14 research outputs found
Hubungan Rasio IL-6 Urin/Kreatinin Urin dan Eritrosit Dismorfik pada Flow Cytometry Urine Analyzer dengan Kelainan Glomerular pada Pasien Hematuri.
Latar Belakang: Kelainan glomerular merupakan penyebab tersering penyakit
ginjal tahap akhir. Biopsi ginjal adalah standar baku emas menentukan kelainan
glomerular, tetapi invasif dan memerlukan persyaratan khusus. Eritrosit pada
kelainan glomerular berbentuk dismorfik. Urinalisis dengan flow cytometry urine
analyzer diharapkan dapat menggantikan pemeriksaan mikroskopis dalam
membedakan asal hematuri. Rasio IL-6 urin/kreatinin urin diketahui berkorelasi
positif dengan skor jejas glomerulus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan rasio IL-6 urin/kreatinin urin dan eritrosit dismorfik pada flow cytometry
urine analyzer guna mengetahui apakah dapat digunakan untuk membedakan
kelainan glomerular dan non glomerular.
Metode: Subyek penelitian dibagi menjadi kelompok hematuri glomerular, non
glomerular dan kontrol sehat. Penentuan hematuri glomerular menggunakan
kriteria klinis. Penghitungan eritrosit dismorfik menggunakan flow cytometry urine
analyzer dan mikroskop fase kontras. Kadar IL-6 urin diukur dengan metode
ELISA dan kreatinin urin diukur dengan metode enzimatik.
Hasil: Kadar IL-6 urin antara kelompok hematuri glomerular dengan non
glomerular dan kelompok hematuri non glomerular dengan kontrol berbeda
bermakna (p=0,014, p=0,007). Kadar IL-6 urin antara kelompok hematuri
glomerular dan kontrol tidak berbeda bermakna. Rasio IL-6 urin/kreatinin urin
tidak berbeda bermakna antar ketiga kelompok. Kadar IL-6 urin dan rasio IL-6
urin/kreatinin urin hematuri glomerular berkorelasi negatif dengan persentase
eritrosit dismorfik pada flow cytometry urine analyzer dan mikroskop fase kontras.
Persentase eritrosit dismorfik pada flow cytometry urine analyzer (cut off 51,24%)
memiliki sensitivitas 96,70% dan spesifisitas 90,00%, sedangkan rasio IL-6
urin/kreatinin urin (cut off 0,135 ng/mg) memiliki sensitivitas 80,00% dan
spesifisitas 23,30%, dalam membedakan hematuri glomerular dan non
glomerular
Kesimpulan: Persentase eritrosit dismorfik pada flow cytometry urine analyzer
memiliki nilai diagnostik lebih baik dibanding rasio IL-6 urin/kreatinin urin dalam
membedakan hematuri glomerular dan non glomerular
Pengembangan Prototipe Antigen dsDNA Untuk Kit Diagnosis Dini Lupus Eritematosus Sistemik
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit keradangan jaringan ikat multisistem yang ditandai dengan terbentuknya autoantibodi terhadap komponen sel sehingga menimbulkan kerusakan pada jaringan. Manifestasi klinisnya sangat bervariasi, sehingga sulit untuk mendiagnosis lupus, karenanya diperlukan tes yang praktis dan akurat untuk meningkatkan kecepatan diagnosis. Salah satu aplikasi alat diagnostik yang mudah digunakan adalah metode rapid test kit, atau immunochromatographic test(ICT). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui performance kandidat antigen DNA untuk deteksi antibodi anti-dsDNA. Sampel penelitian berupa dua kelompok antigen yang berasal dari kultur cell line HeLa dan nukleus limfosit whole blood, antibodi dari serum kontrol dan pasien LES sesuai kriteria SLICC 2012. Metode yang digunakan untuk mengisolasi antigen DNA adalah dengan kit ekstraksi DNA, kemudian dilakukan Dot enzyme immunoassay (DEI) dengan uji titrasi papan catur (checkerboard), untuk menetukan konsentrasi terbaik dari antigen dan antibodi primer yang ditandai dengan densitas perubahan warna yang signifikan. Kemudian dilanjutkan DEI terhadap 24 sampel anti-dsDNA positif dan anti-dsDNA negatif, berdasarkan hasil titrasi checkerboard untuk menentukan spesifisitas dan sensitifitas intensitas warna dot blot assay terhadap anti-dsDNA hasil pengukuran dengan ELISA. Didapatkan perubahan warna yang paling menonjol pada uji checkerboard adalah pada pengenceran antigen dari limfosit whole blood 1/640(konsentrasi antigen 3,16ng/μL) dan pengenceran antibodi 1/3200. Tidak didapatkan perubahan warna yang signifikan pada uji checkerboard dengan antigen dari sel HeLa. Hasil perhitungan uji diagnostik dengan DEI pada cut off 105,23 memiliki sensitivitas 70,83%, spesifisitas 75%, nilai ramal positif(NRP) 73,91% dan nilai ramal negative(NRN) 72,00%. Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang pengembangan antigen sel limfosit untuk pembuatan kit diagnostik anti-dsDNA
Profil Protein Spesifik Urine Dihubungkan Dengan Kelas Histopatologi Dan Aktivitas Penyakit Nefritis Lupus
viii
ABSTRAK
Farida, Dany, 2018, Profil Protein Spesifik Urine Dihubungkan dengan Kelas
Histopatologi dan Aktivitas Penyakit Nefritis Lupus. Program Pendidikan
Dokter Spesialis I Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
Malang. Pembimbing (1) Dr. dr. Hani Susianti, Sp.PK(K), (2) dr. I. Putu Adi
Santosa, Sp.PK
Nefritis Lupus (NL) merupakan manifestasi serius pada Lupus
Eritematosus Sistemik (LES). Biomarker yang ada saat ini untuk mengevaluasi
aktivitas NL masih belum memuaskan, biopsi ginjal masih menjadi standar baku
untuk penilaian kelas histopatologi. Kelas histopatologi dan aktivitas NL
digunakan untuk menentukan prognosis atau progresifitas NLl. Perubahan
patologis pada membran basalis dan selektifitas protein akan menyebabkan
suatu pola protein spesifik dari urin yang diekskresi. Identifikasi pola protein
spesifik tersebut diharapkan membantu mengevaluasi progresifitas dan
menentukan prognosis NL Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran
protein spesifik urin pada NL berdasarkan kelas histopatologi dan aktivitas.
Metode cross-sectional berdasarkan studi observasional dengan sampel 20
pasien NL dilakukan pemeriksaan protein urin dengan kromatografi kolom dan
SDS-PAGE. Pasien NL dilakukan biopsi ginjal untuk menentukan kelas
histopatologi dan aktivitasnya. Dilakukan deskripsi gambaran protein spesifik urin
dan berat molekul dan dilakukan uji beda terhadap kelas histopatologi dan
aktivitasnya.Hasil didapatkan perbedaan gambaran pola protein spesifik urin dan
jumlah peak pada pasien NL tidak aktif dan aktif. Berat molekul protein spesifik
urin pada NL tidak aktif dan derajat ringan (kelas I,II) > 66kDa sedangkan pada
NL aktif dan derajat berat (kelas III, IV, V) mempunyai protein urin tambahan dan
protein berat molekul rendah 30-21kDa.Terdapat perbedaan gambaran jumlah
peak dan berat molekul protein spesifik urin pada NL tidak aktif dan NL aktif.
Pada NL derajat berat kelas III, IV, V dan NL aktif mempunyai protein urin
tambahan dengan berat molekul rendah 30-21kD
Perbedaan Gambaran Protein Spesifik Urine Pada Nefritis Lupus Antara Kadar Ureum Dan Kreatinin Serum Tinggi Dan Normal
Latar Belakang: Nefritis Lupus (NL) merupakan manifestasi serius pada Lupus Eritematosus Sistemik (LES) dan prediktor utama untuk prognosis buruk LES. Biomarker yang ada saat ini untuk mengevaluasi aktivitas dan kronisitas NL masih belum memuaskan, biopsi ginjal masih menjadi standar baku. Ureum dan kreatinin merupakan parameter yang banyak digunakan untuk mengetahui fungsi ginjal karena merupakan substansi endogen yang diproduksi relatif lebih stabil. Perubahan patologis pada membran basalis dan selektifitas protein akan menyebabkan suatu pola protein urine yang diekskresi. Identifikasi protein spesifik ini diharapkan membantu mengevaluasi keterlibatan ginjal yang berat.
Tujuan: Mengetahui perbedaan gambaran protein spesifik urine pada NL dengan kadar ureum-kreatinin serum tinggi dan normal
Metode: Penelitian deskriptif pada 20 orang kelompok sehat dan 20 orang kelompok NL. Pemeriksaan protein urine dilakukan dengan kromatografi kolom dan SDS-PAGE.
Hasil: Terdapat perbedaan gambaran fragmen albumin dan jumlah peak pada kelompok NL dibandingkan kelompok sehat. Berat molekul protein spesifik urine pada kelompok sehat > 66kDa sedangkan kelompok NL ≤ 66kDa. NL dengan kadar ureum-kreatinin serum tinggi mempunyai protein urine tambahan yaitu protein dengan berat molekul rendah ( 21-30 kDa).
Kesimpulan: Terdapat perbedaan gambaran, jumlah dan berat molekul protein spesifik urine pada kelompok sehat dan kelompok NL. NL dengan kadar ureum-kreatinin serum tinggi mempunyai protein urine tambahan yaitu protein dengan berat molekul rendah ( 21-30 kDa)
Evaluasi Korelasi dan Performa Diagnostik antara Asymmetric Dimethylarginine Urine dengan eGFR dan UACR pada Penderita Nefropati Diabetik
Latar Belakang. Nefropati Diabetik adalah komplikasi diabetes melitus pada ginjal yang dapat berakhir sebagai gagal ginjal, dimana pada stadium awal nefropati diabetik terjadi disfungsi endotel yang dikarakterisasi oleh adanya peningkatan Asymmetric dimethylarginine (ADMA). ADMA adalah analog L-arginine yang secara alami berada dalam sirkulasi manusia. Sekitar 90% ADMA di metabolisme oleh dimethylaminohydrolase (DDAH) di tubulus proksimal ginjal, sedangkan 10% sisanya di ekskresi melalui urine. Hal tersebut menyebabkan ginjal memainkan peran utama dalam ekskresi ADMA. Berdasarkan hal diatas terbuka peluang untuk meneliti perubahan kadar ADMA urine pada pasien Nefropati Diabetik (ND) yang dikaitkan dengan estimated Glomerular Filtration Rate (eGFR) dan Urine Albumin-to-Creatinine Ratio (UACR).
Tujuan. Untuk menentukan korelasi dan performa diagnostik antara kadar ADMA urine dengan eGFR dan UACR.
Metode. Penelitian ini merupakan studi potong lintang analitik dengan total 108 pasien. Data didapatkan dari 22 pasien kontrol, 41 pasien Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Non Nefropati Diabetik dan 45 pasien Diabetes Melitus Tipe 2 dengan Nefropati Diabetik. Analisis menggunakan uji komparasi Mann-Whitney dan uji korelasi Spearman, lalu dilakukan uji performa diagnostik.
Hasil. Dari total 108 pasien, 42 (38,9%) pasien laki-laki dan 66 (61,1%) pasien perempuan dengan rentang usia 30-76 tahun. Terdapat perbedaan bermakna pada kadar HbA1C (p=<0,001), UACR (p=<0,001), ADMA urine (p=<0,001) antara kelompok kontrol dan kelompok non nefropati diabetik. Terdapat perbedaan bermakna pada kadar HbA1C (p=<0,001), UACR (p=<0,001), ADMA urine (p=<0,001) antara kelompok kontrol dan kelompok nefropati diabetik. Terdapat perbedaan bermakna pada kadar UACR (p= <0,001) dan ADMA urine (p=0,047) antara kelompok non nefropati diabetik dan kelompok nefropati diabetik. Berdasarkan uji korelasi spearman terdapat hubungan yang bermakna antara kadar ADMA urine dengan eGFR (p=0,011) dengan nilai r=0,244 dan UACR (p=<0,001) dengan nilai r=0,457. Uji diagnostik kadar Asymmetric Dimethylarginine (ADMA) urine untuk kelompok Non Nefropati Diabetik menggunakan cut off untuk kadar ADMA urine 15 ng/mL, menunjukkan nilai sensitivitas 87,8%, nilai spesifisitas 45,5% dengan AUC 0,784. Dan untuk kelompok Nefropati Diabetik menggunakan cut off untuk kadar ADMA urine 25,45 ng/mL, menunjukkan nilai sensitivitas 88,9%, nilai spesifisitas 36,4% dengan AUC 0,859.
Kesimpulan. Terdapat korelasi bermakna antara kadar ADMA dan UACR dengan nilai cut off untuk kadar ADMA urine 15 ng/mL pada kelompok non nefropati diabetik, dan 25,45 ng/mL untuk nefropati diabeti
Korelasi Kadar Liver-Type Fatty Acid Binding Protein (L-FABP) dan Beta Trace Protein (BTP) Serum Pada Pasien Cedera Ginjal Aku
Cedera ginjal akut / Acute Kidney Injury (AKI) merupakan salah satu komplikasi
serius yang sering muncul pada pasien kritis. AKI adalah salah satu dari kondisi
patologis yang mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal. AKI berkaitan erat dengan
meningkatnya angka mortalitas dan risiko untuk terjadinya chronic kidney disease
(CKD). Insiden AKI di dunia didapatkan bahwa 20% pasien yang dirawat di rumah
sakit mengalami AKI. Prevalensi AKI pada pasien kritis cukup tinggi yaitu sekitar
50% dan 30% diantaranya membutuhkan renal replacement therapy (RRT).
Kematian akibat AKI pada pasien ICU dilaporkan lebih dari 50%. Studi di Asia
menunjukkan insiden AKI di Asia Timur sebesar 19,4%; di Asia Selatan sebesar
7,5%; di Asia Tenggara mencapai 31,0%; Asia Tengah 9,0% dan 16,7% di Asia
Barat. Sedangkan mortalitas pasien karena AKI sebesar 36,9% di Asia Timur,
13,8% Asia Selatan dan 23,6% di Asia Barat.
Salah satu biomarker AKI adalah kreatinin serum, yang mempunyai sensitivitas
52,9% dan spesifisitas 85,7%. Sensitivitas dan spesifisitas kreatinin serum
tersebut kurang baik karena kadar kreatinin serum dapat meningkat tanpa ada
cedera nyata pada ginjal. Kadar kreatinin serum tidak berubah meski telah terjadi
cedera tubulus akut karena adanya kompensasi peningkatan fungsi oleh nefron
yang tersisa. Diagnosis AKI saat ini ditegakkan berdasarkan kriteria KDIGO
dengan adanya peningkatan kreatinin serum yang kurang sesuai untuk menilai
kerusakan ginjal karena peningkatan kreatinin serum baru terdeteksi setelah
terjadi kerusakan ginjal. L-FABP (Liver type Fatty Acid Binding Protein) dan BTP
(Beta Trace Protein) adalah protein berat molekul rendah yang dikatakan dapat
menjadi biomarker yang ditemukan untuk diagnosis dini cedera ginjal akut. Jika
didapatkan cedera ginjal akut maka kadar kreatinin serum, L-FABP dan BTP akan
meningkat. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perubahan kadar L-FABP
serum dan BTP pada pasien sebelum dan saat terjadinya AKI sehingga L-FABP
dan BTP dapat digunakan sebagai penanda terjadinya AK
Evaluasi Korelasi dan Performa Diagnostik antara Periostin Urine dengan Glomerular Filtration Rate dan Urine Albumin Creatinin Ratio pada penderita Nefropati Diabetik”
Latar Belakang. Nefropati Diabetik (ND) merupakan salah satu komplikasi diabetes yang
paling sering terjadi. Prediktor utama dari terjadinya ND adalah proteinuria. Ketika
proteinuria sudah timbul berarti menandakan adanya perubahan struktur ginjal. Semikin
berat kadar albuminuria menandakan ND yang semakin memberat. Periostin urin
sebagai salah satu penanda untuk mengetahui terjadinya kerusakan ginjal sebelum
adanya albuminuria. Tujuan. Menentukan korelasi antara periostin urine dengan rasio
albumin kreatinin urine pada pasien ND. Menentukan korelasi antara Periostin urine
dengan eGFR pada pasien ND. Menentukan nilai performa Periostin urine untuk
mendeteksi ND. Metode. Dengan studi observasional analitik cross-sectional dilakukan
pada pasien diabetes melitus yang dirawat inap di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang pada
bulan Desember 2019 hingga Agustus 2020. Subyek penelitian diperiksa kadar ureum,
kreatinin, eGFR, HbA1C, UACR dan pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
akan dibagi menjadi kelompok normal, DM tanpa nefropati atau DM UACR <30mg/g, ND
dengan UACR 30-300mg/g, ND dengan UACR >300mg/g kemudian dilakukan
pemeriksaan Periostin urin. Analisis statistik berupa uji beda dengan uji t-independen
atau uji Mann-Whitney ,uji diagnostik Periostin dan UACR dalam diagnosis DM nefropati
menggunakan kurva ROC sedangkan uji korelasi Periostin dengan eGFR dan UACR
menggunakan uji korelasi Spearman serta analisis multivariat. Hasil. Kadar periostin
dalam urine kelompok DM nefropati lebih tinggi secara bermakna dibandingkan kelompok
pasien normal (p<0,001). Cut off kadar periostin pada pasien DM tanpa nefropati, ND
dengan UACR 30-300mg/g, ND dengan UACR 300mg/g adalah 2,51 mg/gCr, 3,21
mg/gCR dan 2,6 mg/gCr. Dengan masing-masing sensitivitas dan spesifisitas 69,6% dan
72,7%, 82,1% dan 77,3%, 73,1 dan 72,7%. Terdapat korelasi antara Periostin urin
dengan UACR dan HbA1c dengan hubungan positif. Kesimpulan. Periostin dapat
dianggap sebagai modalitas untuk deteksi dini ND. Studi longitudinal untuk mengikuti
perjalanan klinis pasien dapat dilakukan untuk melihat peran Periostin urin dalam
prognosis dan terapi pasien ND
Nilai Diagnostik Pemeriksaan Ana, Anti-Ro/Ssa Dan Anti-La/Ssb Secara Kuantitatif Dengan Metode Chemiluminescent Immunoassay Pada Pasien Dengan Penyakit Autoimun
Autoimunitas didefinisikan sebagai suatu respon imun terhadap antigen sendiri.
Penyakit autoimun merupakan penyebab utama kematian diantara wanita muda dan paruh
baya di Amerika serikat. Sekitar 75% wanita memiliki resiko yang lebih tinggi untuk terkena
penyakit autoimun dibandingkan dengan pria, dan resiko tersebut meningkat seiring
bertambahnya usia.
Saat ini pemeriksaan anti nucelar-antibody (ANA) yang menggunakan metode
Immunofluorescence Assay (IFA) merupakan baku emas dalam penegakkan diagnosa
penyakit autoimun. Pemeriksaan IFA memiliki kelemahan dari segi biaya yang mahal, dan
belum ditetapkan keseragaman ambang nilai titer di setiap laboratorium. Banyak
pemeriksaan serologi lain yang berkembang dalam membantu penegakan diagnosis
penyakit autoimun seperti pemeriksaan dengan metode chemiluminescent immunoassay
(CLIA). Kelebihan dari pemeriksaan ini sudah bisa dijalankan sepenuhnya menggunakan
sistem otomatisasi.
Penggunaan pemeriksaan autoantibodi lanjutan seperti anti-Ro/anti-Sjogren's
Syndrome A (SSA) dan anti-LA/ anti-Sjogren's Syndrome B (SSB) bisa dipertimbangkan
untuk digunakan karena sering ditemukan pada pasien Lupus eritematosus sistemik (LES)
dan sindrom Sjogren. Parameter anti-Ro/SSA dan anti-LA/SSB menunjukkan hubungan
yang erat dengan berbagai penyakit autoimun seperti LES, Lupus neonatal, SS, RA dan
SSc yang secara langsung terlibat dalam patogenesis dari kerusakan jaringan.
Penelitian ini bertujuan mengetahui nilai diagnostik pemeriksaan ANA, anti-Ro/SSA dan
anti-La/SSB secara kuantitatif dengan metode CLIA pada pasien dengan penyakit
autoimun. Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan pendekatan
pengambilan data cross-sectional dengan metode consecutive sampling yang dilakukan di
RSSA pada pasien yang terdiagnosis penyakit autoimun dan memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi. Pemeriksaan metode IFA menggunakan alat Cytobead® 2, dan pemeriksaan
metode CLIA menggunakan alat MaglumiTM 800 Snibe.
Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini pada parameter ANA, anti-Ro/SSA, anti-
La/SSB metode IFA bersifat kategorikal, dan data yang didapatkan dari parameter ANA,
Anti-Ro dan Anti-La bersifat numerik. Selanjutnya dilakukan uji diagnostik menggunakan
kurva Receiver Operating Characteristic (ROC), yaitu kurva yang dihasilkan dari tarik ulur
antara sensitivitas dan spesifisitas pada berbagai titik potong. Prosedur ROC ini akan
menghasilkan Area Under Curve (AUC) untuk menentukan sensitivitas dan spesifisitas
metode CLIA dengan menggunakan metode IFA sebagai baku emas, dengan mengambil
Cut-off-point optimum menggunakan sensitivitas dan spesifisitas yang paling besar. Data
yang diperoleh dikonversi menjadi kategorikal (metode CLIA) dan kategorikal (metode
IFA). Selanjutnya kedua data kategorikal (CLIA dan IFA) diproses menggunakan analisis
bivariat teknik Cohen’s kappa value untuk uji korelasi antara pemeriksaan ANA, anti-
Ro/SSA, anti-La/SSB metode IFA dan pemeriksaan ANA, anti-Ro/SSA, dan Anti-La/SSB
dengan metode CLIA.
Hasil penelitian didapatkan total subyek penelitian 110 orang, dengan hasil positif pada
pemeriksaan ANA metode IFA dan CLIA sebanyak 58,18% dan negatif 41,81%, dengan
viii
nilai cut-off 41,79 AU/mL pada metode pemeriksaan CLIA menghasilkan sensitivitas
98,4%, spesifisitas 95,5% serta nilai kesesuaian 0,908 (p=0,000). Pada parameter SSA
yaitu anti-Ro-52 memakai nilai cut-off 4,23 AU/mL dengan metode pemeriksaan CLIA
menghasilkan sensitivitas 100%, spesifisitas 84,8% serta nilai kesesuaian 0,903 (p=0,000),
dan pada parameter anti-Ro-60 memakai nilai cut-off 20,91 AU/mL dengan metode
pemeriksaan CLIA menghasilkan sensitivitas 94,3%, spesifisitas 100% serta nilai
kesesuaian 0,960 (p=0,000). Pada parameter SSB/La memakai nilai cut-off 18,03 AU/mL
dengan metode pemeriksaan CLIA menghasilkan sensitivitas 92,9%, spesifisitas 100%
serta nilai kesesuaian 0,959 (p=0,000). Dari hasil penelitian diatas bisa disimpulkan bahwa
terdapat korelasi yang cukup baik antara parameter pemeriksaan ANA, antibodi anti-
Ro/SSA dan anti La/SSB secara kuantitatif pada metode pemeriksaan CLIA dengan hasil
pemeriksaan parameter yang sama dengan metode IFA pada pasien penyakit autoimun
sehingga penggunaan metode pemeriksaan CLIA pada parameter ANA, antibodi anti-
Ro/SSA dan anti La/SSB bisa digunakan pada fasilitas kesehatan yang belum memiliki alat
pemeriksaan IFA
Evaluasi Performa Kadar Tissue Inhibitor Of Metalloproteinase-2 (TIMP-2) dan Insulin- Like Growth Factor Binding Proteins 7 (IGFBP-7) Urin pada Nefropati
Menurut WHO, pada tahun 2008 terdapat 57 juta angka kematian di dunia akibat
berbagai macam penyakit, dimana Proportional Mortality Rate (PMR) penyakit tidak
menular di dunia sekitar 36 juta (63%). Penyakit tidak menular yang juga mengalami
peningkatan adalah diabetes mellitus (DM) tipe 2 dan hipertensi. Nefropati adalah kelainan
fungsi ginjal yang disebabkan oleh kerusakan baik pada pembuluh darah kecil atau
beberapa bagian ginjal yang berfungsi untuk menyaring darah yang bisa disebabkan oleh
faktor risiko seperti DM tipe 2 dan hipertensi. Prevalensi nefropati diabetik adalah 35,3%
sedangkan insidensi nefropati hipertensi menyumbang sekitar 27,5% dari pasien dialisis
setiap tahunnya di Amerika Serikat.
Pada penelitian sebelumnya dinyatakan bahwa terdapat beberapa faktor penyebab
diabetik nefropati yaitu terjadi akumulasi matriks ekstraseluler (ECM) pada glomerulus.
Perubahan progresif matriks ekstraseluler (ECM) juga merupakan karakteristik dari
nefropati hipertensi (HN). Protein ECM didegradasi oleh endopeptidase yang bergantung
pada Zinc yang disebut matrix metalloproteases (MMPs) dimana MMP akan dihambat
kerjanya oleh tissue inhibitor metalloproteases (TIMPs). Akumulasi matriks ekstraseluler
pada glomerulus sebagai reaksi terhadap penurunan ekspresi metalloproteases-2 (MMP-
2) dihambat oleh tissue inhibitor metalloproteases-2 (TIMP-2).
Molekul kunci yang terlibat dalam pathogenesis nefropati diabetik adalah Transforming
growth factor beta 1 (TGF-β1). TGF-β1 meningkatkan ekspresi IGFBP7 pada sel proksimal
tubular ginjal, sehingga akan terjadi kerusakan pada tubular ginjal, sehingga IGFBP-7
disinyalir dapat menjadi penanda kerusakan pada bagian tubulus ginjal dan akan
meningkat lebih awal dibanding dengan penanda kerusakan ginjal seperti estimated
glomerulus filtration rate (eGFR). Tekanan darah tinggi yang terus-menerus melukai selsel
tubulus, yang menyebabkan transisi epitel-mesenkim (EMT) dan fibrosis
tubulointerstitial.
Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan pendekatan pengambilan data
cross-sectional dengan metode consecutive sampling pada pasien DM dan hipertensi di
desa Cempokomulyo 40 orang sampel terdiri dari kelompok dengan nefropati 20 sampel
dan tanpa nefroapti 20 sampel. Parameter yang diukur adalah TIMP-2, IGFBP-7, UACR,
dan eGFR pada urin. Pengukuran TIMP-2 dan IGFBP-7 secara kuantitatif menggunakan
metode ELISA menghasilkan kadar dalam satuan ng/mL. Data yang didapat dianalisis
menggunakan SPSS 2.5. Uji normalitas yang digunakan pada penelitian ini adalah uji
shapiro-wilk, dilanjutkan spearman untuk uji korelasi. Uji performa diagnostik TIMP-2,
IGFBP-7, serta kombinasi keduanya menggunakan kurva ROC.
Hasil analisis menunjukkan tidak didapatkannya perbedaan usia dan jenis kelamin
antara kedua kelompok (nefropati dan tanpa nefropati). Hasil uji korelasi Spearman antara
kadar TIMP-2 dengan UACR sebesar 0,641; p= 0,000 menunjukkan bahwa arah korelasi
positif dengan kekuatan korelasi kuat. Hasil uji korelasi kadar TIMP-2 dan eGFR sebesar
-0,338; p= 0,030 menunjukkan bahwa arah korelasi negatif dengan kekuatan korelasi
sedang. Hasil uji korelasi IGFBP-7 dengan UACR sebesar 0,266; p= 0,097 menunjukkan
tidak ada korelasi. Hasil uji korelasi kadar IGFBP-7 dan eGFR sebesar 0,048; p= 0,769
menunjukkan tidak ada korelasi. Hal ini menandakan bahwa kerusakan ginjal pada
penelitian ini kemungkinan terjadi pada glomerulus namun tidak pada tubulus ginjal.
Kurva ROC TIMP-2 menghasilkan nilai AUC 0,913 dengan p<0,001, menandakan
bahwa TIMP-2 memiliki kekuatan nilai diagnostik sangat baik. Uji diagnostik TIMP-2
dengan menggunakan nilai cut off > 10,75 ng/ml, menghasilkan nilai sensitivitas 90%, nilai
spesifitas 85%, nilai ramal positif 85,7%, dan nilai ramal negatif 89,5%. Tingginya
spesifisitas TIMP-2 menggambarkan performa yang sangat baik untuk mendiagnosis
nefropati.
Kurva ROC IGFBP-7 menghasilkan nilai AUC 0,655 dengan p=0,094, menandakan
bahwa IGFBP-7 memiliki kekuatan nilai diagnostic lemah. Uji diagnostik IGFBP-7 dengan
menggunakan nilai cut-off ≥ 1,78 ng/mL, menghasilkan nilai sensitivitas 65%, nilai
spesifisitas 50%, nilai ramal positif 56,5%, dan nilai ramal negatif 58,8%. TIMP-2 memiliki
korelasi yang lebih kuat dan nilai AUC yang lebih tinggi dari IGFBP-7, membuatnya lebih
unggul dalam mendiagnosis nefropati terutama pada kerusakan pada glomerulus. Namun,
adanya keterbatasan pada penelitian ini yaitu sampel yang berasal dari populasi DM tipe
2 dan Hipertensi tidak memperhatikan durasi onset nefropati dan penyebab lain nefropati,
sehingga kurang nampak peran dan keunggulan TIMP-2. Selain itu, data pada penelitian
ini diambil secara cross sectional, sehingga tidak dapat dinilai bagaimana peranan markermarker
tersebut terhadap perjalanan klinis, prognosis dan terapi nefropati.
Kombinasi kedua parameter dilakukan dengan cara membedakan 2 kelompok yaitu
nefropati dan tanpa nefropati. Kombinasi kelompok positif adalah individu dengan kedua
hasil TIMP-2 dan IGFBP-7 positif atau salah satu dari parameter tersebut yang positif.
Kombinasi kelompok negatif adalah individu dengan kedua hasil baik TIMP-2 maupun
IGFBP-7 yang negatif. Kurva ROC untuk kombinasi keduanya menghasilkan nilai AUC
0,935 dengan p=0,000, menandakan kombinasi kedua marker memiliki kekuatan nilai
diagnostik sangat baik. Diperoleh juga nilai sensitivitas 100 %, nilai spesifitas 45%, nilai
ramal positif 64.5%, nilai ramal negatif 100% dan nilai akurasi diperoleh 72,5% Nilai
AUCnya hampir sama dengan kadar TIMP-2 tunggal namun menghasilkan nilai sensitivitas
yang jauh lebih tinggi daripada TIMP-2 atau IGFBP-7 tunggal. Hal ini menunjukkan bahwa
kombinasi kedua marker dapat meningkatkan sensitivitas terhadap diagnosis nefropti
dengan akurasi yang lebih baik.
Dapat disimpulkan bahwa TIMP-2 berkorelasi kuat dengan nefropati serta memiliki AUC
lebih besar dan sensitivitas yang lebih tinggi daripada IGFBP-7 dan kombinasi TIMP-2 dan
IGFBP-7 dapat meningkatkan sensitivitas terhadap diagnosis nefropati. Sehingga
keduanya, baik TIMP-2 maupun kombinasi kedua marker, dapat disarankan dalam
mendeteksi lebih awal kerusakan ginjal. Sebagai saran, dapat dilakukan penelitian lebih
lanjut dengan menambahkan biopsi ginjal untuk mengetahui kerusakan ginjal secara
struktural. Harapan kedepannya dapat dilakukan penelitian longitudinal sehingga dapat
diikuti perjalanan klinis pasien serta melihat prognosis dan manfaat terapi nefropati
Hubungan antara sCD80 dan sCTLA-4 dengan Penanda Immune Risk Profile Rasio Sel Limfosit T CD4/CD8 pada Penuaan Imun Pasien Lupus
Penuaan merupakan gangguan fungsi tubuh progresif akibat dari berbagai
disfungsi jaringan yang dikaitkan dengan peningkatan morbiditas. Keterlibatan sistem
imun yang berkaitan dengan usia mengarah pada penurunan progresif dalam kemampuan
untuk memicu respon antibodi dan seluler yang efektif terhadap infeksi dan vaksinasi.
Fenomena ini yang disebut immunosenescence atau penuaan imun yang mempengaruhi
imunitas alami maupun yang didapat. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa penuaan
imun tidak hanya dijumpai pada orang usia lanjut, tetapi ditemukan juga pada kondisi
autoimun seperti LES. Telah dilaporkan bahwa pasien LES menunjukkan karakteristik
imunologis yang menyerupai dengan individu yang tua. Normalnya, sistem imun
mengalami perubahan dinamis seiring berjalannya usia. Akan tetapi, pada penyakit
autoimun terjadi aktivasi imun kronis yang mempercepat proses penuaan imun dini.
Studi terdahulu telah menetapkan sekelompok parameter imun untuk menentukan
adanya penuaan imun, dapat diketahui melalui IRP antara lain penurunan rasio CD4/CD8
(<1) , penurunan ekspresi CD80, dan peningkatan CTLA-4. Penurunan rasio CD4/CD8
(<1) terjadi akibat adanya akumulasi sel T CD8+CD28- dan juga dikaitkan dengan adanya
perubahan pada respon imun dan perkembangan penyakit LES. Penelitian sebelumnya
menyatakan bahwa penurunan rasio CD4/CD8 menandakan adanya penuaan imun akibat
dari inflamasi kronis dan seiring bertambahnya usia maka rasio CD4/CD8 cenderung
menurun (<1). Penelitian sebelumnya juga menyatakan bahwa CD80 berkurang signifikan
seiring bertambahnya usia. Ligan CD80 dapat berikatan dengan CD28 dan CTLA-4. CD80
akan berikatan dengan CTLA-4 yang diekspresikan oleh APC setelah adanya aktivasi sel
T. Ikatan tersebut akan memblokir jalur aktivasi sel T. Ekspresi CTLA-4 mencegah
pengikatan CD28 ke CD80, dengan demikian menghambat pembentukan sinyal
kostimulatori dan menghalangi jalur aktivasi sel T. Penelitian sebelumnya juga menyatakan
bahwa peningkatan CTLA-4 pada penuaan imun dapat terjadi karena adanya kelelahan
sel limfosit T setelah adanya stimulasi TCR yang berlebihan dan terus menerus dan
adanya peningkatan sitokin inflamasi. CTLA-4 memiliki bentuk terlarut sCTLA-4 yang
berpotensi dapat mengikat CD80. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa terdapat
peningkatan sCTLA-4 pada pasien dengan penyakit autoimun.
Pada umumnya, penanda terjadinya penuaan imun hanya dapat dideteksi dari
IRP. Akan tetapi, untuk mengamati IRP hanya dapat dilakukan menggunakan flowsitometri
dengan mengukur persentase marker kostimulator pada permukaan sel imun yang
cenderung sulit, membutuhkan waktu yang lama, alat yang canggih, dan keahlian khusus.
Oleh karenanya penelitian ini disusun untuk menemukan penanda baru penuaan imun
dengan menggunakan bentuk terlarut molekul kostimulator seperti molekul sCD80 dan
sCTLA-4 yang bersirkulasi secara bebas pada sirkulasi. Bentuk terlarut dari penanda
tersebut masih belum banyak diteliti. Keunggulan penggunaan penanda terlarut daripada
maker reseptor adalah kemampuannya untuk dapat dideteksi di dalam serum dengan
metode yang lebih mudah. Tujuan dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui apakah
terdapat hubungan antara penanda IRP rasio sel limfosit T CD4/CD8 dengan penanda
sCD80 dan sCTLA-4 pada penuaan imun pasien lupus.
Populasi penelitian ini adalah pasien LES, lansia usia, dan individu sehat usia
produktif. Jumah sampel penelitian yaitu 87 responden, individu muda sebanyak 20
responden, pasie LES sebanyak 35 responden, dan lansia sebanyak 32 responden.
Penanda sCTLA-4 dan sCD80 diketahui melalui pengukuran menggunakan uji ELISA.
Rasio limfosit T CD4/CD8 didapatkan dengan PBMC dan diukur dengan metode
flowsitometri. Uji statistik menggunakan uji normalitas Shapiro Wilk dan Uji Homogenitas
Levene. Uji ANOVA digunakan untuk menganalisis perbandingan antar kelompok, apabila
datayang didapat tidak terdistribusi normal maka digunakan uji Kruskal wallis. Uji korelasi
viii
menggunakan korelasi Spearman. Uji statistik menggunakan IBM SPSS Statistics version
23.
Berdasarkan analisis deskriptif diketahui bahwa rata-rata kadar sCD80 paling
tinggi terdapat pada kelompok lansia, rata-rata kadar sCD80 paling rendah ada pada
kelompok individu muda. Pada kelompok individu muda memiliki rata-rata kadar sCD80
sebesar -2707.50 + 12901.23. Kelompok LES memiliki rata-rata kadar sCD80 2962.14 +
18941.79. Berikutnya kelompok lansia memiliki rata-rata kadar sCD80 sebesar 5731.88 +
21464.56. Rata-rata kadar sCTLA-4 tertinggi pada kelompok individu muda, sedangkan
rata-rata kadar sCTLA-4 terendah pada kelompok LES. Kadar sCTLA-4 33.75 + 31.97
pada kelompok individu muda. Selanjutnya rata-rata kadar sCTLA-4 22.17 + 20.53 pada
kelompok pasien LES. Berikutnya kelompok lansia memiliki rata-rata kadar sCTLA-4
sebesar 29.19 + 20.66. Rata-rata rasio CD4/CD8 tertinggi pada kelompok pasien LES,
sedangkan rata-rata rasio CD4/CD8 terendah pada kelompok lansia. Pada kelompok
individu muda memiliki rata-rata rasio CD4/CD8 sebesar 0.96 + 0.28, pada kelompok LES
rata-rata rasio CD4/CD8 1.03 + 0.54, dan pada kelompok lansia memiliki rata-rata rasio
CD4/CD8 sebesar 0.82 + 0.39. Hasil pengujian korelasi hubungan antara kadar sCD80
dengan rasio CD4/CD8 memiliki koefisien korelasi -0.068 dengan probabilitas 0.533 dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang tidak signifikan antara kadar sCD80 dengan
rasio CD4/CD8. Koefisien korelasi sebesar -0.068 menunjukkan hubungan negatif dan
sangat lemah, semakin tinggi kadar sCD80 maka rasio CD4/CD8 akan semakin menurun
dan semakin rendah kadar sCD80 maka rasio CD4/CD8 akan semakin meningkat.
Berdasarkan hasil pengujian korelasi hubungan antara kadar sCTLA-4 dengan rasio
CD4/CD8 memiliki koefisien korelasi -0.063 probabilitas 0.560, terdapat hubungan yang
tidak signifikan antara kadar sCTLA-4 dengan rasio CD4/CD8. Koefisien korelasi -0.063
menunjukkan ada hubungan yang negatif dan sangat lemah, semakin tinggi kadar sCTLA-
4 maka rasio CD4/CD8 akan semakin menurun dan semakin rendah kadar sCTLA-4 maka
rasio CD4/CD8 akan semakin meningkat