4 research outputs found
PENERAPAN MUTUAL LEGAL ASSISTANCE (MLA) DAN PERJANJIAN EKSTRADISI SEBAGAI UPAYA INDONESIA TERKAIT PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI
Mekanisme pengembalian aset (Asset Recovery Mekanism)Â hasil kejahatan Tipikor yang dilarikan ke luar negeri berdasarkan Konvensi Internasional Pemberantasan Korupsi (UNCAC), yaitu: pelacakan, aset yang sudah dilacak dan diketahui kemudian dibekukan, aset yang dibekukan lalu disita dan dirampas oleh badan berwenang dari negara di mana aset tersebut berada, dan kemudian dikembalikan kepada negara tempat aset tersebut diambil melalui mekanisme-mekanisme tertentu. Mutual Legal Assistance merupakan salah satu bentuk perjanjian yang dibentuk di antara negara-negara dalam upaya mengatasi maraknya kejahatan transnasional terorganisasi, seperti kejahatan narkotika dan psikotropika, kejahatan pencucian uang (money laundering), dan termasuk didalamnya adal tindak pidana korupsi. Hal ini menunjukkan bahwa tidak setiap kejahatan memerlukan penanganan melalui Mutual Legal Assistance, hanya kejahatan yang berdimensi internasional serta kejahatan yang memenuhi asas kejahatan ganda (double criminality) saja yang memerlukan penanganan melalui Mutual Legal Assistance.Kendala Dan Penghambat Utama Dalam Pengembalian Aset (Asset Recovery)Â hasil kejahatan tipikor yang dilarikan ke luar negeri antara lain yaitu: Perbedaan sistem hukum; Perbedaan terminologi dan definisi; Sistem kerahasiaan perbankan; Perjanjian antarnegara; UNCAC Tahun 2003 belum secara memadai berkontemplasi dalam peraturan perundangundangan di Indonesia; Mekanisme dan prosedur panjang, biaya besar, dan sumber daya manusia yang tidak limitatif; Memerlukan putusan pengadilan yang dapat menghubungkan antara aset yang bersangkutan dengan tindak pidana; Penyalahgunaan kekuasaan; Ketidak bersediaan negara maju untuk membantu upaya pengembalian asset; Lemahnya kerja sama antarinstitusi terkait pengembalian aset; Lemahnya kemauan politik dan komitmen pemerintah.Kata Kunci : Kejahatan Ganda, Pengembalian Aset, Kejahata
Implementasi Pasal 2 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya
Perlindungan hukum bagi pemilik lahan yang dikuasai oleh orang lain yaitu dalam rangka
mewujudkan kepastian hukum, maka berdasarkan ketentuan pasal 19 undang-undang pokok agraria,
negara membuat pranata hukum yaitu berupa penyelenggaraan pendaftaran tanah yang teknis
pelaksanaannya diatur dalam peraturan pemerintah nomor 24 tahun 1997. Pendaftaran tanah
tersebut bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang
hak atas tanah. Penerapan hukum bagi warga yang menggunakan lahan tanpa izin yang berhak atau
kuasanya adalah dengan upaya penyelesaian perkara-perkara yang timbul akibat pelaksanaan
penguasaan tanah/lahan (landreform) dibentuklah pengadilan landreform berdasarkan undang-
undang nomor 1 tahun 1964. Tetapi kenyataannya pengadilan ini tidak dapat bekerja secara efektif,
berdasarkan undang-undang nomor 7 tahun 1970 pengadilan landreform ini dihapus. Apabila terjadi
sengketa yang berkenaan dengan landreform, maka penyelesaiannya dilakukan melalui:
1. Peradilan umum, berdasarkan undang-undang nomor 14 tahun 1970 apabila sengketa itu bersifat perdata dan pidana.
2. Aparat pelaksanaan landrefotm apabila mengenai sengketa administrasi. Dan ancaman pidana
kurungan yang dapat diterapkan terdapat pada pasal 6 ayat (1) peraturan pemerintah pengganti
undang-undang nomor 51 tahun 1960.
Kata Kunci: Larangan Pemakaian Tanah Tanpa lzin Yang Berhak
Abstract:
Legal protection for owners of land held by others that in order to achieve legal certainty, then
under the provisions of Article 19 of the basic agrarian law, the state made a legal order that is the
organization of the technical implementation of land registration stipulated in Government
Regulation No. 24 of 1997. the land registry aims to provide legal ertainty and legal protection to
rights holders on the ground. Implementation of the law for the people who use the land without
their permission or their proxies are entitled to efforts to resolve the cases that arise from the
implementation of land tenure/land (land reform) landreform court established by law number 1 in
1964. But in fact this court can work effectively, based on law No. 7 1970 court reform is removed.
In the event of a dispute regarding the land reform, the settlement is done through:
1. The general Justice, based on Law No. 14 of 1970 when the dispute is civil and criminal
2. Apparatus if the implementation that can be applied contained in Article 6 paragraph (1) a
government regulation in lieu of law number 51 of 1960
Daftar Pustaka
Buku-buku:
A.P Parlindungan, 2009, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Bandung, Alumni.
H.M Arba, 2015, Hukum Agraria Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika.
Irawan Soerodjo, 2014, Hukum Pertahan Hak Pengelolaan Atas Tanah (HPL), Yogyakarta,
Laksbang Mediatama.
J. Andy Hartanto, 2013, Hukum Pertanahan Karakteristik Jual Beli Tanah yang Belum Terdaftar
Hak Atas Tanahnya, Surabaya, Laksbang Justitia.
Philippus M. Hadjon, 1986, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Surabaya, Bina Ilmu.
Soedikno Mertokusumo, 1998, Hukum Dan Politik Agraria, Jakarta, Karunika-Universitas Terbuka.
Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta, Liberty.
Undang-undang
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 Tentang Larangan
Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya
Legal Protection for Women Victims of Domestic Violence Due to Social-Media
The social media platform has assumed its role as a driver of innovation and revitalization. In addition to the role it plays in the transformation of information, social media also plays an important strategic role because it can serve as a means of communication between individuals and communities. However, the expansion of information and communication technology has also resulted in a negative impact, which can be seen in the rise of social media. The occurrence of domestic violence is one type of effect that has a negative effect (KDRT). The husband's jealousy if his wife uses social media against the opposite sex is one example of a form of domestic violence that social media can cause. Other examples include accessing social media accounts with the intent of stalking or spying on his wife, intimidating her, and other similar behaviors. Currently, the form of legal protection for women who commit acts of domestic violence is governed by the Criminal Code (KUHP), beginning with Article 351 and ending with Article 356; Article 6, Article 16 concerning protection; and Article 44 concerning criminal sanctions in Law No. 23 of 2004 regarding the Elimination of Domestic Violence. Law No. 23 of 2004 concerning the Elimination of Domestic Violence contains these provisions. The parameters for eliminating domestic violence are based on the law's adherence to four guiding principles: a) respect for human rights, b) gender justice and equality, c) non-discrimination, and d) victim protection. In the interim, these laws outline the forms of legal protection available to women who have been victims of domestic violence: (1) provision of temporary protection; (2) determination of the protection order by the court; (3) provision of a Special Service Room (RPK) at the police office; (4) provision of safe houses or alternative residences; and (5) provision of legal consultation by advocates for victims at the investigative level
Pekerja Anak, Upaya Implementasi Konvensi Hak Anak di Indonesia, Faktor Penyebab dan Metode Pencegahannya
Faktor-faktor yang menyebabkan anak Indonesia terutama yang tinggal di kota Palembang terkategori
anak jalanan, pengemis dan gelandangan adalah disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
a. anak jalanan, pengemis dan gelandangan mempunyai kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan, mempunyai
cacat tubuh sehingga mcmpersulit mencari pekerjaan, dan mempermudah bagi mereka untuk mendapatkan
pekerjaan sebagai pengemis. karena rasa iba orang lain akan memperbanyak pendapatan mereka. Sedangkan
gambaran anak jalanan latar belakang pendidikanya rendah. kondisi ekonomi keluarga pas-pasan, berusia
sekolah tetapi mereka lebih tertarik untuk berada di jalanan dan bekerja sebagai gelandangan dan pengemis,
karena tidak diikat oleh peraturan, latar belakang pendiidikan relatif rendah (ada yang sedang sekolah
dasar/menengah pertama). Latar belakang sosial, budaya dan ekonomi yang mendorong dan menarik untuk
tetap bertahan menjadi anak jalanan dan pengemis dapat dikatagorikan menjadi dua yaitu Faktor besar pendapatan
yang dapat diperoleh dan pengemis merupakan pekerjaan yang mudah. Jaringan hubungan yang ditemukan diantara
para pengemis dan anak jalanan tidak terjadi secara formal dalam organisasi yang permanen, tetapi dilakukan
secara informal dan spontan. Oleh karena itu, pada dasarnya tidak terdapat jaringan dalam arti yang sesungguhnya,
yang ada hubungan antar pengemis atau anak jalanan dalam melaksanakan pekerjaan. Aktor-aktor yang terlibat
dalam hubungan tersebut adalah anak-anak, orangtua, saudara, teman. Hubungan-hubungan yang terbentuk
dalam kumpulan dapat bersifat saling memanfaatkan, koordinatif-ekspioitasi, dan koordinatif-kerjasama. Alternatif
model penanganan anak jalanan mengarah kepada 3 jenis model yaitu family base, institutional base dan multi-system
base. Untuk menanggulangi anak Indonesia terutama yang berada di kota Palembang tidak akan menjadi anak jalanan.
pengemis dan Gelandangan dapat juga dilakukan dengan cara menerapkan model Street-centered intervention, Family-
centered intervention, Institutional-centered intervention, dan Community-centered intervention.
Kata Kunci: Implementasi, Hak Anak
Abstract:
Factors that led to Indonesian children who live ini the city of palembang categorized street
children, beggars and bums are caused by things as follows: a. Street children, beggars and
homeless families have economic conditions that mediocre,,, have a disability which makes it
difficult finding a job, and make it easier for them to get a job as a beggar, because the compassion
of others will increase their income. While the picture of street children background pendidikanya low,
the economic conditions of families mediocre, old school but they are more interested in being
on the streets and working as geandangan and beggars, because it is not bound by regulations,
educational background is relatively low (there being primary shool/secondary). social
background, cultural and economic push and pull to survive become street children and beggars
can be categorized into two major factors yaitu revenue that can be obtained and begging an easy
job. Network of relationships found between beggars and street children do not occur formally
within the organization permanently, but done informallu and spontaneously. Therefore, basically
there is no network in the real sense, that there is a relationship betwen beggars or street children
in carrying out the work. Actors involved in the relationship are children, parents, relatives, friends.
Relationships are formed in the collection can mutually exploit, coordinative-exploitation,
and coordinative-cooperation. Alternative models of handling street children leads to three types of
models of family base, institutional base and multi-system base. To cope with the children of
Indonesia, especially in the city of Palembang ankan not become street children, beggars and
homeless could also be done by applying the model of Street-centered intervention, Family-centered
intervention, Institutional-centered intervention, and community-centered intervention.
Daftar Pustaka
Penulis adalah Dosen Tetap pada Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang
Afrizal, "A Study of Matrilineal Kin Relation in Cotemporary Minangkabau Society of West
Sumatera", Tesis Master of Art, Tasmania University , 1996.
Farid Mohammad,. "Pekerja Anak, Upaya Implementasi Konvensi Hak Anak di Indonesia dan
Konvensi ILO (no.l38)", Jurnal Analisis Sosial, Edisi 5 Juli 1997, Akatiga dan UNICEF,
Jakarta, 1997.
Hanandini, Dwiyanti, dkk., "Tindak Kekerasan dan Pelecehan Seksual terhadap Anak Jalanan",
Laporan Penelitian, Dana HEDS, 2004.
Hanandini, Dwiyanti, dkk, Perlindungan Anak Jalanan dari Tindak Kekerasan dan pelecehan
Seksual, Laporan penelitian, Dana HEDS, 2005.
Parsons et.al dalam Pramono, Wahyu, Pekerja Anak Sektor Informal Di Terminal Bus dan
Angkutan Kota Kotamadya Padang, Laporan Penelitian (tidak diterbitkan), Lembaga
Penelitian Universitas Andalas, padang, 2000.
Suharto, Edi, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, Kajian Strategis pembangunan
Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial,PT. Refika Aditama, Bandung, 2005.
Soetomo. Masalah sosial dan pembangunan, PT. Dunia pustaka Jaya, Jakarta, 1995.
Utomo, Suwarno. 1996. "Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Kerja Anak Usia Sekolah
di Sektor Informal di Kotamadya Bengkulu" Tenaga Kerja Anak Indonesia: Rangkuman dan
Sari Literatur, PDII-LIIP dan UNICEF, Jakarta.
Wiyoga, Giwo Rubiyanto, dalam "Anak Jalanan Juga Anak Bangsa", http:// www.jurnalnasional.com/
diakses tanggal 01 November 2015
http://www.hupelita.com), diakses tanggal 01 November 2015
http://www.antara-sumbar.com, diakscs tgl 12-8-2009, diakses pada tanggal 01 November 201