10 research outputs found

    Usia Menarche sebagai Faktor Risiko Kejadian Preeklamsia dan Eklamsia

    Full text link
    Age of menarche as a risk factor for preeclampsia and eclampsiaPurposeThe purpose of this study is to determine the effect of menarche age on the incidence of preeclampsia and eclampsia.MethodThe observational study with the case-control design was conducted involving 90 pregnant and postpartum women. The bivariable analysis used T-test and McNemar test, while multivariable analysis using conditional logistic regression. Results The average age of menarche in the preeclampsia group was one year younger than the non-preeclampsia group. Any increase in one year of age of menarche lowers the risk of preeclampsia and eclampsia by 78%. Risk factors for preeclampsia are increased in pregnant women at age> 35 years and have body mass index before pregnancy> 25 kg/m2.ConclusionThere is a significant relationship between age of menarche and the incidence of preeclampsia and eclampsia. Body mass index before pregnancy is a confounding factor of the association between age of menarche and the incidence of preeclampsia and eclampsia

    Usia menarche sebagai faktor risiko kejadian preeklamsia dan eklamsia

    Get PDF
    Latar Belakang: Preeklamsia merupakan penyumbang terbesar kedua kematian ibu di Indonesia. Di Amerika Serikat sejak tahun 1998 sampai 2005, Berg (2010) melaporkan bahwa sebesar 12,3% dari 4693 ibu hamil yang meninggal disebabkan karena preeklamsia atau eklampsia. Penyebab preeklamsia masih belum diketahui dengan pasti oleh karena itu preeklampsia disebut sebagai “diseases of theory”. Faktor risiko dari preeklamsia sangat banyak, sebuah penelitian menjelaskan bahwa usia menarche yang dini dapat meningkatkan risiko preeklamsia. Tujuan Penelitian: Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh usia menarche terhadap kejadian preeklamsia dan eklamsia.Metode Penelitian: Jumlah sampel total yang diambil adalah 90 responden dengan masing-masing kasus dan kontrol 45 responden. Jenis penelitian observasional dengan rancangan case control. Instrumen untuk mengukur usia menarche dengan kejadian preeklamsia mengadopsi dari data SKRT dan jurnal BMI as a modifying factor in the relations between age at menarche, menstrual cycle characteristics, and risk of preeclampsia. Analisis data menggunakan analisis univariabel, bivariabel dengan T-test untuk data numerik kategorik dan McNemar untuk data kategorik kategorik sedangkan analisis multivariabel dengan menggunakan conditional logistic regression.Hasil: Rata-rata usia menarche pada kelompok preeklamsia lebih muda satu tahun dibandingkan dengan kelompok non preeklamsia. Berdasarkan data perhitungan multivariabel setiap kenaikan satu tahun usia menarche menurunkan risiko preeklamsia/eklamsia sebesar 78%. Faktor risiko terjadinya preeklamsia meningkat pada ibu yang hamil di usia > 35 tahun dan memiliki indeks massa tubuh sebelum hamil > 25 kg/m2.Kesimpulan: Terdapat hubungan yang signifikan antara usia menarche dengan kejadian preeklamsia/eklamsia. Indeks masa tubuh sebelum hamil merupakan variabel perancu hubungan antara usia menarche dengan kejadian preeklamsia/eklamsia.Age of menarche as a risk factor for preeclampsia and eclampsiaPurposeThe purpose of this study is to determine the effect of menarche age on the incidence of preeclampsia and eclampsia.MethodThe observational study with the case-control design was conducted involving 90 pregnant and postpartum women. The bivariable analysis used T-test and McNemar test, while multivariable analysis using conditional logistic regression. Results The average age of menarche in the preeclampsia group was one year younger than the non-preeclampsia group. Any increase in one year of age of menarche lowers the risk of preeclampsia and eclampsia by 78%. Risk factors for preeclampsia are increased in pregnant women at age> 35 years and have body mass index before pregnancy> 25 kg/m2.ConclusionThere is a significant relationship between age of menarche and the incidence of preeclampsia and eclampsia. Body mass index before pregnancy is a confounding factor of the association between age of menarche and the incidence of preeclampsia and eclampsia

    Bacterial Meningeal Score (BMS) Sebagai Indikator Diagnosis Meningitis Bakterialis di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

    No full text
    Latar belakang. Meningitis bakterialis merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas yang penting pada anak. Anak dengan meningitis biasa datang ke rumah sakit dan mendapat antibiotik intrakranial tanpa menunggu hasil kultur. Hal ini dilakukan karena membedakan meningitis bakterialis dan meningitis bukan bakteri pada awal perjalanan penyakit terkadang sulit. Beberapa indikator dapat digunakan untuk membedakan hal itu. Salah satunya adalah bacterial meningeal score (BMS), terdiri dari pengecatan gram cairan serebrospinal positif, protein cairan serebrospinal ≥80 mg/dL, neutrofil darah tepi ≥10.000 sel/mm3, riwayat kejang, neutrofil absolut cairan serebrospinal ≥1000 sel/ mm3. Tujuan. Mengetahui apakah bacterial meningeal score merupakan indikator yang baik untuk menegakkan diagnosis meningitis bakterialis akut pada bayi dan anak Metode. Uji diagnostik pada anak usia >1 bulan-18 tahun, yang dicurigai sebagai meningitis berdasarkan kriteria WHO, mulai Februari 2011 sampai dengan April 2011. Diagnosis meningitis bakterialis ditegakkan apabila hasil kultur ditemukan bakteri. Hasil. Di antara 31 anak subjek penelitian, 16 laki-laki. Semua datang dengan demam, kejang (29/31), penurunan kesadaran (15/31), dan tanda meningeal (17/31). Pengecatan gram positif pada 9/31 sampel dan kultur positif 12/31 sampel. Hasil analisis statistik didapatkan sensitivitas BMS 83,3%, spesifisitas 89,5%, nilai praduga negatif 83,3%, nilai praduga positif 89,5%, likelihood ratio positif 7,92, dan likelihood ratio negatif 0,186. Bakteri yang tumbuh dari hasil kultur adalah P. aerogenosa, S.epidermidis and Paracoccus sp, Bacillus. Sp dan Enterococcus sp. Kesimpulan. Bacterial meningeal score merupakan indikator yang baik untuk menilai meningitis bakteri pada bayi dan anak karena memiliki sensitivitas, spesifisitas, nilai praduga negatif, nilai praduga positif, likelihood ratio positif dan likelihood ratio negatif yang tinggi

    Prognostic factors of epilepsy in patients with neonatal seizures history

    No full text
    Background Seizures in neonates are often associated with neurological disorders in early life, including epilepsy. Several possible prognostic factors may influence the development of epilepsy in these patients. Objective To evaluate prognostic factors that may influence the occurrence of epilepsy in the first two years of life in patients with a history of neonatal seizures. Methods We performed a cohort retrospective study on patients with neonatal se izures in Sardjito Hospital during 2004-2009. Prognostic factors observed were gender, family history of epilepsy, neonatal hypoglycemia, assisted labor, hypoxic ischemic encephalopathy, preterm infant delivery, and epileptic state. Results Hypoxic ischemic encephalopathy and epileptic state increased the risk of epilepsy (HR 5.8; 95%CI 1.63 to 20.43 and HR 6.3; 95%CI 2 .0 to 19. 70, respectively). Assisted labor, preterm delivery, neonatal hypoglycemia, family history of epilepsy, and gender did not increase the risk of epilepsy in the first two years of life. Conclusion Hypoxic ischemic encephalopathy and epileptic state in neonates presenting with seizures are the prognostic factors to be epileptic children during the first two years of life

    Hubungan antara Riwayat Kejang pada Keluarga dengan Tipe Kejang Demam dan Usia Saat Kejang Demam Pertama

    No full text
    Latar belakang. Salah satu faktor risiko kejang demam adalah riwayat kejang pada keluarga, dihubungkan dengan tipe kejang demam pertama dan usia saat terjadi kejang demam pertama. Beberapa penelitian menunjukkan riwayat kejang meningkatkan risiko kejang demam kompleks sebagai tipe kejang demam pertama dan berhubungan dengan usia kejang demam pertama yang lebih dini. Tujuan. Mengetahui hubungan riwayat kejang pada keluarga dengan tipe kejang demam pertama dan usia saat kejang demam pertama. Metode. Penelitian dilaksanakan di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr. Sardjito,Yogyakarta sejak Januari 2009-Juli 2010. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif dan dikelompokkan berdasarkan ada tidaknya riwayat kejang pada keluarga, tipe kejang demam pertama, dan usia saat terjadi kejang demam pertama. Hasil. Seratus lima puluh anak usia 6 bulan–5 tahun yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diikutsertakan dalam penelitian. Terdapat 91 (60,6%) anak yang mempunyai riwayat kejang pada keluarga dan kejang demam pertama terjadi pada usia yang lebih dini pada kelompok ini (median usia 13,0 vs 17,0 bulan; IK95%: 0,00-0,03; p=0,01). Anak dengan riwayat kejang lebih banyak mengalami kejang demam sederhana dibandingkan kejang demam kompleks (61,4% vs 59,2%), meskipun perbedaannya tidak bermakna (IK95%: 0,78-1,37; p=0,80) Kesimpulan. Anak dengan riwayat kejang pada keluarga cenderung mengalami kejang demam pertama pada usia yang lebih dini. Riwayat kejang pada keluarga tidak meningkatkan risiko terjadi kejang demam kompleks sebagai tipe kejang demam pertama

    Intracranial hemorrhage in infants after massaged by a traditional birth attendant

    No full text
    Background The overall incidence of birth related injuries declines with the improvement in obstetrics. However, the incidence of head trauma in infants after massaged by a traditional birth attendant (TBA) is still unknown. Objective To study the characteristics of intracranial hemorrhage in infants after massaged by a TBA. Methods A retrospective study was conducted in Sardjito Hospital, Yogyakarta, Indonesia between October 2001 and May 2005. Infants with intracranial hemorrhage after massaged by a TBA were included. Data on patients’ demography, history of massaging by TBA, clinical presentation, and injury characteristics such as anemia, clotting time (CT), bleeding time (BT), prothrombin time (PT) and activated partial thromboplastin time (APTT) were noted. Computed cranial tomography (CT) scans were performed. Results A total of seven infants were diagnosed with intracranial hemorrhage after massaged by a TBA. There were four males and three females (mean age 46 days; range 27-60 days). All infants were referred to Sardjito Hospital, Yogyakarta, Indonesia with bad condition and anemia; mean hemoglobin level was 5.5 g/dl (range 3.7-8.3 g/dl). All infants presented with seizures. Coagulation screening showed normal results in five patients. The remaining patients had a prolonged CT and PT. CT scan showed subdural hemorrhage in four patients, intracerebral hemorrhage in four, epidural hemorrhage in two, and subarachnoid hemorrhage in one. Two patients had chronic hemorrhage, while the rest had acute hemorrhage. Four of them underwent craniotomy, two patients were under an observation only, and one patient was not treated due to parental refusal. Six patients survived and the one who refused to be treated died. Conclusions The parents, midwives, and doctors have to be aware of head massaging since it may harm infants

    MAIN CAREGIVER’S EXPERIENCE IN MEETING SELF-CARE NEEDS AMONG ADOLESCENTS WITH ASD IN PONTIANAK MUNICIPALITY, WEST BORNEO, INDONESIA: A QUALITATIVE STUDY

    No full text
    Background: Autism spectrum disorder (ASD) is a complex developmental disorder, increasing in number, faster than that of other developmental disorders in the world. This complex disorder affects a child’s self-autonomy, which is important for individual self-care. Objective : This study is to explore main caregivers’ experience to meet self-care needs among adolescents with ASD in Pontianak, West Borneo, Indonesia. Methods: Qualitative semi-structured in-depth interviews were done with 7 main caregivers that have lived together and taken care of the adolescents with ASD in Pontianak Municipality, West Borneo Province. Sampling was taken with purposive sampling (maximum variation). Source (interviews) and method (observations of self-care activities and documents like photos, learning reports and field notes) triangulations were taken on 1 participant and 7 autistic adolescents. Participants’ statements were recorded by using a voice recorder, and then transcribed, coded, interpreted, and categorized in order that sub-topics and main topics could be formed. Results: The study identified five main topics: i.e., 1) Autonomy in self-care; 2) Care effort; 3) Feelings, support, and expectations. Three findings of the study emphasize the potentials of children with autism to be autonomous in daily self-care. Conclusions: Adolescents with ASD can potentially meet the needs of their daily care independently

    Perbandingan Faktor Risiko Gangguan Pemusatan Perhatian/Hiperaktivitas di Daerah Pedesaan dan Perkotaan

    No full text
    Latar belakang. Gangguan Pemusatan Perhatian/Hiperaktifitas (GPP/H) merupakan gangguan neurobehavioural yang menetap dengan gejala berupa ketidakmampuan memusatkan perhatian, hiperaktivitas, dan impulsivitas yang tidak sesuai dengan usia perkembangannya. Tujuan. Mengetahui perbedaan angka prevalensi dan karakteristik faktor risiko yang menimbulkan GPP/H di pedesaan dan perkotaan. Metode. Penelitian potong lintang untuk mengetahui prevalensi GPP/H dan dilanjutkan studi kasus kontrol untuk memperoleh faktor risiko yang memengaruhi terjadinya GPP/H di pedesaan dan perkotaan. Subyek penelitian terdiri dari anak SD kelas I – III. Hasil. Prevalensi GPP/H di kecamatan Cangkringan 7,48% dengan rasio prevalensi GPP/H antara laki-laki dan perempuan 6 : 1. Prevalensi di pedesaan 46% dan perkotaan 54%. Hasil analisis bivariat menunjukkan perbedaan faktor risiko yang berpengaruh di pedesaan dan perkotaan adalah keluarga hiperaktif, komplikasi kehamilan, serta konsumsi makanan berpengawet dan berpewarna lebih tinggi di perkotaan. Sedangkan durasi interaksi dengan orang tua <8 jam, BBLR lebih berpengaruh di pedesaan. Hasil analisis multivariat memperoleh faktor risiko independent yang memengaruhi kejadian GPP/H adalah trauma kepala OR 15,97 (95% CI 2,11–20,96); p=0,007, orang tua tunggal OR 182,47 (95% CI 1,55–2,15); p=0,032, tidak ASI eksklusif OR 11,93 (95% CI 1,84–78,93) p=0,01, dan penggunaan makanan berpengawet OR 0,05 (95% CI 0,003–0,89); p=0,041. Kesimpulan. Prevalensi GPP/H di perkotaan lebih besar daripada di pedesaan. Faktor risiko yang berpengaruh pada masing-masing wilayah berbeda. Durasi interaksi dengan orang tua <8 jam, komplikasi kehamilan ibu, tidak ASI eksklusif merupakan faktor risiko kejadian GPP/H

    Hubungan Antara Hepatotoksisitas dengan Usia, Status Gizi, dan Lama Pemberian Asam Valproat pada Anak Epilepsi

    No full text
    Latar belakang. Epilepsi masih merupakan penyakit yang banyak diderita masyarakat di seluruh dunia. Limapuluh juta orang diperkirakan menderita epilepsi di seluruh dunia dengan angka insiden tahunan berkisar 20–70 kasus per 100 000 penduduk, dan angka prevalensi 0,4%–0,8%. Prevalensi epilepsi yang tinggi secara langsung akan berimbas penggunaan asam valproat tinggi, dan dapat meningkatkan risiko dampak hepatotoksisitas. Tujuan. Mengetahui hubungan antara usia, status gizi, lama terapi dengan kejadian hepatotoksisitas pada anak epilepsi yang mendapatkan terapi asam valproat. Metode. Penelitian desain potong lintang. Data diambil pada bulan September – November 2011 di RSUP DR. Sardjito, Yogyakarta. Kriteria inklusi adalah anak epilepsi usia <18 tahun yang mendapat terapi asam valproat paling sedikit 3 bulan di Poliklinik Rawat Jalan, serta bersedia mengikuti penelitian. Kriteria eksklusi adalah anak yang menderita penyakit hati sebelumnya. Data diolah menggunakan korelasi Pearson dan Spearman. Hasil. Tidak ada hubungan antara usia, status gizi, lama terapi dengan hepatotoksisitas yang ditandai dengan peningkatan kadar ALT pada anak epilepsi yang menggunakan asam valproat (r=-0,009, p= 0,946; r=-0,198, p=0,136 dan r=0,009, p=0,947). Kesimpulan. Usia, status gizi, dan lama terapi tidak berhubungan dengan hepatotoksisitas pada anak epilepsi yang mendapatkan terapi asam valproat

    Congenital obstructive posterior urethral membranes and recurrent urinary tract infection: a rare case of congenital hypertrophy of the verumontanum

    Get PDF
    Congenital obstructive posterior urethral membranes (COPUM) is a complex disease closely related to several pathological changes in kidney development and function, as a result of urinary reflux since in utero. This congenital anomaly of urinary tract potentially causes hydroureteronephrosis that is often associated with recurrent urinary tract infections and, ultimately, one of the most common causes of end-stage renal disease in children.1,2 Congenital hypertrophy of the verumontanum as part of COPUM is very rare. Only a few reports have been written on congenital hypertrophy of the vermontanum causing congenital obstructive uropathy.3-
    corecore