20 research outputs found

    Kelembagaan Pengurusan Kehutanan pada Era Desentralisasi (Study Kasus di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Propinsi Sumatera Selatan)

    Full text link
    Pelaksanaan desentralisasi urusan kehutanan menemui beberapa masalah, antara lain: rancunya aturan Perundang-undangan, ketidakjelasan wewenang, kurang harmonisnya tata hubungan kerja pusat dan daerah dan ketidaksiapan daerah. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis aspek kelembagaan kepengurusan hutan pada era desentralisasi dan menjelaskan mengapa berbagai masalah tersebut muncul. Sasaran yang ingin dicapai adalah memberikan rekomendasi untuk perbaikan pelaksanaan desentralisasi kehutanan ke depan. Kajian dilakukan di Kabupaten Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan, karena kabupaten ini merupakan salah satu kabupaten di Indonesia yang memiliki luas hutan 45% terhadap total luas kabupaten. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif. Hasil kajian menunjukkan bahwa beberapa Perda di Kabupaten OKI masih mengacu pada aturan lama dari Departemen Kehutanan yang sudah dicabut. Peraturan Perundangan dalam pengurusan hutan di Pemerintah Pusat berubah lebih cepat, daripada sosialisasi ke Pemerintah Daerah. Dalam pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah harus ada keseimbangan hak dan tanggungjawab agar pelimpahan kewenangan yang diberikan tidak dianggap sebagai beban. Tata hubungan kerja antara UPT Pusat yang ada di daerah, Dinas Kehutanan Propinsi dan Dinas Kehutanan Kabupaten perlu diperbaiki agar kinerja pengurusan hutan di daerah lebih optimal. Pelaksanaan desentralisasi urusan kehutanan menghadapi masalah pendanaan dan SDM, oleh karena itu diperlukan pembinaan dan mekanisme pelimpahan wewenang secara bertahap, sampai daerah betul-betul mampu menjalankan kewenangan yang dilimpahkan secara mandiri

    Evaluasi Implementasi Kebijakan Desentralisasi Pengelolaan Hutan Produksi

    Full text link
    Pengelolaan hutan produksi didesentralisasi oleh Pemerintah Pusat ke Pemerintahan Kabupaten berdasarkan PP No. 38/2007. Setelah hampir dua belas tahun kebijakan desentralisasi pengelolaan hutan produksi dijalankan, deforestasi di hutan produksi menunjukkan laju tertinggi dibanding kawasan hutan yang lain. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan tersebut belum efektif. Kajian ini bertujuan untuk mengevaluasi implementasi kebijakan desentralisasi pengelolaan hutan produksi. Kajian dilakukan di Kabupaten Rokan Hulu dan Kabupaten Pelalawan (Provinsi Riau), Kabupaten Kutai Timur dan Kabupaten Kutai Barat (Provinsi Kalimantan Timur). Data yang terkumpul dianalisis dengan content analysis terhadap produk Perundangan yang ada dan deskriptif kualitatif. Hasil kajian menunjukkan bahwa : porsi kewenangan pengelolaan hutan produksi oleh Pemerintah Kabupaten yang direpresentasikan dari luasan hutan produksi yang ada cukup besar (47,16%), tetapi berdasarkan Perundangan yang ada, kewenangan pengelolaan hutan produksi oleh pemerintah kabupaten hanya kewenangan yang kurang berarti. Pengelolaan hutan produksi belum sepenuhnya didesentralisasikan oleh Pemerintah Pusat ke Pemerintah Kabupaten, beberapa kewenangan yang bernilai ekonomis masih dipegang oleh Pemerintah Pusat. Kegiatan ijin pemanfaatan kawasan melalui HKm, HTR dan Hutan Desa serta pembentukan KPH merupakan bentuk nyata desentralisasi pengelolaan hutan yang masih perlu disempurnakan dan didorong pelaksanaannya

    Kearifan Lokal Petani dalam Merehabilitasi Lahan Kritis (Studi Kasus di Desa Sumberejo, Kecamatan Batuwarno, Kabupaten Wonogiri)

    Full text link
    Kebijakan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah pada masa lalu lebih menekankan aspek teknis dan mengabaikan aspek sosial, termasuk diantaranya nilai budaya lokal masyarakat setempat, akibatnya kegiatan tersebut kurang berhasil. Tulisan ini bertujuan untuk memahami dan mengetahui kearifan lokal masyarakat dalam merehabilitasi lahan sebagai pembelajaran sosial bagi semua stakeholders. Strategi penelitian yang digunakan adalah studi kasus tunggal. Data dikumpulkan pada tahun 2005 dengan melalukan indepth interview, focus group discussion, content analysis dan observation. Proses analisis data secara interaktif. Hasil kajian menunjukkan bahwa: masyarakat dengan kearifannya sanggup merehabilitasi lahan kritis yang ada di sekitarnya dengan memilih jenis tanaman yang sesuai. Tanaman jati (Tectona grandis) dianggap sebagai “sejatine kayu” (sesungguhnya kayu), karena mempunyai keunggulan dalam hal: kemampuan beradaptasi di lahan kritis, keawetan kayu, kualitas kayu, kemampuan memunculkan sumber mata air dan nilai jual yang tinggi. Teknik pengelolaan tanaman yang diterapkan sangat sederhana, dengan ciri : bibit lokal, jarak tanam rapat, pemeliharaan tidak intensif dan sistem tebang butuh. Pengelolaan tanaman tersebut menjadikaan hutan rakyat yang ada dikelola secara lestari. Saran kajian ini adalah kebijakan pembangunan ke depan, termasuk diantaranya dalam kegiatan rehabilitasi lahan dan konservasi tanah, harus memperhatikan bukan hanya aspek teknis, tetapi juga aspek ekonomis, sosial dan budaya masyarakat setempat

    Kinerja Pemerintah Kabupaten dalam Desentralisasi Pengelolaan Hutan Lindung: Studi Kasus di Tiga Kabupaten dalam DAS Batanghari

    Full text link
    Evaluasi dari Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Kabupaten merupakan bagian penting dalam desentralisasi. Salah satu instrument dalam evaluasi tersebut adalah mengukur kinerja. Tulisan ini bertujuan untuk mengukur kinerja Pemerintah Kabupaten dalam mengelola hutan lindung di wilayahnya serta merumuskan saran untuk perbaikan pengelolaan hutan lindung ke depan. Penelitian dilakukan di tiga kabupaten dalam DAS Batanghari. Pengumpulan data dilakukan dengan mengukur persepsi responden dengan skala likert dan pengukuran status program (Parker, 1996). Hasil penelitian menunjukkan kinerja pengelolaan hutan lindung menurut persepsi responden sebelum dan sesudah desentralisasi mempunyai kategori yang sama yaitu pada tingkat sedang. Adanya desentralisasi tidak mengubah kinerja pengelolaan hutan lindung oleh pemerintah kabupaten. Kinerja Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Kabupaten Solok Selatan berdasarkan status program mempunyai beberapa program pengelolaan hutan lindung, tetapi baru dalam tahap sangat awal ( )), sedangkan Kabupaten Sarolangun mempunyai hanya satu program pengelolaan hutan lindung. Kinerja desentralisasi pengelolaan hutan lindung perlu ditingkatkan dengan program-program pengelolaan hutan yang lebih komprehensif mulai dari perencanaan sampai dengan pemanfaatan. Pemerintah Pusat perlu menyusun mekanisme dan instrument untuk mengukur apakah Pemerintah Kabupaten sudah menjalankan kewenangan yang diserahkan kepadanya dengan baik dan mendukung kapabilitas Pemerintah Kabupaten agar dapat menjalankan beberapa program yang belum dijalankan. pilot stag

    Tata Hubungan Kerja Antar Institusi Kehutanan dalam Pengelolaan Hutan Lindung di Era Otonomi Daerah

    Full text link
    Tata hubungan kerja antar institusi kehutanan dalam pengelolaan hutan lindung di era otonomi banyak menemui masalah. Ada duplikasi dan ketidakjelasan peran antar institusi. Kajian bertujuan untuk menganalisis implementasi dan tata hubungan kerja antar institusi kehutanan dalam pengelolaan hutan lindung. Kajian ini dilakukan di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Solok Selatan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil kajian menunjukan bahwa : pengelolaan hutan lindung di ketiga kabupaten dilakukan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Pengelolaan hutan lindung berada dibawah tanggung-jawab sebuah Bidang di bawah Dinas. Belum semua kewenangan pengelolaan hutan lindung yang didesentralisasikan sudah dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten. Ada beberapa kewenangan sub bidang yang sama persis antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten. Koordinasi antar institusi Pusat dan Daerah belum berjalan baik. Ada empat institusi yang mempunyai fungsi koordinasi dalam pengelolaan hutan lindung yaitu : Dinas Kehutanan Provinsi, BKSDA, BPDAS dan PUSDAL. Institusi tersebut belum optimal menjalankan fungsinya sebagai fasilitator dan mediasi antara UPT Pusat di Daerah dengan dan Dinas-Dinas Teknis Kehutanan di kabupaten maupun fasilitasi beberapa kabupaten dalam satu wilayah provinsi. Tata hubungan kerja pengelolaan hutan lindung perlu ditingkatkan

    Tata Hubungan Kerja Antar Institusi dalam Pengurusan Hutan di Daerah

    Full text link
    Sejak desentralisasi diterapkan, terjadi Perubahan jenis dan kewenangan institusi. Salah satu konsekuensi dari hal tersebut adalah Perubahan tata hubungan kerja antara institusi pusat, institusi di tingkat provinsi dan institusi di tingkat kabupaten. Dalam tulisan ini disajikan hasil analisis tata hubungan kerja institusi yang menangani pengurusan hutan pada masa desentralisasi. Kajian dilaksanakan di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan dan Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat. Hasil kajian menunjukan bahwa banyaknya UPT yang ada di daerah menimbulkan dualisme pemerintahan di daerah dan mempengaruhi kemandirian otonomi. Tata hubungan kerja antara Dinas Kehutanan Provinsi dan UPT dirasakan masih kurang. Masingmasing pihak kurang bekerjasama tapi \u27sama-sama bekerja\u27. Hubungan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten belum menyentuh hubungan teknis, tetapi masih terbatas dalam hal penganggaran dan penempatan pejabat di kabupaten. Beberapa hal yang dapat disarankan dari kajian ini adalah pemerintah pusat diharapkan untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah melalui mekanisme pembinaan. Perlu ada koordinasi dan komunikasi yang baik antara pemerintah provinsi dan UPT Departemen Kehutanan di daerah untuk meningkatkan kinerja keduanya

    Dinamika Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan: sebuah Analisa Isi Perubahan Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan

    Full text link
    Penetapan kawasan hutan untuk kepentingan di luar sektor kehutanan dilakukan melalui mekanisme tukar menukar dan pinjam pakai kawasan hutan. Kedua kebijakan ini senantiasa mengalami Perubahan. Penelitian ini mengkaji Perubahan isi dari kedua kebijakan tersebut, faktor apa yang mendorongnya serta bagaimana implementasinya. Pendekatan penelitian ini adalah analisis dokumen peraturan terkait penggunaan kawasan hutan dilengkapi dengan analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Perubahan isi kebijakan penggunaan kawasan hutan meliputi kepentingan yang diakomodasi meluas pada kepentingan komersil, kriteria kawasan hutan yang ditukar, masa berlaku ijin pinjam pakai, kriteria lahan pengganti/lahan kompensasi, rasio lahan pengganti dan kegiatan pemantauan dan evaluasi. Beberapa faktor pendorong terjadinya Perubahan meliputi fakor ekonomi, politik dan sosial. Pelaksanaan kegiatan pemantauan dan evaluasi yang optimal menjadi salah satu kunci untuk mengatasi masalah implementasi kebijakan tukar menukar kawasan huhtan maupun pinjam pakai kawasan hutan

    Peranan Kayu dan Hasil Bukan Kayu dari Hutan Rakyat pada Pemilikan Lahan Sempit: Kasus Kabupaten Pati

    Full text link
    Kabupaten Pati dipilih sebagai lokasi studi karena memiliki potensi hutan rakyat sengon. Hutan rakyat disini meliputi tegalan dan pekarangan rakyat yang ditanami kayu-kayuan dengan teknik agroforestri. Lokasi studi difokuskan di tiga desa, yakni Desa Giling Kecamatan Gunungwungkal, Desa Gunungsari Kecamatan Tlogowungu, dan Desa Payak Kecamatan Cluwak. Unit analisis pada tingkat individu adalah rumahtangga petani dan pada tingkat sosial adalah dusun. Pengumpulan data menggunakan metode wawancara, pencatatan data sekunder, diskusi kelompok terarah, dan penelusuran wilayah. Jumlah sampel rumah tangga sebanyak 15 KK/dusun, peserta diskusi kelompok terarah untuk laki-laki tani dan perempuan tani masing-masing sebanyak 10-15 orang/dusun. Analisis data menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Hutan rakyat sengon dibangun di lahan tegalan dan pekarangan secara tumpangsari dengan berbagai jenis tanaman semusim, empon-empon, rumput pakan ternak, tanaman perkebunan, tanaman penghasil buah-buahan, dan tanaman kehutanan, sehingga diperoleh HK dan HBK. Program pemerintah KBR, BLM-PPMBK, dan KBD berperan memperkaya lahan rakyat dengan tanaman kayu dan mendorong peningkatan produksi HK dan HBK. Kontribusi pendapatan hasil kayu paling tinggi terjadi di Desa Payak (67%) sedangkan kontribusi pendapatan dari HBK yang tinggi terjadi di Desa Giling dan Gunungsari (71% - 87%). Jenis HBK yang mempunyai kontribusi pendapatan besar yakni tanaman buah-buahan (31,58% - 75,11%) dan tanaman perkebunan (22,13% - 55,41%). Kontribusi pendapatan dari tanaman semusim di Desa Payak relatif tinggi dibandingkan kedua desa lainnya. HBK berperan penting dalam mempertahankan eksistensi hutan rakyat pada pemilikan lahan yang sempit karena dapat memberi pendapatan pada petani selama menunggu panen kayu. Selain itu, bila tanaman kayu dicampur dengan berbagai jenis tanaman penghasil HBK maka petani dapat memperoleh pendapatan secara berkesinambungan karena panen HBK terjadi secara bergilir. Dengan pertimbangan tersebut, pada wilayah-wilayah di mana pemilikan lahan oleh petani relatif sempit maka pembangunan Hutan Rakyat, Hutan Tanaman Rakyat atau Hutan Kemasyarakatan direkomendasikan menggunakan teknik agroforestri dengan berbagai jenis tanaman semusim, empon-empon, tanaman hijauan pakan ternak, tanaman perkebunan, dan tanaman buah-buahan yang dapat menghasilkan berbagai jenis HBK

    Manfaat Ekonomi dan Peluang Pengembangan Hutan Rakyat Sengon di Kabupaten Pati

    Full text link
    Studi ini bertujuan untuk menganalisis manfaat ekonomi, hambatan pengelolaan dan peluang pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Pati. Kabupaten Pati dipilih karena memiliki potensi hutan rakyat sengon yang merupakan jenis cepat tumbuh dengan permintaan pasar yang tinggi. Lokasi studi difokuskan di tiga desa, yakni Desa Giling Kecamatan Gunungwungkal, Desa Gunungsari Kecamatan Tlogowungu dan Desa Payak Kecamatan Cluwak. Pengumpulan data menggunakan metode pencatatan data sekunder, wawancara individu, dan diskusi kelompok terarah. Analisis data menggunakan metode deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa tanaman sengon dibudidayakan secara campuran dengan tanaman lain sehingga diperoleh hasil panen secara bergilir dalam jangka harian, mingguan, bulanan, dan tahunan. Luas lahan yang dikelola dengan sistem campuran sekitar 35% - 60% dari luas tiap desa dan menjadi sumber mata pencaharian bagi sekitar 70% penduduknya. Rata-rata pendapatan petani per tahun tertinggi adalah di Desa Payak sebesar Rp 32.740.801,-, diikuti dengan Desa Gunungsari sebesar Rp 23.977.133,-, dan terendah adalah Desa Giling sebesar Rp 14.018.795,-. Pendapatan tersebut bersumber dari hasil kayu, bukan kayu, dan ternak. Kontribusi tertinggi berasal dari hasil bukan kayu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sedangkan tanaman sengon dialokasikan sebagai tabungan. Kini terjadi kecenderungan konversi lahan sawah menjadi tegalan dan konversi tanaman ubikayu ke tanaman sengon karena alasan biaya lebih murah dan pemeliharan lebih mudah. Rekomendasi dari studi ini adalah: (1) diperlukan promosi hutan rakyat sengon, (2) diperlukan pelatihan cara mengatasi penyakit karat puru, (3) diperlukan pelatihan mengukur dan menghitung volume kayu, (4) diperlukan upaya mempermudah akses petani ke pasar kayu atau industri pengolahan kayu, dan (5) membangun demplot hutan rakyat sengon
    corecore