78 research outputs found

    An assessment of farm-level input demands and production under risk on rice farms in the Cimanuk River Basin, Jawa Barat, Indonesia

    Get PDF
    This research is an attempt to gain some insights into farm-level production decision-making. Two separate analyses are performed and implemented on the data from a survey of rice farms in the Cimanuk River Basin, Jawa Barat, Indonesia. The first analysis is an economic analysis of farm-level input demand by considering seed selection as an endogenous variable dictated by the perceived potential cost that has to be borne by the farmer in his actual state of action. Therefore, the total input demand consists of the input demand effect and the seed selection effect in line with the induced-innovation hypothesis in part of farm producers. The second analysis is an investigation of whether the application of inputs causes some effect on production risk perceived by peasant farmers where risk is measured by the variance of output;By applying the two-stage probit procedure in the first analysis, it is found that seed price is not a major factor in determining its selection and fertilizer price has a negative effect on the probability of selecting modern seed varieties. The model also suggests that seed selection is significant in affecting the total cost of production. Furthermore, results from the estimation also suggest that elasticities of demand for inputs upon considering the possibility of seed selection bias cannot be determined a priori as always greater than those of elasticities in the absence of seed selection bias. Nevertheless, the responses are generally inelastic and there is a tendency for them to decline between 1977 and 1983 based on the two data samples;The results of the second analysis suggest that nitrogen fertilizer is no longer a critical element in the production process as a contributor to net production yield. In addition, nitrogen fertilizer, phosphorous fertilizer, and insecticide or pesticide expense are shown to be risk-inducing factors but labor input is shown to have a risk-reducing effect. Furthermore, the implication suggested by the model is that farmers are risk-averse with respect to nitrogen fertilizer and labor inputs

    Some Contemporary Features of Indonesian Dairy Industry

    Get PDF
    EnglishThe milk consumption trend in Indonesia has been growing since 1969, which is thought to be basis for developing existing dairy industry. The paper attempts to review the present picture of dairy industry in Indonesia. The study is based on the secondary data and information obtained from relevant sources. The paper concludes that the dairy industry is heavily regulated. The fluid milk production is characterized by small-size operations on one hand, and the processing side is dominated by quite a few large scale corporations on the other hand. The fresh milk market is relatively more competitive than the dairy products market. Some dairy products are produced under oligopolistic or even monopolistic factories. Although the fresh milk production is organized under co-operative system, its role is weak relative to the factories' role. The role of co-operative will further dwindle when the GATT/WTO agreement becomes in effect. Both price and income elasticities of dairy products seem to be elastic. Thus, as income per capita improves, the demand for dairy products are expected to increase. This will lead to higher growth of imports. To maintain consumers' satisfaction, trade and investment policies in milk factories needs to be relaxed to stimulate fair competition. IndonesianKonsumsi susu di Indonesia cenderung meningkat sejak tahun 1969, yang menjadi dasar pengembangan industri persusuan saat ini. Makalah ini merupakan tinjauan dari dari gambaran keadaan industri persusuan di Indonesia. Penelitian ini didasarkan pada data sekunder dan informasi yang dikumpulkan dari lembaga instansi dan sumber-sumber terkait dengan persusuan nasional. Makalah menyimpulkan bahwa industri persusuan sarat dengan perlindungan pemerintah. Bidang budidaya dan produksi susu segar dicirikan oleh usaha skala kecil yang jumlahnya banyak sementara bidang pengolahan (IPS) dikuasai oleh perusahaan besar yang jumlahnya sangat sedikit. Pasar susu segar lebih bersaing daripada pasar produk susu. Bahkan beberapa produk diproduksi oleh perusahaan yang oligopolistik atau bahkan monopolistik. Walaupun produksi susu segar diorganisasikan dalam bentuk koperasi, peranannya sangat lemah dibandingkan dengan peranan IPS. Peranan koperasi ini akan semakin melemah nanti, manakala aturan-aturan GATT/WTO akan diterapakan di kemudian hari. Nilai elastisitas permintaan harga dan pendapatan produk susu akan meningkat pula. Hal ini akan menyebabkan peningkatan impor produk susu. Untuk memelihara kepuasan konsumen di dalam negeri, maka beberap kebijakan perdagangan dan investasi dalam pengolahan susu perlu dilonggarkan agar tercipta persaingan yang sehat

    Investasi Publik pada Sektor Pertanian di Era Otonomi

    Full text link
    EnglishThe paper aims to review the role of government and its policy instruments that enhance economic development and sectoral growth, especially those that relate to investments on infrastructural development such as irrigation and research and extension on agricultural commodities and sector. By appropriate identification of public investment needs and development of infrastructure that is required most by community and region, given its existing condition, agriculture can be pushed to develop forward. This in turn will move the economy further. Public investment on rural infrastructure, agricultural research, and public health and education are incentive factors that enable agriculture and non-agriculture to grow, by further generating employment opportunities, incomes and affordable food for the community. Research may have bias impacts on different group of the population The impact could be mitigated, however, if existing infrastructure services and rural institutions were bound to support research and development. IndonesianTujuan makalah ini adalah menelaah peranan pemerintah dan instrumen kebijakannya untuk mendorong pembangunan ekonomi dan perkembangan sektor-sektor ekonomi,terutama yang berkaitan dengan investasi pembangunan infrastruktur irigasi,penelitian dan penyuluhan yang diamati dalam komoditas dan sektor pertanian. Identifikasi kebutuhan investasi publik yang dilakukan dengan tepat dan pembangunan prasarana dan sarana yang sesuai dangan kebutuhan dan kemampuan masyarakat dan wilayah akan mendorong pembangunan pertanian. Dorongan ini pada gilirannya akan menggerakan perekonomian lebih cepat lagi. Investasi pemerintah dalam infrastruktur pedasaan,penelitian pertanian,kesehatan dan pendidikan masyarakat pedesaan mendorong pertumbuhan pertanian dan nonpertanian,yang menyebabkan semakin meningkatnya kesempatan kerja, pendapatan dan pangan yang lebih murah bagi penduduk. Penelitian mempunyai dampak yang berbeda bagi kelompok masyarakat yang berbeda. Namun,apabila jasa infrastruktur dan kelembagaan pedesaan yang tersedia berjalan seiring mendukung penelitian dan pengembangan,dampak diskriminatif tersebut dapat dikurang

    Perdagangan Bebas Wilayah ASEAN-China: Implikasinya Terhadap Perdagangan Dan Investasi Pertanian Indonesia

    Full text link
    Sebuah babak baru pola perdagangan Indonesia dan China telah terjadi dengan kesepakatan perdagangan bebas/KPB ASEAN-China yang berlaku efektif sejak 1 Januari 2010 tahun ini, setelah penandatanganan kerangka awalnya pada 4 November 2002 dan ratifikasi pemerintah melalui KEPPRES No. 48 pada 16 Juni 2004. Kesepakatan perdagangan bebas ASEAN dan ASEAN-China ini tentu saja memberikan tantangan dan peluang bagi berbagai komoditas pertanian yang diproduksi di dalam negeri, baik untuk tujuan ekspor maupun untuk konsumsi di dalam negeri. Makalah ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan perdagangan bebas ini dan dampaknya terhadap pengembangan komoditas utama pertanian nasional. Makalah menyimpulkan antara lain bahwa pemberlakuan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China mulai tahun 2010 akan merangsang ekspor komoditas pertanian Indonesia terpusat pada produk pertanian yang sangat primer atau setengah jadi, sedangkan impor produk pertanian Indonesia akan memusat pada komoditas-komoditas pangan, sayur dan buah, kecuali daging. Untuk membangun industri pengolahan pertanian di dalam negeri, kebijakan yang seimbang antara penerapan pungutan ekspor dan insentif bagi produsen primer pertanian sangat diperlukan

    Kondisi Pasar Dunia Dan Dampaknya Terhadap Kinerja Industri Perkopian Nasional

    Full text link
    EnglishCoffee remains to be a vital export commodity for Indonesia, but it faces situation that is not conducive to its farmers and industry. The paper aims to identify and analyze various factors affecting national coffee industry, production, and import demand. The research was undertaken between March to December 2003, using interviewing and discussion technique with coffee stakeholders that include farmers, traders, entrepreneurs and compiling secondary data from various sources. The paper concludes that national tax and marketing policies and International coffee crisis have halted the growth of national coffee industry. Export volume of Indonesian coffee is mainly in the form of green coffee, slightly in the form of soluble coffee (roasted coffee, instant coffee, roasted and ground coffee and others), while the world giant coffee industries control ready-made coffee market (roasted ground coffee and soluble and instant coffee) bearing its own superiority image attached in the consumers\u27 mind. As a consequence, Indonesian coffee is trapped and unable to compete and develop products directed to consumers\u27 market. It is suggested that Indonesia should consider about reducing its coffee area but converting the area to other estate crops and improve the quality of products produced by the existing plants.IndonesianKopi masih merupakan komoditas ekspor utama Indonesia, tetapi saat ini menghadapi keadaan yang kurang menguntungkan bagi petani dan industrinya. Makalah ini ditujukan untuk mengidentifikasi dan mengkaji berbagai faktor yang berpengaruh terhadap industri perkopian, terhadap penawaran produksi, dan permintaan ekspor kopi nasional. Penelitian dilakukan pada bulan Maret sampai Desember 2003 dengan menggunakan data sekunder serta wawancara dan diskusi dengan berbagai fihak terkait antara lain kelompok tani, pedagang dan pengusaha. Makalah menyimpulkan antara lain bahwa kebijakan perpajakan, tataniaga, dan krisis perkopian Internasional menghambat perkembangan industri perkopian nasional. Sebagian besar ekspor Indonesia berupa kopi biji (green coffee) dan sisanya kopi soluble (roasted coffee, instant coffee, roasted and ground coffee dan lainnya), sementara industri kopi raksasa dunia menguasai pangsa pasar siap saji (roasted ground coffee dan soluble dan instant coffee) dengan citra produk masing-masing yang telah melekat di ingatan konsumen. Oleh karena itu, Indonesia terperangkap, sulit bersaing dan mengembangkan produknya ke negara-negara konsumen. Makalah ini menyarankan agar Indonesia mempertimbangkan untuk tidak menambah areal pertanaman kopi, tetapi sebaiknya menggantikannya dengan tanaman perkebunan lain atau meningkatkan mutu produksi tanaman yang sudah ada

    Analisis Keterpaduan Pasar Gula Pasir Di Jawa

    Full text link
    EnglishThe paper introduces an alternative method of measuring market integration which offers wider scope of interpretation in testing the integration. The empirical study is applied on sugar using monthly consumer prices at province capitals in Java from April 1969 until February 1986. The result shows that consumer markets in Java are not segmented. Furthermore, the paper concludes that there seems to be long-run integration between consumer markets of Semarang, Yogyakarta, and Surabaya with Jakarta but not between Bandung and Jakarta.IndonesianMakalah ini memperkenalkan suatu metode alternatif pengukur keterpaduan pasar yang menawarkan kerangka penafsiran yang lebih luas untuk menguji keterpaduan tersebut. Penelitian empirik diterapkan pada mata dagangan gula pasir dengan memakai data harga konsumen bulanan di ibukota-ibukota propinsi di Jawa dari April 1969 sampai dengan Februari 1986. Hasil pengujian menunjukkan bahwa pasar mata dagangan itu ternyata tidak terpisah. Selanjutnya makalah menyimpulkan bahwa terlihat juga adanya keterpaduan jangka panjang antara pasar konsumen Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya dengan Jakarta, tetapi tidak antara Bandung dengan Jakarta
    corecore