merupakan bentuknya yang menjulang tinggi mirip seperti gunung, makin ke atas semakin mengerucut dan di atasnya juga diletakkan canang dan sampiyan sebagai wujud persembahan dan bhakti kita kehadapan Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Di jaman globalisasi seperti sekarang ini masuknya buah impor ke Bali menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Bali. Terlihat dari persembahannya yang sebagian besar menggunakan buah impor seperti apel fuji, pear hijau, jeruk sankis, dan lain-lain. Akan tetapi tidak menghilangkan pakem dan unsur-unsur tradisi dari gebogan itu. Menariknya, minuman isotonic dari negeri seberang juga ambil bagian pada persembahan ini. Kehadiran “pocari sweat” dalam gebogan menjadi daya tarik tersendiri bagi si pemotret,untuk memvisualisasikannya dalam media fotografi, karena warnanya yang mencolok serta bentuk dan ukurannya yang menyerupai dekorasi atau pakem bagian bawah dari sesajen gebogan. Dekorasi atau pakem bagian bawah dari sesajen gebogan yang semulanya menggunakan kayu seukuran kaleng “pocari sweat” dipahat dan di prade (cat emas), serta di dalamnya berisi gibungan (nasi) yang merupakan persembahan dari hasil bertani padi di sawah sebagai wujud syukur dan bakti kehadapan tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta alam semesta ini. Secara teknis, karya “pocari sweat” ini menggunakan eyes angle yaitu sejajar mata manusia yang bertujuan menampilkan wujud keseluruhan dari sesajen gebogan. Permainan bentuk, pola, garis, dan warna membentuk satu kesatuan dalam karya serta adanya unsur repetisi atau pengulangan menambah kesan dramartis dalam karya ini. Pengolahan pasca pemotretan menggunakan soft ware Adobe Photoshop CS3 dengan memanfaatkan fitur cropping untuk mengatur komposisi yang diinginkan, level untuk mengatur gelap terangnya, brightness contrast untuk mengoreksi kontrasnya, dan selective colors untuk mengatur pewarnaan yang diinginkan. Kata-kata Kunci: Gebogan, Fotograf

    Motion of Legong

    Get PDF
    ABSTRAK Pentas seni pertunjukan yang sarat peristiwa, gerak, dan susunan artistik, di mata pemotret dapat dijadikan objek yang menarik, dinamis, variatif dan menantang. Tantangan pada proses perekaman realita pentas di tangan pemotret, berpeluang terciptanya karya fotografi yang memiliki kaidah estetika fotografi, baik segi ideasional maupun teknikal. Seting artistik dalam pengertian susunan pentas, semua sudah tertata, mulai dari tata busana, gerak laku dan peristiwanya sudah diatur, tinggal bagaimana mata, tangan dan kepekaan estetis pemotret mampu serta mahir merekam adegan peristiwa panggung tersebut menjadi karya seni fotografi panggung. Gerakan tari Bali dilandasi dengan empat gerakan pokok yaitu, agem, tandang, tangkis, dan tangkep. Agem merupakan sikap pokok dalam tari Bali, tandang merupakan gerakan berjalan, tangkis merupakan gerakan peralihan, dan tangkep merupakan ekspresi wajah. Pendekatan kreatif estetis dan kemampuan teknik fotografi dipadukan dengan pemahaman akan unsur-unsur pembentuk tari seperti wiraga, wirama, wirasa digunakan untuk merekam keunikan dan keindahan gerak penari Bali di atas panggung, sehingga karya fotografi seni pertunjukan yang tercipta menawarkan nilai-nilai estetis yang ekspresif dan dinamis. Kata-kata Kunci : Gerak Tari Bali, Fotografi sen

    Callaccitra Undagi Mahottama: A Documentary Film on “Undagi” Bali as a Cultural Heritage Digital Repository Content

    Get PDF
    Abstract Purpose: A film entitled Calaccitra Undagi Mahottama (CUM) is used as a model for documenting cultural actors, as a starting point and inspiration for the development of a culture-based creative industry, as suggestions on synergies between villages, local governments, educational institutions, and centers in cultural conservation with digital cultural heritage repositories. Research methods: This descriptive research empirically examines objects with a qualitative-analytic approach. The research inductively dissects the film CUM as a case object, from concept to process, and then synthesizes a documentary film formulation as a solution to preserving Balinese culture through RDWB. Findings: Synergy Scheme Map of the Village Video Movement with the Cultural Heritage Digital Repository, with CUM movie as a pilot project. The position of CUM's documentary films is to prioritize cultural preservation through biographical historical information with a historical approach. Bali needs more data collection on cultural resource assets in villages that still need to be appointed. Implication: The position of the Provincial Government of Bali is to be the leading actor, apart from being the initiator and also the leading actor in the process, supported by educational institutions and related social institutions as cultural curators.Abstract Purpose: A film entitled Calaccitra Undagi Mahottama (CUM) is used as a model for documenting cultural actors, as a starting point and inspiration for the development of a culture-based creative industry, as suggestions on synergies between villages, local governments, educational institutions, and centers in cultural conservation with digital cultural heritage repositories. Research methods: This descriptive research empirically examines objects with a qualitative-analytic approach. The research inductively dissects the film CUM as a case object, from concept to process, and then synthesizes a documentary film formulation as a solution to preserving Balinese culture through RDWB. Findings: Synergy Scheme Map of the Village Video Movement with the Cultural Heritage Digital Repository, with CUM movie as a pilot project. The position of CUM's documentary films is to prioritize cultural preservation through biographical historical information with a historical approach. Bali needs more data collection on cultural resource assets in villages that still need to be appointed. Implication: The position of the Provincial Government of Bali is to be the leading actor, apart from being the initiator and also the leading actor in the process, supported by educational institutions and related social institutions as cultural curators

    PERAN STASIUN TELEVISI LOKAL DI BALIDALAM UPAYA PEMERTAHANAN BAHASA BALI SEBAGAI BAHASA IBU

    Get PDF
    Particularly in Bali, there are 4 local stations television such as TVRI Bali, Bali TV, Kompas TV Dewata, and BMCTV. Overall, those four local television stations provide a wide selection of programs that are dominated by programs of social and cultural life of the Balinese people from different aspects of life in terms of content and visual. But, it seems so difficult for us to see the offered program, which used Balinese language as main language within the program. Based on the fact, this research is focused to analyze profiles of local TV stations in Bali, programs with Balinese language as it main language, social values within the programs using Balinese language as it main language and also to discover factors which influenced the program with Balinese language as main language, and those analyzed by using descriptive qualitative method. The conclusion stated that general information of each local stations television is represented by their profile; program using Balinese language can be categorized into four groups such as: News, Religi, Tradisional Art and Entertainment; Social values found within program using Balinese language are creativity, preservation, education, religi and entertainment; Factor influenced towards program using Balinese language are government policy, ideology, creativity, community and globalization

    PENERAPAN TEKNIK CHROMA KEY UNTUK MENCAPAI CONTINUITY EDITING PADA FILM FIKSI “NGARANGIN”

    Get PDF
    Film Ngarangin merupakan film fiksi yang diadaptasi dari cerita pendek “Ketika Kentungan Dipukul Di Bale Banjar” karya Rasta Rindu pada tahun 1960. Berlatar belakang pada tahun 1960 bercerita tentang konflik keluarga antara ayah dengan anak, yang memutuskan untuk pergi dari lingkungannya demi memilih kekasihnya, Konflik tersebut berdasarkan pemasalahan yang sering terjadi di kalangan masyarakat Bali. Film ini menyampaikan penggambaran gejolak batin dalam sebuah hubungan keluarga, kekasih dan masyarakat. Melalui Penciptaan ini penulis mewujudkan dalam bentuk hasil editing. Pada film Ngarangin terdapat salah satu scene yang di-setting menyerupai pasar tahun era 1960 dengan membangun set pedagang pasar. Pembangunan set ini perlu menggunakan bluescreen sebagai alat bantu untuk mempermudah dalam proses manipulasi pada proses editing. Sebelum masuk ketahapan editing dalam proses penciptaan film dibutuhkan pengumpulan data berupa metode observasi dan pustaka serta didukung pada teori estetika, continuity dan teori visual effect. Teknik chroma key merupakan salah satu teknik yang editor gunakan untuk memanipulasi ruang dan menghilangkan bagian-bagian yang dipandang tidak sesuai dalam film. Editing pada film Ngarangin bertujuan untuk mewujudkan cerita dalam naskah tersampaikan dalam bentuk audio visual, yang nantinya dapat dinikmati sebagai hiburan oleh masyarakat yang menonton. Luaran dari karya tugas akhir ini ber-genre drama keluarga, cerita dalam film mengunakan bahasa Bali dengan durasi 35 menit, mempunyai sasaran dari remaja hingga dewasa. Film Ngarangin menggunakan format digital Mp4 dengan resolusi 2k 2560x1440 pixels, aspek rasio 16:9. Kata Kunci: Editing, Chroma key, Ngarangin, film fiks

    Directing Of Documentary Bilingual “Lukisan Barong Gunarsa” In Exspository Style

    Get PDF
    Latha Mahosadhi Museum of ISI Denpasar is a memorial place for displaying art objects. But the function of the museum as a center of art information cannot be realized because the information provided is only verbal information and not specific. So that information media is created in museum, namely bilingual documentary film. One of the interesting a film to be researched is “Lukisan Barong Gunarsa” by Nyoman Lia Susanthi as a director. The aim of this study is to determine the process of creating a documentary film that shows the side of Gunarsa as famous person and secret element that have never been published before. Based on it, documentary bilingual can be applied to other 127 objects collection. The method used qualitative. The data were obtained through observation, interview, and literature study. The result of this study was the director observed in three roles, such as: a leader, an artist and a technical advisor. The pre-production, the director created in the form of production concept, technical concept and story line. The concept of film was expository style with television documentary format using narrator as a single speaker. The director as a leader directed the cameraperson in taking pictures. In editing, director was involved directly in the process of arranging the images. The resulting visual beauty cannot be separated from the director’s firmness that directed the taking of beauty shot. The director as a technical advisor was able to take over the role of cinematography, sound and editing. Museum Lata Mahosadhi ISI Denpasar adalah tempat pemajangan benda seni baik dari Bali maupun luar Bali. Namun fungsi museum sebagai pusat informasi seni belum bisa terwujud karena informasinya hanya berupa verbal dalam Bahasa Indonesia dan tidak spesifik. Untuk itu dilakukan penelitian terkait media informasi efektif untuk museum yaitu bilingual dokumenter menggunakan 2 bahasa (Indonesia-Inggris). Salah satu bilingual dokumenter yang menarik untuk dikaji adalah film berjudul “Lukisan Barong Gunarsa” karya Nyoman Lia Susanthi sebagai sutradara. Alasan memilih konten ini karena terdapat elemen rahasia yang belum dipublikasikan yaitu makna dan deskripsi lukisan. Dalam proses pembuatan film maestro berpulang, sehingga film ini benilai informasi tinggi. Tujuan dari penelitian adalah mengetahui penyutradaraan film dokumenter yang menunjukkan sisi intim orang terkenal yaitu Gunarsa. Dengan mengetahui penyutradaraan film ini, maka dapat juga diterapkan penciptaan bilingual dokumenter pada 127 benda koleksi museum. Metode yang digunakan untuk mengetahui manajemen produksi film adalah kualitatif. Data diperoleh melalui observasi, wawancara, dan studi pustaka. Hasil penelitian ini adalah sutradara dalam melahirkan film diamati dalam tiga peran yaitu sebagai pemimpin, seniman dan penasehat teknis. Saat pra produksi sutradara berperan besar melahirkan konsep penciptaan berupa konsep karya, teknis serta story line. Konsep karya menggunakan gaya exspository, format dokumenter televisi dengan narator sebagai penutur tunggal. Peran sutradara sebagai pemimpin yaitu mengarahkan kameramen dalam mengambil gambar sesuai tuntutan cerita. Tahapan editing sutradara terlibat dalam proses penyusunan gambar. Keindahan visual yang dihasilkan juga peran sutradara yang turut mengarahkan pengambilan beauty shot. Sutradara sebagai penasehat teknis mampu mengambil alih peran teknis dalam sinematografi, tata suara dan editing
    corecore