30 research outputs found

    ETIKA PROFESI PADA MANAJEMEN INFORMASI KESEHATAN (MrK)

    Get PDF
    ETIKA PROFESI PADA MANAJEMEN INFORMASI KESEHATAN (MrK

    Perbedaan Rerata Kadar Progesterone-Induced Blocking Factor (PIBF) Serum Penderita Abortus Iminens dengan Kehamilan Normal

    Get PDF
    Progesterone-Induced Blocking Factor (PIBF) merupakan suatu mediator yang diproduksi oleh limfosit wanita hamil yang telah mengalami sensitisasi oleh progesterone, yang menyebabkan terjadinya toleransi terhadap antigen paternal sehingga dapat menekan produksi sitokin-sitokin Th-1 yang bersifat sitotoksis terhadap kehamilan. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan antara rerata kadar PIBF serum penderita abortus iminens dan kehamilan normal usia kehamilan 12-20 minggu. Studi ini dilakukan dengan metode analitik observasional dengan desain cross- sectional comparative. Subjek penelitian adalah wanita hamil yang datang ke poliklinik dan IGD kebidanan rumah sakit Dr.M.Djamil Padang, RSUD Bukittinggi, RSUD Painan, RSUD Batusangkar, RSUD Pariaman dan RSUD Solok pada periode Mei 2016 sampai September 2016. Pemeriksaan kadar PIBF dilakukan di Laboratorium biomedik FK UNAND. Total sampel adalah 30 orang, yang dibagi menjadi 2 kelompok yaitu 15 orang pada kelompok abortus iminens dan 15 orang pada kelompok kehamilan normal. Analisis statistik untuk menilai kemaknaan menggunakan unpaired t-test. Didapatkan rerata kadar PIBF serum penderita abortus iminens (623.3±80.6 ng/ml) lebih rendah secara signifikan dibandingkan dengan kehamilan normal (993.1±68.5 ng/ml) (p=0.000). Simpulan penelitian ini adalah kadar PIBF serum penderita abortus iminens lebih rendah dibandingkan kehamilan normal

    Pengaruh Vitamin C terhadap Waktu Perdarahan Mencit yang Dipapar Asap Rokok

    Get PDF
    Asap rokok diketahui meningkatkan Reactive Oxygen Species (ROS). ROS dapat merusak pembuluh darah dan mengubah reaktivitas trombosit sehingga mengganggu sistem hemostasis. Vitamin C sebagai antioksidan esensial bagi tubuh terbukti dapat mengurangi kerusakan oksidatif akibat ROS. Tujuan penelitian ini adalah membuktikan potensi vitamin C dalam menghambat gangguan hemostasis melalui pengamatan waktu perdarahan mencit yang dipapar asap rokok. Penelitian Randomized Pre Test-Post Test Control Group Design ini dilakukan pada 21 ekor mencit jantan yang dibagi menjadi tiga kelompok. Pemberian perlakuan pada hari ke-1 hingga ke-14, yaitu P1 (kontrol negatif), P2 (paparan asap rokok 10 menit perhari), dan P3 (vitamin C 0,4 mg/gBB/hari + paparan asap rokok 10 menit perhari). Pengukuran waktu perdarahan metode tail bleeding pada hari ke-0 dan ke-15. Analisis data menggunakan uji t-paired, one-way Anova, dan post-hoc LSD. Hasil penelitian menunjukkan rerata waktu perdarahan P1 mengalami perubahan yang tidak bermakna dari 60,16 ± 3,27 menjadi 57,61 ± 4,88 detik. P2 mengalami perubahan yang bermakna dari 59,34 ± 6,93 menjadi 38,85 ± 3,43 detik. P3 mengalami perubahan yang bermaknadari 59,36 ± 3,07 menjadi 51.85 ± 3,45 detik. Terdapat perbedaan rerata waktu perdarahan setelah perlakuan yang bermakna signifikan (p = 0,000) antara P2 dengan P3. Penelitian ini berhasil membuktikan potensi vitamin C dalam mencegah pemendekan waktu perdarahan lebih lanjut sebagai indikator gangguan hemostasis akibat paparan asap rokok

    Hubungan Faktor Risiko terhadap Kejadian Asma pada Anak di RSUP Dr. M. Djamil Padang

    Get PDF
    AbstrakPrevalensi asma  terus meningkat (5—30% dalam satu dekade terakhir) dan lebih dari 50% penderita saat ini adalah anak-anak. Fenomena ini tidak terlepas dari kompleksitas patogenesis asma yang melibatkan faktor genetik dan lingkungan  yang dimulai sejak masa fetal. Tujuan penelitian ini adalah menentukan hubungan antara faktor genetik, demografi, lingkungan, dan perinatal terhadap kejadian asma anak di RSUP Dr. M.. Djamil Padang. Desain penelitian ini adalah case-control study terhadap pasien rawat inap di bangsal anak. Pemilihan sampel menggunakan teknik simple randomized sampling dengan jumlah 78 pasien (39 kasus dan 39 kontrol). Data didapatkan melalui rekam medis subyek penelitian. Analisis data yang digunakan yaitu univariat dan bivariat dengan chi-square. Hasil uji chi-square menunjukkan usia < 5 tahun (p= 0,364), jenis kelamin laki-laki (p=0,255), berat badan lahir rendah (p=0,358), obesitas (p=0,382)  tidak memiliki hubungan bermakna dengan asma anak. Hanya riwayat atopi (p <0,05) yang memiliki hubungan berarti. Riwayat paparan asap rokok dan bulu binatang tidak lengkap; sedangkan  usia gestasional hanya satu kelompok saja sehingga tidak dianalisis. Disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara usia <5 tahun, jenis kelamin laki-laki, prematuritas dan obesitas dengan kejadian asma anak. Hubungan bermakna hanya terdapat pada riwayat atopi dengan kejadian asma anak.Kata kunci: asma anak, faktor risiko, riwayat atopi  AbstractPrevalence of asthma is  still elevating (5—30% at last decade) and more than 50% of asthmatic is children. This phenomenon is predicted correlating with the complexity of pathogenesis of asthma (included genetic, environtment and perinatal factors) that began from fetal-age. The objectives of this study was to deternine the correlation of genetic, demographic, environtment, perinatal factors to asthma in children in RSUP Dr. M. Djamil Padang. Research design was case-control study. The pediatric patients in RSUP Dr. M. Djamil Padang were the population. The 78 samples were taken by simple randomized sampling technique (39 cases and 39 controls). The chi-square test showed no correlation among age <5 years old (p=0,364), male for sex (p=0,255), low birth-weight (p=0,358), obesity (p=0,382) to children asthma. The history of atopy (p <0,05) was the only correlation to asthma in RSUP M. Djamil Padang. The data of environtment tobacco smoke and pet’s hair were not completed and prematurity history  just the only grouped in class of gestasional age, so the data were not analyzed. In conclusion, there are no correlation among age <5 years old, male for sex, low birth-weight, and obesity with children asthma. Atopic history is the  only data that has correlation with children ashtma in RSUP M. Djamil Padang. Keywords: children asthma, risk factors, atopic histor

    Perbandingan Levofloxacin dengan Ciprofloxacin Peroral dalam Menurunkan Leukosituria Sebagai Profilaksis Isk pada Kateterisasi di RSUP. Dr. M. Djamil Padang

    Get PDF
    AbstrakInfeksi saluran kemih (ISK) adalah keadaan ketika kuman tumbuh dan berkembang biak di dalam saluran kemih dalam jumlah yang bermakna. Diagnosis ISK ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis bakteriuria dan leukosituria. ISK pasca kateterisasi merupakan penyebab terbesar infeksi nosokomial, dengan sumber kuman bisa dari penyebaran ascending (seperti penggunaan kateter), hematogen maupun limfogen. Antibiotik profilaksis perlu diberikan untuk mencegah infeksi, mengingat tingginya kemungkinan ISK pasca kateterisasi. Flouroquinolon saat ini masih direkomendasikan untuk profilaksis ISK, namun akhir-akhir ini banyak laporan tentang resistensi terhadap golongan ini, terutama ciprofloxacin. Ciprofloxacin adalah golongan fluoroquinolon generasi kedua sedangkan Levofloxacin merupakan generasi ketiga. Di RSUP DR M Djamil, khususnya di SMF Urologi belum ada data mengenai perbandingan keefektifan levofloxacin dan ciprofloxacin ini terhadap profilaksis ISK. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian keefektifan levofloxacin dibandingkan dengan ciprofloxacin dalam menurunkan insiden leukosituria sebagai profilaksis ISK pada pasien yang dipasang kateter Foley. Metode: Subjek diambil dari 30 pasien yang akan dipasang kateter Foley, yang dibagi atas dua kelompok atas 15 pasien. Setelah pemasangan dilakukan urinalisis untuk menentukan kadar leukosit 5%). Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan keefektifan antara Levofloxacin oral 750 mg dengan Ciprofloxacin oral 750 mg dalam menurunkan insiden leukosituria sebagai terapi profilaksis terhadap ISK pada pasien yang dipasang Foley catheter.Kata kunci: Levofloxacin, Ciprofloxacin, Leukosituria.AbstractUrinary tract infection (UTI) occurred when bacteria grow and multiply in the urinary tract in significant quamtities. The diagnosis of UTI is confirmed by clinical manifestations with bacteriuria and leukocyturia. Post-catheterization UTI is the biggest cause of nosocomial infection, with the bacteria spread in ascending (such as the use of catheter), haematogenous or lymphogenous fashions. Prophylactic antibiotic is needed to prevent infection because the probability of post-catheterization UTI is high. Fluoroquinolone is currently recommended for UTI prophylaxis, however, reports about resistance to it is accumulating, especially ciprofloxacin. Ciprofloxacin is the second generation fluoroquinolone, and the later addition is Levofloxacin as the third generation fluoroquinolone. At RSUP Dr. M. Djamil, notably at the Urology section, no data is available regarding the comparison of the effectiveness between the two generations. It is therefore a research on this efficacy between those antibiotics in lowering the incidence of leukocyturia as the measure to prevent UTI in patients with Foley catheter. Method: Subjects are 30 patients with Foley catheter, divided into two groups of 15 patients each. After insertion of catheter, urinalysis was performed to determine that the lecocyte count was less than 10 per high power field of the microscope, and each group then received either Ciprofloxacin or Levofloxacin, 750 mg orally. Urinalysis was repeated three days after the catheter wa inserted. Results: No significant differnce was found in urinary leucocyte count between the two groups, either on the day cathete was inserted (p Fisher = 0.159) or three days after (p Fisher 0.097). There was no significant difference on the reduction of lucocyte count among the two groups (chi-square = 1.222; P>5%). Conclusion: There was no difference in effectiveness between oraly administered 750 mg Levofloxacin and 750 mg Ciprofloxacin in lowering the incidence of leukocyturia as prophilactic measures against UTI on patients using Foley catheter.Keywords: Levofloxacin, Ciprofloxacin, Leukosituria

    Analisis Sistem Rujukan Kelainan Refraksi dari Puskesmas ke Rumah Sakit di Kota Pariaman Tahun 2018

    Get PDF
    Salah satu upaya pelayanan kesehatan mata adalah pelayanan kelainan refraksi. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 5 Tahun 2014, kelainan refraksi masuk dalam 144 diagnosis yang harus diselesaikan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Data Dinas Kesehatan Kota Pariaman Tahun 2015–2017 menunjukkan bahwa semua kelainan refraksi dirujuk ke rumah sakit yang jumlahnya setiap tahun menunjukan peningkatan yang berakibat pada tingginya angka rujukan dari puskesmas ke rumah sakit. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan bagaimana penanganan kelainan refraksi dan faktor penyebab dirujuknya kelainan refraksi ke rumah sakit. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Data karakteristik responden didapatkan melalui wawancara mendalam, telaah dokumen dan observasi tentang pelayanan kelainan refraksi pada Puskesmas-Puskesmas di Kota Pariaman. Hasil penelitian menunjukan bahwa SDM untuk pelayanan refraksi di puskesmas Kota Pariaman sudah memadai dari segi kompetensi. Sarana prasarana untuk pemeriksaan refraksi sudah lengkap pada semua puskesmas. SOP untuk pemeriksaan refraksi hanya dimiliki oleh puskesmas yang memiliki tenaga refraksionis. Pelayanan sudah dimulai dari anamnesa, pemeriksaan mata dasar dan pemeriksaan refraksi. Semua kelainan refraksi dirujuk ke rumah sakit karena adanya panduan pelayanan alat kesehatan dari BPJS Kesehatan bahwa untuk mendapatkan kacamata bagi peserta JKN harus dengan rekomendasi dokter spesialis mata. Hasil penelitian dapat disimpulkan merujuk semua kelainan refraksi ke rumah sakit adalah karena panduan pelayanan alat kesehatan dari BPJS Kesehatan yang berakibat pada tingginya angka rujukan dari puskesmas ke rumah sakit serta terjadinya in-efisiensi anggaran

    Pola Tekanan Darah Pada Lansia di Posyandu Lansia Kelurahan Padang Pasir Padang Januari 2014

    Get PDF
    AbstrakSaat ini, di seluruh dunia jumlah penduduk lanjut usia diperkirakan mencapai 500 juta, dan diperkirakan pada tahun 2025 akan mencapai 1,2 milyar. Berdasarkan data penduduk mutakhir, jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia sekarang sekitar 16 juta jiwa. Pada tahun 2025, jumlah penduduk Indonesia diproyeksikan mencapai 273 juta jiwa, dan hampir seperempat dari jumlah penduduk tersebut atau sekitar 62,4 juta jiwa tergolong sekelompok penduduk lanjut usia.Menjadi lanjut usia adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya.Kemunduran struktur dan fungsi organ juga terjadi pada sistem kardiovaskular, salah satunya adalah dinding arteri telah menebal dan kaku karena arteriosklerosis sehingga darah dipaksa untuk melalui pembuluh yang sempit daripada biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan darah dan menimbulkan berbagai komplikasi yang mengancam jiwa.Penelitian dilakukan pada lansia di posyandu lansia Kelurahan Padang Pasir pada Januari 2014. Penelitian ini menggunakan desain observasional dengan jenis cross sectional study dengan jumlah sampel 17 lansia. Pengumpulan data dilakukan dengan pengukuran tekanan darah langsung kepada lansia. Hasil penelitian menemukan bahwa 11 dari 17 lansia (64,7%) menderita hipertensi. Kelompok umur terbanyak yang menderita hipertensi dalam rentang 60-65 tahun, dan angka kejadian wanita lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki serta stadium hipertensi yang dominan adalah stadium satu (140-159/90-99). Dari 11 lansia hipertensi, 10 diantaranya (90,9%) menderita hipertensi sistolik terisolasi.Kata Kunci: lansia, tekanan darah, hipertensi sistolik terisolasiAbstractCurrently, the worldwide number of elderly people is expected to reach 500 million, and is expected in 2025 will reach 1.2 billion. Based on the latest population data, the number of elderly people in Indonesia now around 16 million people. In 2025, Indonesia's population is projected to reach 273 million people, and nearly a quarter of the total population, or about 62.4 million people belong to a group of elderly people. Being elderly is a process of gradual disappearance of the network’s ability to self-repair or replace themselves and maintain the structure and function normally. Setbacks structure and function of organs also occur in the cardiovascular system, one of which is the arterial wall has been thickened and stiff due to arteriosclerosis so that blood is forced through narrow vessels than usual and cause a rise in blood pressure and cause life-threatening complications. The study was conducted elderly at Padang Pasir elderly intergrated health post in January 2014. This study used observational design with the type of cross -sectional study by using 17 elderly as samples. Files collection was performed by measurement of blood pressure directly to the elderly. The results found that 11 of the 17 elderly (64.7 %) had hypertension. Largest age group with hypertension in a span of 60-65 years, and the incidence of women is higher than men with the dominant stage is the first stage of hypertension (140-159/90-99). Between 11 elderly hypertensive, 10 of them (90.9 %) had isolated systolic hypertension.Keywords: elderly, blood pressure, isolated systolic hypertensio

    Hubungan Kualitas Tidur dengan Tekanan Darah pada Pelajar Kelas 2 SMA Negeri 10 Padang

    Get PDF
    Hipertensi didefinisikan dengan tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥90 mmHg. Hipertensi tidak hanya menyerang di usia  tua  saja, tetapi remaja juga bisa mengalaminya. Aktivitas yang padat pada remaja dan dewasa muda mengakibatkan mereka cenderung mengalami gangguan tidur yang merupakan salah faktor resiko terjadinya kenaikan tekanan darah. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan hubungan antara kualitas tidur dan tekanan darah pada pelajar kelas 2 SMA Negeri 10 Padang. Metode yang digunakan adalah analitik deskriptif dengan sampel adalah 153 orang siswa kelas 2 SMA Negeri 10 Padang yang termasuk kriteria inklusi dan eklusi. Penilaian kualitas tidur dengan menggunakan kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) dan tekanan darah dengan menggunakan sphygmomanometer air raksa dan stetoskop. Data dianalisis menggunakan uji statistik “t-independent”. Hasil penelitian menunjukkan kualitas tidur buruk sebanyak 106 orang (69,3%) dan baik sebanyak 47 orang (30,7%). Rata-rata tekanan darah sistolik dan diastolik subjek adalah 114,28 mmHg dan 73,13 mmHg. Hasil analisis data statistik kualitas tidur dengan tekanan darah sistolik didapatkan p=0,000 dan diastolik  didapatkan p=0,000. Simpulan studi ialah terdapat perbedaan yang bermakna (p<0,05)

    Hubungan Antara Penggunaan Kontrasepsi Hormonal Suntik DMPA dengan Peningkatan Berat Badan di Puskesmas Lapai Kota Padang

    Get PDF
    AbstrakKontrasepsi hormonal suntik Depo-Medroxyprogesterone Acetate (DMPA) merupakan salah satu metode kontrasepsi yang banyak digunakan. Kontrasepsi ini memiliki efektivitas yang baik, tetapi memiliki beberapa efek samping. Efek samping tersebut adalah gangguan haid berupa amenorea, bercak perdarahan dan perdarahan di luar siklus haid. Selain itu terdapat adanya peningkatan berat badan pada penggunaan kontrasepsi DMPA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara penggunaan kontrasepsi hormonal suntik DMPA dengan peningkatan berat badan. Penelitian dilakukan di Puskesmas Lapai Kota Padang, pada bulan Mei sampai Desember 2013. Jenis penelitian adalah analitik observasional dengan rancangan cross sectional. Sampel adalah akseptor yang telah menggunakan kontrasepsi DMPA minimal delapan kali, dengan jumlah 40 akseptor. Analisis data dilakukan secara bivariat dengan menggunakan uji T. Hasil penelitian menunjukkan 23 akseptor (57.50%) mengalami peningkatan berat badan. Sebagian besar rata-rata peningkatan berat badan dalam satu tahun adalah >0 – 1 kg (47.8% akseptor). Rata-rata berat badan sebelum dan setelah penggunaan kontrasepsi DMPA adalah 54.4 kg dan 58.1 kg. Terdapat hubungan yang bermakna antara penggunaan kontrasepsi hormonal suntik DMPA dengan peningkatan berat badan (p=0.000 0 – 1 kg (47.8% acceptor). Average body weight before and after usage of DMPA contraception is 54.4 kg and 58.1 kg. There is a relationship between the use of injectable hormonal contraceptive DMPA with weight gain (p=0.000 > 0.05).Keywords: weight loss, DMPA, contraceptio

    Perbandingan Kadar Heat Shock Protein 90 dan Tumor Necrosis Factor-α Antara Kehamilan Preterm Dengan Ketuban Pecah Dini dan Tanpa Ketuban Pecah Dini

    Get PDF
    Ketuban pecah dini (KPD) berkaitan dengan peningkatan kadar Heat Shock Protein 90 (HSP 90) dan Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α) yang muncul akibat stres oksidatif. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan kadar HSP 90 dan TNF-α antara kehamilan preterm dengan KPD dan tanpa KPD. Penelitian ini menggunakan rancangan comparative study yang dilaksanakan di RSUD dr. Rasidin, RS Tk.III Reksodiwiryo, RS Bhayangkara, Puskesmas Lubuk Buaya dan Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Andalas dari bulan Oktober 2017 sampai Juli 2018. Jumlah sampel sebanyak 24 ibu hamil preterm dengan KPD dan 24 ibu hamil preterm tanpa KPD dengan menggunakan teknik consecutive sampling. Pemeriksaan HSP 90 dan TNF-α menggunakan metode ELISA. Uji normalitas data dengan uji Shapiro-Wilk. Analisis data komparatif menggunakan uji Mann-Whitney. Median kadar HSP 90 yaitu 11,21 ng/mL pada kehamilan preterm dengan KPD dan 9,15 ng/mL pada kehamilan preterm tanpa KPD dengan nilai p < 0,05. Median kadar TNF-α yaitu 0,21 ng/mL pada kehamilan preterm dengan KPD dan 0,17 ng/mL pada kehamilan preterm tanpa KPD dengan nilai p < 0,05. Kadar HSP 90 dan TNF-α pada kehamilan preterm dengan KPD lebih tinggi secara bermakna dibandingkan pada kehamilan preterm tanpa KPD
    corecore