5 research outputs found

    METODE DISKUSI KELOMPOK MATA KULIAH PARASITOLOGI DALAM UPAYA PENINGKATAN PEMBELAJARAN YANG EFEKTIF DAN EFISIEN

    No full text
    Mata kuliah Parasitologi (2 SKS) merupakan mata kuliah yang sarat dengan hafalan, sehingga timbul rasa bosan, dan nilai yang dicapai belum bisa mencapai optimal. Dari latar belakang masalah di atas dirumuskan permasalahan sebagai berikut : Apakah dengan metode diskusi kelompok mahasiswa dapat lebih memahami mata kuliah Parasitologi?. Apakah mahasiswa lebih dapat memahami mata kuliah Parasitologi dengan menampilkan banyak transparansi yang menarik dan foto/gambar parasit?. Tujuan dari penerapan metode ini adalah meningkatkan pemahaman mahasiswa terhadap materi mata kuliah Parasitologi, sekaligus meningkatkan nilai (IP) mahasiswa pada mata kuliah Parasitologi. Proses belajar mengajar mata kuliah ini menggunakan metode kuliah (ceramah), praktikum dan tutorial (diskusi kelompok). Kuliah diikuti ± 120 mahasiswa, diberikan selama 12 kali tatap muka yang terbagi dalam 3 pokok bahasan. Pada awal kuliah mahasiswa dijelaskan tentang Garis-Gans Besar Program Pengajaran (GBPP), kontrak perkuliahan dan Satuan Acara Perkuliahan (SAP). Sepuluh menit sebelum kuliah berakhir, diadakan diskusi yang sifatnya terbatas dan diberikan tugas kuliah yang yang dikerjakan secara individu dan tugas kelompok sebagai bahan untuk diskusi pada waktu tutorial. Praktikum diberikan setelah materi kuliah diberikan, dengan materi disesuaikan dengan pokok bahasan kuliah. Praktikum diberikan selama 3 jam. Kelompok praktikum dibagi dalam beberapa kelompok kecil, masing-masing maksimal 7 � 8 orang mahasiswa. Tugas praktikum dan diskusi kecil dengan bimbingan dosen pembimbing praktikum. Setiap kali akhir praktikum mahasiswa harus membuat laporan praktikum. Pelaksanaan tutorial dibagi dalam 2 kelompok, masing-masing sebanyak 60 mahasiswa, dibimbing oleh satu dosen tutor. Dalam kelompok tutorial dibagi menjadi 4 kelompok kecil, masing-masing sebanyak 15 mahasiswa. Tutorial dilakukan selama 1 jam (60 menit). Setiap kali tutorial, satu kelompok kecil diberikan kesempatan untuk mempresentasikan tugas tutorial, sedang 3 kelompok lainnya sebagai penyanggah. Setelah diadakan evaluasi/ujian, maka hasilnya menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pemahaman mahasiswa terhadap teori parasitologi dibanding tahun yang lalu (sebelum ada proyek hibah pengajaran), terbukti kwalitas nilai yang lebih baik, tetapi untuk praktikum terjadi penurunan nilai mahasiswa, hal ini disebabkan jumlah mahasiswa yang meningkat tajam (+ 25%), sedangkan sarana dan prasarana praktikum tetap (seperti tersedianva mikroskop)

    IDENTIFIKASI DAN PRODUKSI ANTIBODI POLIKLONAL SPESIFIK TERHADAP PROTEIN IMUNOGENIK JENIS SKIZON LEUCOCYTOZOON SP. UNTUK PENGEMBANGAN KIT DIAGNOSTIK

    Get PDF
    Diagnosis terhadap Leucocytozoonosis selama ini melalui pemeriksaan ulas darah untuk melihat adanya stadium gamet dan gerusan jaringan untuk melihat stadium skizon Leucocytozoon. Cara diagnosis seperti ini kurang akurat dan sering terlambat karena adanya parasit stadium gamet maupun skizon dalam tubuh induk semang akan mengakibatkan gejala klinis yang berat bahkan kematian. Oleh karena itu diagnosis secara serologis sangat dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis secara cepat dan akurat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi protein skizon Leucocytozoon yang immunogenik. Dengan ditemukannya protein yang immunogenik diharapkan bisa memproduksi antibobdi poliklonal yang spesifik. Antibodi tersebut bisa dipakai sebagai bahan diagnosis molekuler. Protein skizon yang bersifat immunogenik selanjutnya dapat dikembangkan sebagai bahan vaksin untuk penanggulangan Leucocytozoonosis. Ayam yang positif terkena Leucocytozoonosis diambil organ paru, hati, ginjal, limfa untuk diisolasi protein skizon Leucocytozoon dengan cara sonikasi. Dari hasil isolasi protein kemudian dilakukan elektroforesis dengan SDS-Page untuk menentukan fraksi protein yang dihasilkan. Selanjutnya, protein diinjeksikan ke kelinci untuk mendapatkan antibodi poliklonal yang akan digunakan untuk immunoblotting guna mendapatkan protein yang immunogenik. Protein yang immunogenik dipisahkan dengan kolum kromatografi. Hasil pemisahan tersebut digunakan sebagai bahan produksi antibodi poliklonal spesifik pada kelinci. Pengukuran titer antibodi yang didapat dilakukan dengan uji ELISA. Setelah mencapai titer antibodi yang tinggi, kelinci dikorbankan untuk mendapatkan serum yang mengandung antibodi poliklonal spesifik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada 6 protein skizon Leucocytozoon dengan BM sebagai berikut : 68,2 kDa, 55,2 kDa, 49,7 kDa, 44,7 kDa, 30,7 kDa, 20,2 kDa. Sedangkan yang immunogenik ada 4 protein yaitu dengan BM : 68,2 kDa, 55,2 kDa , 49,7 kDa dan 44,7 kDa yang dapat memproduksi antibody poliklonal spesifik pada kelinci. Disarankan penelitian lebih lanjut penggunaan protein skizon Leucocytozoon tersebut kemungkinannya bisa digunakan sebagai bahan vaksin serta perlu dilakukan uji sensitifitas dan spesifisitas terhadap antibodi poliklonal spesifik tersebu

    PENINGKATAN EKSPRESI INTERFERON-GAMMA (IFN-Beta) DAN ANGKA PENULARAN KONGENITAL PADA MENCIT BUNTING YANG DIINFEKSI TOXOPLASMA GONDII

    No full text
    Toxoplasma gondii adalah protozoa penyebab toxoplasmosis. Penyakit ini bersifat zoonosis. Pada wanita hamil dan ternak bunting menimbulkan kelainan kongenital dan abortus sedang pada penderita AIDS menyebabkan encefalitis (Dubey, 2002; Wyler, 1990). Menurut Ghaffar (2001) infeksi toxoplasmosis kongenital sekitar 1-5 anak dari tiap 1000 wanita hamil, dimana 5-10% abortus, 8-10% kerusakan otak dan mata yang serius dan 10-13% bayi akan mengalami gangguan penglihatan. Meskipun 58-70% lahir normal, tetapi setelah beberapa bulan sampai beberapa tahun menunjukkan gejala berupa: retardasi mental, kelainan mata ringan sampai buta, hidrosefalus dan tidak mampu belajar (Dupoy-Camet, 2002, Ghaffar, 2001). Perkiraan kerugian ekonomis akibat toxoplasmosis kongenital dipaparkan oleh Robert dan Frenkel (1990) sebagai berikut: beberapa negara kehilangan income per kapita berkisar 0,2−5.8trilyun,biayaperawatandanpendidikanpenderitaantara 0,2-5.8 trilyun, biaya perawatan dan pendidikan penderita antara 116 juta sampai 2,8trilyundanbiayapengobatankelainanmataantara 2,8 trilyun dan biaya pengobatan kelainan mata antara 368 juta sampai $ 8,7 trilyun. Selain menimbulkan masalah pada wanita hamil, infeksi T. gondii juga banyak menimbulkan masalah berupa kelainan patologis fetus dan abortus pada hewan ternak bunting. Infeksi T. gondii merupakan penyebab utama abortus kambing dan domba di beberapa negara termasuk Australia dan Amerika serikat (Dubey, 2002). Frekuensi kejadian abortus dan kematian fetus pada induk domba terinfeksi T. gondii cukup tinggi dan anak domba lahir hidup jarang terjadi (Duncanson et al., 2001). Menurut Dubey dan Kirkbrid (1990), 65% dari 1564 ekor domba positif toxoplasmosis dan lebih dari 25% mengalami abortus. Hal tersebut tentu secara ekonomis merugikan peternak dan pemenuhan akan kebutuhan protein hewani tidak tercapai. Mengingat kerugian yang ditimbulkan cukup besar maka diperlukan usaha pengendalian dan pencegahan. Pencegahan dengan program skreening memerlukan biaya banyak sedangkan kerugian jauh lebih tinggi dibanding keuntungan yang diperoleh (Abholz, 1993; Holliman et al., 1995). Tindakan pengobatan tidak sepenuhnya efektif menurunkan angka penularan dan masih mempunyai peluang 25% (Sciammarella, 2001; Wallon et al. 1999). Untuk kesuksesan pengobatan dan pencegahan tentu diperlukan pengetahuan mengenai penyakit, penyebab, kondisi dan termasuk mekanisme imunopatogenesis toxoplasmosis pada saat kebuntingan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Peningkatan Ekspresi Interferon-gamma (IFN-y) terhadap Angka Penularan Kongenital pada mencit bunting yang diinfeksi dengan T.gondii. Dalam penelitian ini menggunakan 60 ekor mencit betina umur 2 bulan yang dibagi dalam 6 kelompok, sebagai berikut: Kelompok 1. mencit tidak bunting tidak diinfeksi T. gondii Kelompok 2. mencit tidak bunting diinfeksi T. gondii Kelompok 3. mencit bunting 4,5 hari tidak diinfeksi T.gondii Kelompok 4. mencit bunting 4,5 hari diinfeksi T.gondii Kelompok 5. mencit bunting 14,5 hari tidak diinfeksi T.gondii Kelompok 6. mencit bunting 14,5 hari diinfeksi T.gondii Dosis infeksi 20 kista T. gondii hasil isolasi dari otak ayam. Empat hari setelah infeksi mencit dikurbankan. Serum dites dengan ELISA untuk mengetahui produksi IFN-y sistemik dan uterus dibuat preparat hitopatologis dengan pengecatan imunohistokimia untuk mengetahui produksi IFN-y lokal. Juga dilakukan bloting baik dari serum dan plasenta. Penentuan angka penularan kongenital dengan metode Fux et al, (2001) Rancang percobaan dengan pola faktorial 2x3 untuk pengaruh infeksi terhadap pro duksi IFN-y sistemik dan pola 2x2 untuk produksi IFN-y lokal. Hasil penelitian menunjukkan: 1. Infeksi T. gondiii menginduksi produksi INF-y sistemik dan lokal 2. Produksi IFN-y dalam serum mencit tidak bunting lebih rendah dari mencit bunting 3. Umur kebuntingan saat mendapatkan infeksi tidak mempengaruhi produksi IFN-y lokal dan sistemik. 4. Kadar IFN-y dalam serum dan diplasenta tidak mempengaruhi angka penularan kongenital 5. Umur kebuntingan saat mendapatkan infeksi berpengaruh terhadap angka penularan kongenita

    IDENTIFIKASI MORFOLOGI DAN PREOFIL PROTEIN TUNGAU SARCOPTES SCABIEI PADA KAMBING DAN KELINCI

    Get PDF
    Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi morfologi, Sarcoptes scabiei yang diisolasi dari kambing dan kelinci serta mengkarakterisasi profil protein S.scabiei. Kambing dan kelinci yang menunjukkan gejala scabies seperti timbulnya krusta dan penebalan kulit pada daerah telinga, moncong, sekitar mata atau leher dan punggung dilakukan scraping sampai timbul bintik-bintik darah untuk mengisolasi S.scabiei. Identifikasi S.scabiei berdasar morfologi (ukuran) dan karakterisasi profil protein dengan SDS-PAGE. Hasil penelitian menunjukkan bahwa S.scabiei var.caprae betina dewasa berukuran rata-rata 494, 83 gm x 409,76 µm dan tungau jantan berukuran 219,46 µm x 170,84 µm, sedangkan S.scabiei var.cuniculi betina dewasa berukuran rata-rata 465,31 µm x 357,66 µm dan tungau jantan berukuran 283,75 µm x 196,44 µm. Berdasarkan analisis statistik morfologi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p >0,05) antara tungau pada kelinci dan kambing. Hasil karakterisasi protein S. scabiei var.caprae pada kambing dengan SDS-PAGE 12 % didapatkan 12 pita protein yaitu 205,8 kDa, 187,4 kDa, 125,9 kDa, 96,6 kDa, 78,3 kDa, 57,3 kDa, 48,9 kDa, 43,0 kDa, 40,0 kDa, 34,3 kDa, 27,6 kDa dan 26,1 kDa dengan 4 pita tercat tebal yaitu 205,8 kDa dan 57,3 kDa, 48,9 kDa dan 40 kDa. Hasil karakterisasi protein S. scabiei var.cuniculi pada kelinci dengan SDS-PAGE 12% didapatkan 9 pita protein yaitu 75,3 kDa, 61,9 kDa, 50,9 kDa, 44 kDa, 41,5 kDa, 39,4 kDa, 37,4 kDa, 35,1 kDa dan 24,9 kDa dengan 5 pita tercat tebal yaitu 75,3 kDa, 61,9 kDa, 50,9 kDa, 44 kDa dan 24,9 kDa

    METODE DISKUSI KELOMPOK MATA KULIAH PARASITOLOGI DALAM UPAYA PENINGKATAN PEMBELAJARAN YANG EFEKTIF DAN EFISIEN

    Get PDF
    Mata kuliah Parasitologi (2 SKS) merupakan mata kuliah yang sarat dengan hafalan, sehingga timbul rasa bosan, dan nilai yang dicapai belum bisa mencapai optimal. Dari latar belakang masalah di atas dirumuskan permasalahan sebagai berikut : Apakah dengan metode diskusi kelompok mahasiswa dapat lebih memahami mata kuliah Parasitologi?. Apakah mahasiswa lebih dapat memahami mata kuliah Parasitologi dengan menampilkan banyak transparansi yang menarik dan foto/gambar parasit?. Tujuan dari penerapan metode ini adalah meningkatkan pemahaman mahasiswa terhadap materi mata kuliah Parasitologi, sekaligus meningkatkan nilai (IP) mahasiswa pada mata kuliah Parasitologi. Proses belajar mengajar mata kuliah ini menggunakan metode kuliah (ceramah), praktikum dan tutorial (diskusi kelompok). Kuliah diikuti ± 120 mahasiswa, diberikan selama 12 kali tatap muka yang terbagi dalam 3 pokok bahasan. Pada awal kuliah mahasiswa dijelaskan tentang Garis-Gans Besar Program Pengajaran (GBPP), kontrak perkuliahan dan Satuan Acara Perkuliahan (SAP). Sepuluh menit sebelum kuliah berakhir, diadakan diskusi yang sifatnya terbatas dan diberikan tugas kuliah yang yang dikerjakan secara individu dan tugas kelompok sebagai bahan untuk diskusi pada waktu tutorial. Praktikum diberikan setelah materi kuliah diberikan, dengan materi disesuaikan dengan pokok bahasan kuliah. Praktikum diberikan selama 3 jam. Kelompok praktikum dibagi dalam beberapa kelompok kecil, masing-masing maksimal 7 � 8 orang mahasiswa. Tugas praktikum dan diskusi kecil dengan bimbingan dosen pembimbing praktikum. Setiap kali akhir praktikum mahasiswa harus membuat laporan praktikum. Pelaksanaan tutorial dibagi dalam 2 kelompok, masing-masing sebanyak 60 mahasiswa, dibimbing oleh satu dosen tutor. Dalam kelompok tutorial dibagi menjadi 4 kelompok kecil, masing-masing sebanyak 15 mahasiswa. Tutorial dilakukan selama 1 jam (60 menit). Setiap kali tutorial, satu kelompok kecil diberikan kesempatan untuk mempresentasikan tugas tutorial, sedang 3 kelompok lainnya sebagai penyanggah. Setelah diadakan evaluasi/ujian, maka hasilnya menunjukkan bahwa terjadi peningkatan pemahaman mahasiswa terhadap teori parasitologi dibanding tahun yang lalu (sebelum ada proyek hibah pengajaran), terbukti kwalitas nilai yang lebih baik, tetapi untuk praktikum terjadi penurunan nilai mahasiswa, hal ini disebabkan jumlah mahasiswa yang meningkat tajam (+ 25%), sedangkan sarana dan prasarana praktikum tetap (seperti tersedianva mikroskop)
    corecore