7 research outputs found

    Tipe Granit Sepanjang Pantai Timur Pulau Batam dan Pantai Barat Pulau Bintan, Perairan Selat Batam Bintan

    Full text link
    Granit tipe I dan Tipe S tersebar sepanjang Kepulauan Riau. Di Pulau Batam dan Pulau Bintan, yang menerus dari jalur granit Johor Penensular, Malaysia. Granit-granit tersebut menerus secara alamiah dari Provinsi granit Johor sebelah Timur menerus ke kepulauan Riau sampai Bangka Belitung. Ciri granit tipe I berwarna pink biotit hadir berwarna colat gelap, mempunyai komposisi kimia SiO2 antara 53% -76%, kandungan CaO Na2O yang tinggi, kandungan Sr tinggi dan Rb rendah. Ciri granit tipe S biasanya berwarna abu-abu, hornblenda jarang ditemukan, komposisi kimia SiO2 berkisar antara 66% - 76%, mempunyai kandungan CaO dan Na2O yang rendah, biasanya Sr rendah dan Rb tinggi. (Chappel dan white, 1983) Berdasarkan Analisa data megaskopis granit di pantai Pulau Batam sebelah utara (PBT-14) dan PBT-12, berwarna abu-abu dengan tekstur afanitik, mengandung orthoklase (45%), Quartz (20), Biotite (15), Hornblende (5%) dan Plagioclase (10%). sedangkan di tengah -tengah (PBT-13) berwarna kemerahan, ukuran butir menengah sampai kasar,mengandung Orthoklase, kuarsa, Plagioklas hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tipe granit di Pulau Batam yaitu tipe I dan Tipe S. Sedangkan di Pulau Bintan sama dengan PBT-13 yaitu kemerahan, tekstur fanerik yaitu ciri dari tipe I. Berdasarkan analisa petrografis sampel di 3 lokasi di Pulau Batam terdiri dari plagioklas, orthoklas, kuarsa, biotit dan mineral opak. Demikian juga di Pulau Bintan tidak ditemukan hornblenda, kemungkinan tipe S Hal ini menunjukkan bahwa granit di daerah selidikan mempunyai tipe S, karena hornblenda tidak ditemukan. Kandungan senyawa SiO2 yang tinggi di P. Bintan (> 63,55%), kandungan CaO (4 ppm), yang tinggi, maka disimpulkan bahwa tipe granit di daerah Bintan adalah Tipe S. Di P. Batam Kandungan SiO2 yang tinggi ( > 71,39%), Kandungan CaO (0,14%- 3,48%), dan Na2O ( 17 ppm), yang tinggi, maka tipe granit di daerah Bintan adalah Tipe S. Granites S and I Type are distributed throughout the archipelago, which lie immediately to the south of Johorein Peninsular Malaysia. These granites seem to form a natural continuation of the eastern province granites in Johor to Riau Archipelago until Bangka and Belitung Island. I Type Granite show pink colour in megascopis speciment, SiO2 composition between 53% - 76%, high content Cao and Na2O, higih content Sr and low content Rb. S type granite shows greeyish, no present hornblende, SiO2 composition between 53% - 76%, Low content CaO and Na2O, Granite in the eastern coast of Batam Island in (PBT-14 and PBT-12) are greeyish, afanitic texture is made up of an orthoclase, Quartz, Biotite, Hornblende and Plagioclase. While granite in the middle (PBT-13), reddish, medium to coarse grained, Orthoclase, quartz, Plagioclase. This description shows that granite in Batam is I type and S type, while in Bintan Island is I Type. Base on petrography's analysis in 3 location in Batam island Granite, greeyish, faneric texture, medium - coarse grained, holocrystalyne, hipidiomorfic - allotriomorfic. Orthoclase, quartz, Plagioclase, Biotite, Opaque Mineral. While granite in Bintan island are gray, faneric texture medium to coarse grain, holocristalyn - alotriomorfic, consists of Plagioclase, Orthoclase, quartz and Biotite. These analysis shows that Granit in Batam and Bintan island are S Type because hornblende is not found. Base on Chemist Analysis Major element in Bintan island consists of high content SiO2 (> 63,55), and CaO (4 PPM ). These analysis shows that granite in Bintan island are S Type. Major element in Bintan island consists of high content SiO2 (>71,39%), and CaO ( 17 PPM ). These analysis shows that granite in Bintan island are S Type

    Estimasi Kecepatan Sedimentasi di Perairan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat (dalam Kaitanya dengan Rencana Pengembangan Pelabuhan)

    Full text link
    Perencanaan dan pengembangan Pelabuhan Cirebon merupakan kegiatan strategis kerena letak kabupaten dan kota Cirebon merupakan sisi penghubung antara beberapa kabupaten di bagian barat (DKI dan Jawa Barat) dan beberapa kabupaten di bagian timur (Jawa Tengah dan Jawa Timur). Demikian juga wilayah perairannya, merupakan bagian dari perairan Laut Jawa yang menghubungkan beberapa pulau di depannya, seperti Kalimantan, Sulawesi dan kepulauan di Kawasan Timur Indonesia.Salah satu kendala bagi perencanaan Pelabuhan Cirebon yaitu masalah sedimentasi yang cukup aktif di perairan ini, hal ini dimungkinkan karena banyaknya sungai-sungai besar yang membawa sedimen dari daratan disamping itu faktor oseanografi juga berperan. Metoda yang diterapkan pada penelitian ini yaitu dengan melakukan pengamatan pasang surut dan pengukuran arus, membandingkan beberapa peta dasar, menghitung kecepatan sedimentasi pada material halus (suspended sediment) dengan penentuan umur absolut berdasarkan radioaktif 210Pb. Kedudukan muka air laut rata-rata (mean sea level) sebesar 139 cm dan kedudukan air rendah (LWS) sebesar 59.93 cm dibawah duduk tengah, tipe pasang surutnya adalah “pasang campuran yang condong ke harian gandaâ€, berdasarkan bilangan Formzal F sebesar 0.51. Kondisi arus pada saat pasang kecepatan arus permukaan rata-rata mencapai 0,072 m/detik dan arus menengah mencapai 0,056 m/detik. Pada saat surut kecepatan arus permukaan rata-rata mencapai 0,075 m/detik dan arus menengah mencapai 0,055 m/detik. Pada daerah dekat pantai pola arus permukaan relatif sama dengan pola arah angin dominan yaitu berarah timurlaut – baratdaya. Faktor lain yang mempengaruhi pola arus adalah banyaknya sungai besar serta adanya Tanjung Dleweran yang menjorok ke laut sehingga terjadi pola arus yang menutup (louping current). Kecepatan sedimentasi rata-rata di perairan Astanajapura berdasarkan penentuan umur unsur radioaktif 210Pb berkisar antara 1,37 – 1,5 cm/tahun dengan muatan sedimen rata-rata berkisar antara 30,44 – 36,1 kg/m2/tahun. Planning and development of Cirebon Port is a strategic activity, because some district in the west part (DKI and West Java) and the east part (Central Java and East Java) is connected by the Cirebon district. Cirebon waters isbelonging to the Java Sea and also as a connecting same island in front of, such as Kalimantan, Sulawesi and the eastern part of Indonesia islands. Once of constrain for port development in Cirebon district is a sedimentationrate, this problem due to much sediment are carried by the big rivers from the land. In this research the method are used such as tide observation, current measurement, complied some base map, sediment rate accounting with determining of age absolute base on 210Pb radioactive.Mean sea lavel is 139 cm and low water sea is 59,93 cm below mean sea lave, base on Fromzal unit 0.51 type oftide is mixed tide to predominantly semi diurnal. Mean surficial current velocity is 0.072 m/sec and medium current velocity is 0.055 m/sec in the tide, meansurficial current velocity is 0.075 m/sec and medium current velocity is 0.055 m/sec in the ebb. In the near shore the surficial current relative same with the dominant wind direction that is notheast-southwest. There are many big river and Dleweran cape which extends into the sea cause the louping current are the other factor which influence the current. The average of sedimentation rate in the Astanajapura waters base on radioactive 210Pb dating is 1,37 – 1,5 cm/yr and the average of sediment mass flux is 30,44 – 36,1 kg/m2yr-1

    Jalur Migrasi dan Akumulasi Gas Biogenik Berdasarkan Profil Seismik Pantul Dangkal dan Korelasi Bor Bh-2 di Perairan Sumenep, Jawa Timur

    Full text link
    Pengambilan data seismik pantul dangkal di Perairan Sumenep dan pemboran inti sedalam 42 meter di pesisir selatan Sumenep dilakukan untuk memperlihatkan keadaan lapisan batuan dangkal. Profil seismik pantul dangkal memperlihatkan runtunan seismik A berumur Pra Kuarter dan runtunan seismik B berumur Kuarter – Resen. Runtunan A telah mengalami perlipatan dan pensesaran di mana di beberapa tempat diterobos oleh diapir lumpur, bahkan sampai ke permukaan laut. Runtunan B memperlihatkan pantulan transparan dan di beberapa tempat diterobos oleh diapir lumpur. Bor BH-2 memperlihatkan lempung hitam berumur Holosen – Resen yang ditemukan di atas Formasi Pamekasan yang berumur Pleistosen. Lempung hitam ini tersebar pada kedalaman 13.5 - 41 meter dengan kandungan gas metan sekitar 0.1 % mol yang terdeteksi pada kedalaman 17 – 18.5 meter dan 35.85 – 38.15 meter, serta didominasi oleh bakteri metanogenik Methanosarcina frisia yang menunjukkan lingkungan pengendapan estuaria. Kadar gas biogenik dangkal pada lempung hitam berjumlah kecil sehingga tidak potensial untuk dieksplorasi lebih lanjut. Kurangnya potensi gas biogenik dangkal di Perairan Sumenep kemungkinan disebabkan oleh proses tektonik, kondisi stratigrafi (sistem estuaria) dan struktur (rembesan gas ke atmosfer melalui patahan-patahan minor dan diapir lumpur) yang berpengaruh pada jalur migrasi dan akumulasi gas biogenik. Kata kunci: gas biogenik dangkal, migrasi, akumulasi, estuaria, diapir lumpur, lempung hitam Shallow seismic data acquisition in Sumenep waters and coring to 42 meter depth in shouthern coast of Sumenep were carried out to investigate a shallow sediment layers. The shallow reflection profiles indicate seismic sequence A of pre Quaternary and seismic sequence B of Quartenary Recent. Seismic sequence A was folded and faulted, whre in some places were intruded by mud diapirs which expose above water surface. Seismic sequence B indicates transparency reflection and in some places was intruded by mud diapirs. Core BH-2 indicates Holocene-Recent blacky clay that rest on the Pleistocene Pamekasan Formation. This blacky clay distribute at 13,5 – 41,5 meters depth with methane content about 0.1 % mol that detected at 17 – 18,5 meters depth and 35.05 – 38.15 meters depth, which is also dominated by metanogenic methanosarcinafrisia that indicates an estuaria depositional environment. The content of shallow biogenic gas within black clay is small, therefore it is inpotential to be futher explored. The lack of shallow biogenic gas in Sumenep waters. Key word : Shallow Biogenic Gas, Migration, Accumulation, Estuary, Mud diapir, Black clay

    Kandungan Gas Biogenik dan Termogenik Gas Sedimen Dasar Laut di Perairan Selat Madura. (Pengaruhnya terhadap Sifat Fisik dan Keteknikan)

    Full text link
    Sedimen dasar laut di daerah perairan Madura dan sekitarnya umumnya mengandung kandungan gas yang dampaknya terhadap sifat fisik sedimen dasar laut sangatlah signifikan. Hal ini kaitannya dengan rencana peletakan pondasi bangunan infrastruktur di Perairan Selat Madura dan sekitarnya. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pemboran dimulai dari kedalaman 1 hingga 20 m dibawah permukaan dasar laut mengandung gas biogenik.. dengan kandungan metana berkisar 50 hingga 60 ppm sedangkan kandungan propana dan isobutana kurang dari 0,2 ppm. Kedalaman lebih dari 20 m dibawah permukaan dasar laut hingga 60 m adalah gas termogenik. Konsentrasi maksimum gas termogenik berupa propana, isobutana dan etana pada kedalaman 52.85 m berkisar dari 0,1 hingga 8,453 ppm. Dari kedua tipe gas ini tahap pembentukan diagenesanya berbeda akibat pengaruh temperatur yang berbeda, sehingga mempengaruhi stabilitas sifat fisik dan keteknikan sedimennyapun berbeda pula. Untuk itu dalam perencanaan pembangunan infrastruktur kelak perlu diantisipasi dengan keberadaan gas tersebut. Sea bottom sediment in Madura waters and surrounding area in generally contains gas which the impacts to physical and engineering properties of sea bottom sediments are very significant. It is connecting with the place of infrastructure building in Strait Madura waters and surrounding area. Based on core drilling the biogenic gas is already contented starting from surface 1 to 20 m depth. It contents methane around 50-60 ppm, propane and isobutene less than 0,2 ppm. The second is thermogenic gas which place more than 20 m depth until 60 m, the maximum concentrates of thermogenic gas (propane, isobutene and ethane) in 52,85 depth are around 0,1 - 8,453 ppm. From both types, the formation method in diagnoses phase is different, because of different of temperaturet so in influence the stability of physical and engineering properties sediment will be different. For that the plan of infrastructure development should be anticipated by existence of the gas

    Pendangkalan Pelabuhan Cirebon dan Astanajapura Akibat Proses Sedimentasi (Berdasarkan Data Seismik Pantul Dangkal dan Pemboran Inti)

    Full text link
    Pelabuhan Cirebon dan rencana pelabuhan Astanajapura di bagian utara Jawa Barat, saat ini sedang mengalami ancaman akan pendangkalan, hal ini ditunjukkan oleh tingginya aktifitas pengerukkan oleh PT. Pelindo yang dilakukan setiap 6 bulan sekali. Untuk mengevaluasi masalah pendangkalan tersebut, penulis melakukan telaah menggunakan metoda geologi dan geofisika yang difokuskan pada penafsiran seismik pantul dan pemboran inti. Hasil penafsiran seismik pantul dangkal memperlihatkan adanya pola progradasi yang saling menindih. Hal ini ditafsirkan bahwa proses sedimentasi di daerah ini berjalan sangat aktif hingga sekarang. Sedangkan keberadaan pola reflektor sejajar dan sigmoid kombinasi dengan pola syngled dan divergent di bagian bawahnya, menunjukkan bahwa sedimen merupakan endapan delta di dekat pantai. Dari hasil pemboran inti, dijumpai sedimen fraksi halus setebal 20,00 meter, dari atas ke bawah tersusun atas lempung lanauan, lempung dan pasir lepas. The Cirebon and the planned Astanajapura Harbour in the northern West Jave are resently having a rapid shoaling. This is indicated by high frequency number of seafloor dredging, i.e. at every 6 months by PT. Pelindo. The geology and geophysical method, emphasizing on the reflection seismic and core drilling interpretations had been used to evaluate this shoaling problem. The interpretation of reflection seismic show that there is a sediment progradation pattern, indicate that sedimentation is progressing very actively in this area. Parallel reflection and sigmoid patterns and their combination with singled and divergent pattern at the bottompart indicate that the sediment is a nearshore deltaic sediment. Sediment of fine fraction of 20 metres thick, consisting of silly clay, clay and loose sand was found from the result of core drilling
    corecore