3 research outputs found

    Membaca Konsep Bedawang Nala

    No full text
    Wujud arsitektur dapat dilihat dari bentuk dan ruang, serta memiliki relasi unsur budaya, yaitu sebagai tampilan secara langsung disebut sebagai artefak. Karya arsitektur tidak terlepas dari guna dan citra, sebagai makna dari materinya. Bedawang nala merupakan jejak arsitektur berwujud sekala-niskala, berupa penyu yang dililit naga basuki dan ananthaboga, dan relasi metafisik terhadap jelmaan Dewa Wisnu bersifat metafisik. Realitas arsitektur di Bali tidak terlepas dengan konsep tri hitakarana, tri-loka/tri-tri angga, nawa sanga, proporsi dan skala manusia. Realitas bedawang nala juga berelasi dengan mitos, ista dewata, sapta petala, ritual dan faktor sosial, serta rwa-bhinneda pada bedawang nala yang menunjukan posisi ruang profan dan sakral. Bedawang nala merupakan realitas dengan konsep arsitektur di Bali, konsep yang saling berelasi, dan memiliki hubungan menghadirkan bedawang nala dalam realitas fisik dan metafisik. Relasi itu terjadi pada mitos, ritual, bangunan tradisional arsitektur Bali dan bangunan publik. Bagaiana relasi bedawang nala sebagai konsep kosmologi ruang yang terbentuk pada realitas rwa-bhinneda? dan Bagaimana relasi bedawang nala pada bentuk fisik berdasarkan eksistensi rwa-bhinneda ?. Penelitian ini bertujuan mengkaji relasi rwa-bhinneda pada bedawang nala berdasarkan realitas arsitektur yang terjadi pada pelinggih padma, bale kul-kul, bade, bukur dan ritual dalam lingkup observasi yang dilakukan pada teritori Bali utara dan Bali Selatan di Pulau Bali, serta titik ahir di Pulau Jawa. Penelitian ini menggunakan prosedur kualitatif dengan penalaran induktif dan strategi etnografi. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa (1). pemuteran merupakan prasawiya mencapai sapta petala secara sekala dengan purwadaksina mencapai ista dewata bersifat niskala pada Bwah-loka, (2). Nasarin menghadirkan entitas Dewa Wisnu secara niskala dengan pedagingan dasar entitas bedawang nala bersifat sekala, (3). Rong merupakan realitas sekala pada ruang swah-loka yang merupakan entitas Ista Dewata yang niskala, (4). Reaktualisasi kosmogoni nasarin dan ngemunyiang lesung merupakan ritual untuk mencapai entitas bedawang nala yang sekala dengan entitas Dewa Wisnu yang niskala, (5). Realitas bedawang nala secara sekala dihadirkan pada dengan syarat orientasi ista dewata sebagai syarat mutlak dan bersifat sakral pada pelinggih padma, (6) Realitas bedawang nala secara sekala dapat dihadirkan pada entitas sekala dengan syarat catur warna (7). Realitas bedawang nala merupakan rwa-bhinneda reaktualisasi kosmogoni berupa padma bersifat sakral menjadi syarat menghadirkan entitas bedawang nala pada pelinggih

    Pengaruh Asimilasi Masyarakat Maritim pada Arsitektur Pulau Gili Iyang

    No full text
    Suatu kebudayaan yang ada tidak serta-merta merupakan kebudayaan asli yang diturunkan secara turun-temurun namun juga suatu pencampuran kebudayaan. Secara historis, Pulau Gili Iyang sebagai salah satu pulau di Kabupaten Sumenep terindikasi menjadi pertemuan fisik tiga budaya dan berpotensi terjadi asimilasi budaya akibat migrasi oleh masyarakat Bugis-Makassar yaitu Daeng Karaeng Masalle dan masyarakat Buton-Binongko yaitu Andang Taruna dengan masyarakat Sumenep-Madura. Proses asimilasi yang terjadi di Pulau Gili Iyang tidak hanya pada aspek sosial budaya namun juga aspek arsitektur. Sebagai salah satu aspek budaya, arsitektur merupakan perwujudan dari nilai-nilai yang diwariskan dari generasi ke generasi, mencakup desain rumah, pola lingkungan hunian, ruang-ruang publik, dan lainnya yang erat kaitannya dengan karakteristik masyarakat tersebut. Wujud fisik arsitektur sangat dipengaruhi oleh faktor sosial budaya dan lingkungan di mana ia tumbuh dan berkembang. Perbedaan wilayah dan latar belakang budaya antar tiga masyarakat tersebut juga mengawali perbedaan manifestasi arsitekturalnya. Fokus penelitian ini terkait bagaimana pengaruh asimilasi budaya antara masyarakat peranakan Bugis-Makassar, Buton-Binongko, dan Sumenep-Madura pada arsitektur Pulau Gili Iyang sebagai tempat bertemunya antar tiga budaya tersebut. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh kebudayaan pada masyarakat bermentalitas maritim yaitu Bugis-Makassar dan Buton-Binongko dengan masyarakat Sumenep-Madura terhadap arsitektur Pulau Gili Iyang Kabupaten Sumenep saat ini. Metode penelitian yang digunakan ialah metode studi kasus oleh Robert K. Yin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asimilasi yang terbentuk oleh masyarakat bermentalitas maritim terhadap arsitektur Pulau Gili Iyang terlihat pada: (1) konsep penataan dan pembagian ruang yang mana arah barat-timur dan utara-selatan menyiratkan keseimbangan antara aspek kehidupan dan ibadah; (2) konsep warna didasarkan pada empat unsur alam, yaitu warna tanah, air, udara, dan api; (3) Ornamen terinspirasi dari lingkungan sekitar yakni tumbuhan, hewan, motif geometris berulang, dan motif melengkung dari ombak; (4) konsep ruang pengikat sebagai pusat arah orientasi dan transisi antar bangunan; (5) bangunan yang cenderung berdekatan

    Ekspresi Tektonika Rumah Tinggal Karya- karya Eko Prawoto

    No full text
    Penelitian ini dilatarbelakangi oleh ketidaktahuan dan ketidaktertarikan peneliti terhadap konsep-konsep dasar berarsitektur tentang konstruksi, teknik dan material, serta hal-hal lain terkait ilmu lapangan. Fenomena rumah-rumah minimalis yang muncul dengan konsep monoton ikut mempengaruhi pandangan dan anggapan tentang rumah tinggal sebagai suatu bangunan komersial yang menguntungkan tanpa makna. Penulis sendiri tidak menolak dan justru acuh terhadap gap antara peran arsitek sebagai media pengekspresian budaya dan juga rumah tinggal yang beralih menjadi bangunan komersial. Hal ini kemudian berubah atas dasar pengalaman melihat karya rumah tinggal Eko Prawoto, murid dari Romo Mangun yang disebut-sebut sebagai seorang arsitek berkonsep ‘lokalitas’ dan ‘puitis’ dengan konsep-konsep tektonika arsitektur dapat memunculkan bentukan yang simple, praktis dan modern. Pengalaman ini menimbulkan keinginan peneliti untuk melihat karya Eko Prawoto secara lebih mendalam. Kepekaan Eko Prawoto dalam olah material dan teknik dapat menjadi bentuk pengekspresian rumah tinggal menjadi lebih bermakna. Tektonika arsitektur menjadi background knowledge yang mendasari pertanyaan penelitian tentang konsep dan pemaknaan ekspresi yang disampaikan pada rumah tinggal karya Eko Prawoto. Bidang keilmuan ini merupakan pengetahuan tentang inner- consciousness yang harus digali dengan melibatkan arsitek sendiri sebagai sumber informasi, oleh karena itu metode biografi dijadikan pendekatan dalam penelitian ini. Objek penelitian dipilih berdasarkan pengembangan terhadap penelitian terdahulu oleh Lina et al (2018) tentang puitisasi dalam karya Eko Prawoto. Peneliti mengambil dua dari tiga objek penelitian terdahulu, dikarenakan terlalu banyak renovasi pada rumah ketiga. Eko sebagai subjek penelitian mendampingin jalannya observasi, bersamaan dengan proses analisa yang langsung divalidasi oleh subjek penelitian. Penelitian ini menghasilkan empat tema budaya sebagai ekspresi dari tektonika arsitektur Eko Prawoto dan dibahas satu per satu dalam bab- bab yang berbeda. Melalui penelitian ini, diharapkan pembaca mendapatkan pandangan baru dalam berarsitektur melalui konsep tektonika dan ekspresi yang dihasilkannya
    corecore