58 research outputs found
Fungsi Seni Kerajinan Pengosekan
Tumbuhnya aktivitas seni kerajinan tersebut di atas, merupakan kreativitas masyarakat dalam mengantisipasi kondisi sosial ekonomi. Menurut keterangan perajin setempat, kagiatan ini merupakan suatu bentuk usaha untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi masyarakat. Roger M. Kessing (1986), yang dikutif Yandri menjelaskan, bahwa dalam menopang kehidupan, masyarakat memilih suatu bentuk kegiatan yang dilakukan berlandaskan pada keadaan materi, dan kepentingannya. (Yandri, 2006: 86). Seni kerajinan sebagai salah satu pilihan usaha, khusus di dalam masyarakat Pengosekan telah melibatkan hampir semua masyarakat, sehingga semua aktivitas keseharian didominasi dan terkonsentrasi oleh pembuatan barang seni kerajinan sebagai kegiatan home industri.
Melihat dari aneka ragam jenis barang yang di produksi itu menunjukkan tingkat adaptasi yang sangat luwes dan kecakapan teknis perajin yang tidak perlu diragukan. Selain jumlah dan jenis karya yang dihasilkan cukup banyak, ketelitian dan kwalitas karya juga terjaga, terutama faktor kegunaan dan kwalitas estetik yang menjadi prioritas utama dalam penciptaan benda fungsional. Hal itu sejalan dengan pendapat Gustami menyebutkan fungsi dan kwalitas estetis suatu produk. (Gustami, 2000: 181).
Dalam kontek itu, seni karajian di Pengosekan bisa diamati menurut fungsinya. Feldman (1967) dalam bukunya yang berjudul Art As Image And Idea, terjemahan Gustami dengan judul Seni Sebagai Wujud Dan Gagasan (1991: 2) menjelaskan, bahwa fungsi-fungsi seni yang telah berlangsung sejak zaman dahulu, adalah untuk memuaskan: (1) Kebutuhan-kebutuhan individu tentang ekspresi pribadi; (2) Kebutuhan-kebutuhan sosial untuk keperluan display, perayaan, dan komunikasi; (3) Kebutuhan-kebutuhan fisik mengenai barang-barang dan bangunan-bangunan yang bermanfaat. Lebih jauh dalam pengertian luas Feldman membagi fungsi seni menjadi tiga bagian, yaitu: Fungsi personal (the personal function of art); fungsi sosial (the social function of art); dan fungsi fisik (the fisical function of art).
1. a. Fungsi Personal
Fungsi personal seni merupakan saluran ekspresi pribadi, tidak hanya terbatas pada ilham saja yang semata-mata tidak berhubungan dengan emosi-emosi pribadi dan hal ihwal tentang kehidupan, tetapi juga mengandung pandangan-pandangan pribadi tentang peristiwa dan objek umum yang dekat dengan kehidupan, termasuk situasi kemanusiaan yang mendasar, seperti cinta, sakit, kematian, dan perayaan yang terulang secara konstan sebagai tema-tema seni. Tema-tema ini dapat dibebaskan dari kebiasaan, yang secara pribadi dan unik ditampilkan oleh seniman. (Feldman, terjemahan SP. Gustami, bagian satu, 1991: 4).
Seni kerajinan di Pengosekan sebagai produk budaya dibentuk berdasarkan ide, cara pandang, cara berfikir, dan curahan ekspresi estetik perajin yang terkait dengan fungsi personal. Menurut Santayana yang dikutif Setjoatmodjo (1988: 52-53) menjelaskan, bahwa makna ekspresi diartikan sebagai: (a) ekspresi yang direncanakan bagi semacam tindakan yang dilakukan seniman dalam menciptakan karya seni; (b) ekspresi dalam arti penampakan, yaitu gejala suatu tanda diagnostik; dan (c) ekspresi untuk mambayangkan kapasitas objek yang bila dikontemplasikan secara estetis akan membangkitkan image tertentu.
Terkait dengan produk seni kerajinan para perajin di Pengosekan merupakan curahan emosi dari tindakan yang direncanakan dalam memciptak produk-produk seni kerajinan. Hal ini terbukti dari hasil barang kerajinannya seperti piugra kaca tercipta dari ide yang direncakan karena kebutuhan tertentu, whind chames tercetus dari melihat whind chames yang telah ada sebelumnya,ditransforsikan ke lain media dan seterusnya. Maka secara keseluruhan terciptany produk kerajinan di pengosekan berdasarkan emosi yang dituntut oleh suatu kebutuh tertenti, salah satunya kebutuhan hidup.
Melihat kemanfaatan seni karajinan tersebut, yang bertujuan untuk melengkapi kebutuhan hidup dan untuk dinikmati pemirsanya, selain harus sesuai dengan kegunaannya, juga harus memiliki kelayakan estetis. Dengan demikian, perajin sebagai pribadi, berusaha menciptakan produk seni ukir batu padas seindah mungkin, menyenangkan sekaligus bermanfaat.
1. b. Fungsi Sosial
Seni ukir batu padas merupakan salah satu bentuk karya seni yang digunakan oleh masyarakat. Sebab itu hasil karyanya menunjukkan fungsi sosial. Untuk mengetahui bagaimana fungsi sosial dapat mengacu pada pendapat Feldman yang menjelaskan, bahwa karya seni menunujukkan fungsi sosial, apabila: (1) karya seni itu mencari atau cenderung mempengaruhi perilaku kolektif orang banyak; (2) karya itu diciptakan untuk dilihat atau dipakai (dipergunakan), khususnya dalam situasi-situasi umum; dan (3) karya seni itu mengekspresikan atau menjelaskan aspek-aspek tentang eksistensi sosial atau kolektif sebagai lawan dari bermacam-macam pengalaman personal individu. (Feldman, terjemahan SP. Gustami, bagia bagian satu, 1991: 61).
Mencrmati seni kerajinan di Pengosekan secara social memengaruhi prilaku masayrakatnya. Prilaku dalam hal ini yang dimaksud adalah prilaku bekerja keras dalam mempertahan kehidupan melalui karya-karya kerajian, berkraetivitas dalam menciptakan sesuatu barang kerajinan. Sesuai amatan dilapangan terbukti pengaruh prilaku itu ada, nampak dari anak, remaja dan dewas baik lalki-laki dan perumpuan berkreativitas dan bekerja keras, yang berimplikasi terdap meningkatnya pendapatan keluarga. Maka, pada saat ini 60% masayarakat di Pengosekan menhgayutkan hidupnya pada aktivitas kerajinan.
1. c. Fungsi Fisik
Fungsi fisik sebuah karya seni, dihubungkan dengan penggunaan benda-benda yang efektif sesuai dengan kriteria kegunaan dan efesiensi, baik penampilan maupun tuntutan permintaan. (Feldman, terjemahan SP. Gustami, bagian satu, 1991: 128). Produk seni ukir batu padas memiliki fungsi fisik karena kegunannya, antara wujud dan daya tarik penampilan sauatu karya seni sangat diperlukan. Dalam hal ini pembuatan karya seni ukir batu padas perlu mempertimbangkan segi estetiknya, sebab melalui sentuhan estetik karya seni yang tercipta memiliki daya tarik yang utama.
Memperhatikan produk seni kerajinan di Pengosekan, secara fisik memiliki fungsi masing-masing. Dapat dilihat dari produk kerajinan ayaman rontal/bassket lebih pada produk sebagai wadah, seperti wadah buah, tatakan makanan, tamepat perhiasan dan sebagainya. Dapat pula dilahat pada produk pigura kaca, yang fungsinya untuk bercermin jua sebagai hiasan dan seterusnya. Secara keseluruhan fungsi fisik produk seni kerajinan tersebut, adalah sebagai tempat atau wadah, dan sebagai hiasan
Comodification of Form of Pepalihan and Ragam Hias Wadah Created by Ida BAgus Nyoman Parta at Angantaka Village, Badung Regency
In general, this study aimed at identifying the comodification of the form of pepalihan and ragam hias
(decoration style) of wadah (the tower used for cremation ceremony) created by IBNP taking place in
the development of the art of decoration style in Bali. In particular, this study aimed at explaining the comodification of forms, the factors causing the forms to be comodified, and the meaning of the pepalihan and ragam hias wadah created by IBNP. This study was designed to be a qualitative one using the theory
of comodification, the theory of aesthetics, and the theory of semiotics. The data were collected using the techniques of observation, interview, document study, and library research. All the data were processed using descriptive, qualitative and interpretative techniques of analysis. The findings showed that the comofication of the forms of pepalihan and ragam hias wadah created by IBNP was the simplification of those developing in 1994. The factors contributing to such a simplification were the shift in the values of
the Balinese socio-culture and globalization. The innovative forms of pepalihan and ragam hias wadah created by IBNP changed the Balinese ‘wadah’ (tower) from being a sacred means of religious ceremony reflecting the strengths of God with His three manifestations (Brahma, Wisnu and Siwa) into an art creation which was beautiful and economic.
Keywords: Commodification, cremation tower, style, shape, and ornamentatio
Perkembangan Kerajinan di Desa Pengosekan
Mengamat bentuk produk seni menurut Feldman menyatakan bahwa, bentuk merupakan manifestasi fisik dari suatu objek yang bisa diamati, memiliki makna, dan berfungsi secara struktural pada objek seni (Feldman, 1967: 30). Tidak jauh berbeda dengan teori Clive Bell menerangkan, bahwa seni itu merupakan perbuatan menampilkan bentuk yang bermakna (significant form). Bentuk seperti ini adalah yang perlu ditampung oleh perasaan estetik, karena itu tidak akan terlalu salah kiranya kalau dikatakan bahwa bentuk yang dimaksud adalah yang estetik sifatnya (Clive Bell dalam Sahman, 1993: 15)
Karajinan Pigura Kaca di Desa Pengosekan
Berbarengan dengan meroketnya kerajinan ayaman rontal (basket) pada tahun 1980-an berkembang kerajinan pigura kaca. Seni kerajinan pigura kaca merupakan transformasi seni lukis fauna-flora gaya pengosekan pada media kayu. Munculnya kerajinan ini berawal dari seorang antropologi asal Amerika bernama Joose adalah teman I Dewa Nyoman Batuan yang menginap dirumahnya. Selagi melukis Batuan didatangi oleh temannya, oleh karena di dalam kamarnya tidak ada kaca cermin. Joose minta agar kamarnya dilengkapi kaca cermin dengan bingkai dari kayu berukir.
Sebagai seorang seniman yang kreatif dan kaya akan ide-ide baru,Batuan mendesain bingkai kaca untuk temannya. Desain tersebut memakai hiasan flora-fauna mirip lukisan gaya pengosekan yang dicetuskan oleh Dewa Made Kawan. Dalam mewujudkan bingkai kaca ini Batuan dibantu oleh 2 (dua) orang tukang togog (pematung) bersaudara. Meraka adalah I Wayan Meja dan I Made Meji tukang togog yang khusus membuat togog bedahulu. Setelah pigura kaca itu jadi, Batuan memperlihatkan dengan Joose sembari memasangkan dikamarnya. Ternyata Joose sangat senang dengan pigura kaca cermin yang bermotifkan flora-fauna itu.
Semenjak itu, Batuan manyuruh tukangnya membuat 20 samapai 30 pice untuk di pajang di studio lukisnya. Setiap tamu yang datang mengunjungi studionya, disamping menikmati lukisan, mereka sangat tertarik dan membeli 2 sampai 3 pice pigura kaca yang bermotif hiasan alam flora-fauna itu, usai mengapresiasi karya-karyanya. Model pigura kaca yang dicetuskan Batuan bentuknya dapat dilihat pada gambar di bawah, yang mempresentasikan kehidupan pada alam fauna-flora. Burung kakak tua hadir bercanda hinggap pada dahan nyiur seolah merayakan pertemuan yang berbahagia. Daun nyiur yang berwana hajau serta kembang sepatu yang sedang mekar di bawahnya isyarat kesuburan alam memberika kesan kedamaian, dan ketenangan. Dilahat dari bentuknya yang terpola dalam segi empat nampak teresan kaku, tetapi imbangi dangan permainan garis pada bagian sisi atas menjadikan bentuk itu enak dipandang dan tidak kaku ketika dipasang pada dinding.
Dalam tempo yang sangat singkat pigura kaca ini dilirik pasar dan semakin diminati kosmen, sehingga pada tahun 1988 mengalami perkembangan yang signifikan, baik dari pengembangan produk maupun perajinnya. Nyoman Lasya seorang perajin dan pedagang mengatakan, pada dekade 1988 sampai tahun 1995 masyarakat di pengosekan hampir 60% bergayut pada kerajinan pigura kaca itu, oleh karena sangat menjanjikan. Kala itu, pesanan datang dari konsumen kapsitasnya cukup tinggi sampai perajin di pengosekan kewalah, sehingga banyak mencari tukang/tenaga kerja keluar daerah seperti Desa Silungan, Lodtunduh, Singakerta, dan lainnya. Perkembangan banyak terjadi, selain pengemabangan tenaga keraja, bentuk-bentuk dan desain kerajinan-pun berkembang, Sehingga muncul barbagai jenis produksi seperti tempat lilin, tatakan makanan/talam, sketsel/pembatas ruangan, kotak obat dan sebagainya.
Lebih lanjut Lasya menjelaskan, pada tahun 1999 menlang tahun 2000, kerajinan pigura kaca ini mengalami penurunan peminat, sehingga beberapa perajin beralih pada pekerjaan lain. Disisi lain produk kerajinan pigura kaca flora-fauna ini tumbuh dan perkembang di luar pengosekan seperti desa Singakerta, Lodtunduh, dan lainnya.
Mendasari beberapa keterangan diatas, dapat di prediksi bawah munurunnya minat konsumen terhadap poroduk pigura kaca flora-fauna diakibatkan oleh menurunya kualitas produk, tampak jelas pada penyelesainnya terkesan terburu-buru, desain selalu menotun dan banyak terjadi diduplikasi oleh perjin di luar Pengosekan yang berimplikasi terhadap persaingan yang kurang sehat antar pengopul.
1. a. Kerajinan Cenderamata
Jenis kerajinan ini muncul setalah merosotnya produk kerajinan ayaman rontal sekitar tahun 1989. Berawal dari tangan kreatif seorang seniman yang ahli memainkan alat musik dari bambu yang lazim disebut rindik . Ia mencoba membuat instrunem sendiri sambil menunggu warung kopinya yang bertempat dijalan pengosekan. I Nyoman Warsa namanya sebenarnya, yang oleh masyarakat pengosekan Ia di panggil dengan sebutan Nyoman Kenekan. Keseharian aktivitasnya bermain gamelan gender, kadang mengiring pertujukan wayang lemah /wayang gedog, bermain rindik dihotel-hotel mengibur para tamu/wisatawan yang menginap di hotel.
Ketika Warsa sedang bermain gambelan rindik di hotel Capuhan Ubud, minghibur para tamu yang sedang menikmati makanan di restorant hotel. Usai melantumkan satu lagu atau gending, Warsa didatangi seorang toris memberikan hadiah sebuah wind chimes atau meinan yang di gantung ketika ditiup angin muncul suara akibat bentur masing-masaing komponen main itu. Toris itu semabari mengucapkan this for you, I love it, yang artinya ”ini untuk kamu saya sangat suka itu” . Sejak memdapatkan hadiah itu, Warsa terinspirasi untuk membuat whind chames dari bambu dengan meniru desain wind chames pemberian dari seorang toris di Hotel Campuahan.
Whind chames yang dibuatnya digantung di depan warung kopinya, saat angin kenjang melintas yang menggerakan pelantik suara yang tergantung ditengah –tengah bilah bambu yang nadanya sudah diseting, sehingga muncul suara merdu yang menerik setiap toris yang laulalang berjalan-jalan di depan warungnya. Secara tidak sengaja toris-torsi mempir ke warungnya sembari memperhatikan dan mendengarkan lantuman sura bamboo whind chames mereka (toris) membeli cool dringg atau segelas kopi. Apa yang dibuat Warsa tidak siasia, ternyata mendatangkan nafkah, whin chames ditiup angi segelas kopi dan sebotol minuman dingin terjual demikian selorohnya.
Seiring dengan berjalannya waktu, sejalan dengan semakin berkembangnya industri pariwisata yang berimplikasi terhadap pembenah fasilitas terutama pada sektor impratsruktur. Dibenahinya jalan yang menghubungkan desa Nyuhkning yang menghubungi, obyek wisata mongky forest dan desa Pengosekan oleh Pemerintah Daerah Gianyar, berdampak terhadap semakin ramainya toris yang lalulang ke Pengosekan. Secara tidak langsung berdampak postif terhadap usaha whind chames buatan Warsa, saban hari laku dibeli oleh toris yang melewati warungnya.
Pada tahun 1992 bambu whind chames semakin diminati konsumen, dan di buru oleh pelaku pasar. Semakin tuhun kebutuhan pasar semakin meningkat, tepatnya menjelang tahun 1998 mengalami perkembangan yang sangat signifikan baik darisegi perkembangan produk dan pengembangan perajin. Sesuai amatan di lapangan, mulai dari anak-anak. Remaja dan dewasa berkecimpung sebagai perajin whind chames.dari segi pekembangan produk dapat diamati munculnya diveriskasi produk. Sealin itu, perkembangan perkembangan kreativitas para perajin dan pemikiran-pemikiran estetik dan kualitas produk mulai dipehitungkan, dalam upaya bersaing merebut pasar.
Mengamati bentuk-bentuk kerajinan di atas, nampak seni lukis fauna-flora gaya pengosekan tetap menjadi ikon sebagai elemen estetik pada produk kerajinan. Sautu hal yang sangat menarik dan saling menguntungkan satu sama lainnya.di satu sisi pelukis dapat pekejaan tambahandalam mengisi waktu luang, di sisi lain perajin tetap lancar dalam memproduksi barang kearjinan. Hal yang paling esensial dapat dicermati dipertahankannya seni lukie flora-fauna sebagai ikon desa pengosekan, adalah merupaka suatu kelebihan perajin yang tidak terdapat di daerah lain.
Sejalan meningkatnya perkembangan kerajinan whind chames ini, perkembang pula jeni kerajinan cenderamata seperti karimbal, markas, bumerang, dan kura-kura goyang. Munculnya perkembangan jenis kerajinan ini di pengoseka disebabkan oleh permitaan konsumen yang langsung membawa contoh pada perajin. Jenis –jenis produk kerajinan cenderamata ini dapat diconto pada gambar di bawah, merupakan perkemangan bentuk-bentuk kerajinan yang saat ini masih tetap eksis di Pengosekan.
Mencermati produk kerajinan cenderamata di atas, dari bentuk dan pewarnaannya nampak masyarakat perajin di Pengosekan terbuka dan mudah meneriama pengaruh badaya luar. Terbukti secara tidak langsung wawasan perajin terbuka terhadap kesenian yang ada diluar dirinya, seperti bumerang dan karimba bukanlah alat musik dan alat permainan yang ada di Bali, kalau di cermati dari penerapan warna dengan teknik pointil dapat diiterpretasikan bahwa jenis kesenian itu merupakan kesenian dan buaya orang aburijin. Adalah suatu kelebiham masyarakat perajin Bali khusu di Pengosekan hanya sekejap mata mampu meniru kesenian dan budaya luar
BENTUK WAYANG BHUTASIU DI ATAS DAUN LONTAR
penjelasan secara ilmiah tentang unsur-unsur seni rupa, memudahkan dalam penilaian
sebuah karya seni baik karya dua dimensi, tiga dimensi dan multi dimensi Obyek itu bisa juga
merupakan obyek kesenian, di mana aspek-aspek yang di "ukur" adalah aspek-aspek
estetikanya. Bila ketiga selera dari ketiga pengamat digabungkan maka bisa didapatkan
perbandingan yang re- levan, yang meyakinkan. Karena itu Estetika yang dapat melakukan
pengukuran disebut Estetika Instrumental. (Instrument perkakas, alat, yang dipergunakan
untuk suatu pekerjaan).
Obyek itu bisa juga merupakan obyek kesenian, di mana aspek-aspek yang di "ukur"
adalah aspek-aspek estetikanya. Bila ketiga selera dari ketiga pengamat digabungkan maka
bisa didapatkan perbandingan yang re- levan, yang meyakinkan. Karena itu Estetika yang
dapat melakukan pengukuran disebut Estetika Instrumental. (Instrument perkakas, alat, yang
dipergunakan untuk suatu pekerjaan).
Masalah bahasa verbal sebagai media komunikasi, namun dalam perkembangannya
penggunaannya merambah ke berbagai bidang ilmu termasuk seni rupa. Oleh karena seni
rupa pada dasarnya berupa tanda dan berupa media komunikasi non-verbal, maka teori ini
‘dipinjam’ untuk keperluan pembahasan bahasa visual yang ada pada seni rupa.
Wujud Tuhan Yang Maha Esa dalam agama Hindu, menjadi Akasara, dimana aksara itu
menjadi sebuah kekuatan yang maha dasyat, Jika disatukan akan menjadi kekuatan alam
semesta, dalam ajaran Hindu dikenal dengan kekuatan Panca maha bhuta yaitu: kekuatan aitr,
kekuatan api, kekuatan tanah, kekuatan angin/udara dan kekuatan ruang hampa. Bentukbentuk
panca
maha
bhuta
ini
menjadi
aksara
kekereb
Bhutasiu.
Kata
Kunci:
10
unsur
seni
rupa,
Estetika,
Seiotika,
Bhutasi
ANALISIS KARYA SASTRA Drs. AGUNG WAYAN TJIDERA. M.Si 1998. Dalam Perkembangan Gaya Lukisan Made Wianta Di Tinjau Dari Dimensi Seni Kontemporer
Pemahaman karya cipta seni rupa, sangat beragam, hal ini memberikan peluang untuk
mengungkapkan, tentang apa yang dipahaminya, sehingga terjadi kecocokan anda pengamatan dan
penikmat. Tapi ada juga tersinggungan dari seniman dan penikmat sehingga, menjadi pertebatan
dan agurmentasi, yang sangat sengit, dalam sebuah diskusi, forum dan seminar.
Analisis yang digunakan dalam mengupas permasalahan karya Bapak Agung Wayan
Tjidera adalah unsur-unsur seni rupa, estika dan semiotika, sebagai dasar dalam menganalisa karyakarya
seni rupa, sehingga apa yang diragukan, diungkapkan dalam tulisannya, dapat dipahami
bersama, sebagai sebuah kebenaran atau ilimiah dalam menganalisa karya-karya yang telah
dihasilkan.
Karya yang dianalisa oleh Bapak Agung Wayan Tjidera adalah seniman yang sudah
mendunia dari Bali yaitu: Bapak Made Wianta. Karya cipta seni rupa I Made Wianta adalah
menampilkan bentuk-bentuk dasar seni rupa seperti: titik, garis, geometri, warna dan yang lainnya
dituangkan kedalam karya dua dimensi, yang mempunyai karakteristik tekstur yang bergerigi, yang
terbuat dari cat-cat akrilik dan cat minyak.
Unsur-unsur seni rupa adalah pemahaman secara detail dalam berkarya dan sebagai
penikmat, sama-sama memahami dalam proses penciptaan dan proses menikmati karya seni, yang
nantinya bermuara pada keindahan atau estetika dan makna semiotika apa yang telah di tuangkan
dalam karya cipta seni rupa tersebut, sehingga pemahaman Antara seniman dan penikmatnya tidak
terjadi penilai yang berbeda dari koridor yang telah disepakati dalam unsur-seni rupa dan estetika
dan semiotika.
Kata Kunci: Analisa karya Agung Wayan Tjidera, Unsur-unsur seni rupa, estetika,
semiotika
- …