6 research outputs found

    The Role of Giving High Dose Calcium for Preventing Preeclampsia: Peran Pemberian Kalsium Dosis Tinggi untuk MencegahTerjadinya Preeklamsia

    Get PDF
    AbstractObjective: Knowing the effectiveness of high doses of calcium in preventing preeclampsia.Methods: Experimental analytical study with Randomized Controlled design Single-blind trial in the form of survival analysis (survival analysis) in the period June 2018 - May 2019 in fetomaternal outpatients clinic in Mohammad Hoesin Hospital, PalembangResults: The mean hemoglobin level at the last visit found that the average hemoglobin level between the two groups was 12.81 in the high calcium group and 12.61 in the low calcium group, while the mean hematocrit level between the two groups was 35.17 in the high calcium group and 34.84 in the low calcium group and the respective calcium levels each group is 10.1. In this study, after high calcium intervention, no pregnant women with preeclampsia were found, whereas in the low-dose calcium intervention group it was found that 3 of 17 patients (17.7%) had preeclampsia. With the McNemar test it was found that there was no difference in the incidence of preeclampsia both after highdose calcium and low-dose calcium interventions (p = 0.250).Conclusions: High-dose calcium (1.5g - 2g) is effective in preventing preeclampsia and there was no difference in effectiveness between administration of high-dose calcium with low-dose calcium administration to the incidence of preeclampsia.Keywords: high dose calcium, preeclampsia, randomized control trial. AbstrakTujuan: Mengetahui efektivitas pemberian kalsium dosis tinggi dalam mencegah preeklamsia.Metode: Penelitian analitik eksperimental dengan desain randomized controlled trial single blind dalam bentuk ujian alias kesintasan (survival analysis) dalam kurun waktu Juni 2018 – Mei 2019 di Poliklinik Fetomaternal Rumah Sakit Umum Pendidikan Mohammad Hoesin, PalembangHasil: Rerata kadar hemoglobin pada kunjungan terakhir didapatkan rerata kadar hemoglobin antara kedua kelompok adalah 12,81 pada kelompok kalsium tinggi dan 12,61 pada kelompok kalsium rendah, sedangkan rerata kadar hematokrit antara kedua kelompok adalah 35,17 pada kelompok kalsium tinggi dan 34,84 pada kelompok kalsium rendah dan rerata kadar kalsium masing-masing kelompok adalah 10,1. Pada penelitian ini setelah intervensi kalsium tinggi tidak ditemukan ibu hamil yang mengalami preeklamsia, sedangkan pada kelompok intervensi kalsium dosis rendah ditemukan 3 dari 17 pasien (17,7%) menderita preeklamsia. Dengan uji Mc Nemar didapatkan hasil tidak terdapat perbedaan kejadian preeklamsia baik setelah intervensi kalsium dosis tinggi maupun kalsium dosis rendah (p = 0,250). Hal ini berarti kalsium dosis tinggi dan rendahefektif untuk mencegah preeklamsia.Kesimpulan: Kalsium dosis tinggi (1,5g – 2g) efektif dalam mencegah preeklamsia dan tidak ditemukan perbedaan efektivitas antara pemberian kalsium dosis tinggi dengan pemberian kalsium dosis rendah terhadap kejadian preeklamsia.Kata kunci: kalsium dosis tinggi, preeklamsia, randomized control trial

    The Association between Preeclampsia and Newborn Hearing Loss: Hubungan antara Preeklamsia dengan Penurunan Pendengaran pada Bayi Baru Lahir

    Get PDF
    Objective: to analyze the relationship between PE and the newborn hearing loss  Method : Analytic observation research withcross sectionaldesign performed inRSMHPalembangsince December 2016 to July 2017, obtained 48 aterm neonates born from mother diagnosed with PE (11 PE and 37 severe PE). Measurements of neonatal hearing loss then performed using emission otoacoustics (OAE) in both ears by ENT division with catagories intepretation of pass and refer. The mothers were physically check and interviewed to obtain demographic data and obstetric history. After the data normality were proved byShapiro Wilktest, we performed bivariate analysis using X2test on demographic and obstetric characteristics of the mother, neonatal demographic characteristics, and determine the relationship of PE with OAE result. The ratio of systolic (SBP) and diastolic (DBP) blood pressure to neonatal hearing loss was determined by independent T test and ROC test. Multivariate analysis was performed to determine the maternal and neonatal risk factors that influenced neonatal hearing loss. Data analysis using SPSS version 18.0.  Results : There were no significant differences in maternal and neonatal demographic characteristics in neonatal hearing loss (p> 0.05). No significant relationship was found between PE and OAE of both ear (right, p = 0,437; left, p = 0,368). There was difference of mean of SBP and DBP of mother inneonate OAE of both ears (p <0,05) with cut off point of SBP 160 mmHg and DBP 106 mmHg.There was a significant association between DBP (> 106 mmHg) of the mother and birth weight of the fetus (< 2500 g) with referOAE.     Conclusion: There was a significant association between neonatal hearing loss and maternal PE, determined primarily by maternal DBP, and neonatal birth weight. Keywords: maternal blood pressure, OAE,preeclampsia,   Abstrak Tujuan: untuk menilai hubungan PE ibu dengan penurunan pendengarah bayyi baru lahir Metode: Penelitian observasi analitik dengan disain cross sectionaldilakukan di RSMH Palembang sejak Desember 2016 sampai Juli 2017, diperoleh 48 neonatus aterm lahir dari ibu PE (11 PER dan 37 PEB). Neonatus dilakukan pengukuran pendengaran menggunakan otoakustik emisi (OAE) pada kedua telinga oleh divisi THT dengan kategori intepretasi refer dan pass. Ibu dilakukan pemeriksaan dan wawancara untuk memperoleh data demografi dan riwayat obstetri. Setelah normalitas data dibuktikan dengan tes Saphiro Wilk, dilakukan analisis bivariat menggunakan tes X2 pada karakteristik demografi dan obstetri Ibu, karakteristik demografi neonatus, dan menentukan hubungan preeklampsia dengan hasil OAE. Perbandingan tekanan darah sistolik (TDS) dan diastolik (TDD) terhadap penurunan pendengaran neonatus ditentukan dengan independent T test dan uji ROC. Analisis multivariat dilakukan untuk menentukan faktor risiko Ibu maupun neonatus yang berpengaruh terhadap penurunan pendengaran neonatus. Analisa data menggunakan SPSS versi 18.0. Hasil: Tidak ditemukan perbedaan signifikan karakteristik demografi Ibu maupun neonatus tehadap penurunan pendengaran neonatus (p>0,05). Tidak ditemukan hubungan signfikan antara kondisi PE dengan OAE kanan (p = 0,437) dan kiri (p = 0,368). Ditemukan perbedaan rerata TDS dan TDD ibu terhadap OAE kedua telinga neonatus (p<0,05) dengan cut off point TDS 160 mmHg dan TDD 106 mmHg. Ditemukan hubungan signifikan antara TDD (>106 mmHg) ibu dan berat lahir janin (>2500 gr) dengan OAE refer. Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara penurunan pendengaran neonatus dengan kondisi preeklampsia ibu, yang ditentukan terutama oleh TDD ibu, serta berat lahir bayi. Kata kunci:, OAE, preeklamsia, tekanan dara

    Pencegahan Abortus pada Awal Kehamilan

    No full text
    Abortus merupakan suatu kejadian terminasi kehamilan dengan usia kehamilan <20 minggu dan berat janin <500 g. Angka kejadian abortus disebutkan sekitar 15% dari seluruh kehamilan. Terdapat beberapa faktor risiko abortus yaitu faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi. Beberapa faktor risiko yang dapat dimodifikasi yaitu faktor nutrisi, konsumsi kafein, alkohol, kebiasaan merokok, infeksi, paparan radiasi, beban kerja, dan pengaruh obat-obatan. Beberapa faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, yaitu genetik, kelainan kongenital, dan lain-lain. Dengan mengetahui faktor risiko tersebut, dokter dapat melakukan pencegahan dan intervensi yang sesuai dengan kondisi masing-masing pasien yang mengalami abortus. Metode yang digunakan adalah tinjauan pustaka dengan menggunakan beberapa database seperti Pubmed, Wiley Online Library, dan ScienceDirect dari 10 tahun terakhir.Prevention of Miscarriage in Early PregnancyAbstractMiscarriage is an event of termination of pregnancy with < 20 weeks of gestation and fetal weight < 500 grams. The incidence of miscarriage is around 15% of all pregnancies. There are several risk factors for miscarriage, namely modifiable and non-modifiable risk factors. Some modifiable risk factors are nutritional factors, consumption of caffeine, alcohol, smoking habit, infection, radiation exposure, workload, and the influence of drugs. Several risk factors that can not be modified, namely genetics, congenital abnormalities, and others. By knowing these risk factors, doctors can carry out prevention and intervention according to the conditions of each patient who undergoes miscarriage. The method used is a literature review using several databases such as Pubmed, Wiley Online Library, and ScienceDirect from the last 10 years.Key words: miscarriage, prevention, risk factors, pregnancy.Abortus merupakan suatu kejadian terminasi kehamilan dengan usia kehamilan <20 minggu dan berat janin <500 g. Angka kejadian abortus disebutkan sekitar 15% dari seluruh kehamilan. Terdapat beberapa faktor risiko abortus yaitu faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi. Beberapa faktor risiko yang dapat dimodifikasi yaitu faktor nutrisi, konsumsi kafein, alkohol, kebiasaan merokok, infeksi, paparan radiasi, beban kerja, dan pengaruh obat-obatan. Beberapa faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi, yaitu genetik, kelainan kongenital, dan lain-lain. Dengan mengetahui faktor risiko tersebut, dokter dapat melakukan pencegahan dan intervensi yang sesuai dengan kondisi masing-masing pasien yang mengalami abortus. Metode yang digunakan adalah tinjauan pustaka dengan menggunakan beberapa database seperti Pubmed, Wiley Online Library, dan ScienceDirect dari 10 tahun terakhir.Prevention of Miscarriage in Early PregnancyAbstractMiscarriage is an event of termination of pregnancy with <20 weeks of gestation and fetal weight <500 grams. The incidence of miscarriage is around 15% of all pregnancies. There are several risk factors for miscarriage, namely modifiable and non-modifiable risk factors. Some modifiable risk factors are nutritional factors, consumption of caffeine, alcohol, smoking habit, infection, radiation exposure, workload, and the influence of drugs. Several risk factors that can not be modified, namely genetics, congenital abnormalities, and others. By knowing these risk factors, doctors can carry out prevention and intervention according to the conditions of each patient who undergoes miscarriage. The method used is a literature review using several databases such as Pubmed, Wiley Online Library, and ScienceDirect from the last 10 years.Key words: miscarriage, prevention, risk factors, pregnancy

    Update Manajemen Preeklamsia dengan Komplikasi Berat (Eklamsia, Edema Paru, Sindrom HELLP)

    No full text
    Tujuan: Seiring dengan bertambahnya insidensi preeklamsia dengan komplikasi berat, manajemen yang adekuat diperlukan. Penulisan artikel ini bertujuan untuk memaparkan update manajemen preeklamsia dengan komplikasi berat (eklamsia, edema paru, dan sindrom HELLP).Metode: Tinjauan pustaka (literature review) dengan menggunakan 15 referensi antara tahun 2011–2020.Hasil: Manajemen preeklamsia dengan komplikasi berat membutuhkan pendekatan multidisiplin, medikamentosa (kalsium 1,5–2 gram/hari; aspirin dosis rendah 75–150 mg/hari; MgSO4 dengan dosis awal 4–6 gram IV dan pemeliharaan 1-2 gram/jam hingga 24 jam pascasalin; kortikosteroid; antihipertensi seperti labetalol, hidralazin, nifedipin, natrium nitroprusside, nitrogliserin), dan non-medikamentosa (olahraga, pembatasan cairan). Sementara itu, prinsip penanganan awal eklamsia, yaitu D (Dangers) – R (Response) – S (Send for Help) – A (Airway) – B (Breathing) – C (Compressions) – D (Defibrillation). Adapun manajemen obstetri pada kasus preeklamsia dengan gejala berat, yaitu manajemen ekspektatif dan persalinan (spontan ataupun seksio sesaria).Kesimpulan: Tatalaksana yang cepat dan tepat pada kasus preeklamsia dengan komplikasi berat sangat diperlukan untuk mengurangi morbiditas pada ibu dan janin. Manajemen kasus preeklamsia dengan gejala berat berupa manajemen ekspektatif dan persalinan (spontan ataupun seksio sesaria).Update on Management of Preeclampsia with Severe Features (Eclampsia, Pulmonary Edema, HELLP Syndrome)AbstractObjective: As the incidence of preeclampsia with severe features increases, adequate management is required. The purpose of this review is to present an update on the management of preeclampsia with severe features (eclampsia, pulmonary edema, and HELLP syndrome).Method: Literature review using 15 references between 2011–2020.Results: Management of preeclampsia with severe features requires a multidisciplinary, medical approach (calcium 1.5–2 g/day; low-dose aspirin 75–150 mg/day; magnesium sulfate at an initial dose of 4–6 g IV and maintenance 1-2 g/hour to 24 hours postpartum; corticosteroids; antihypertensives such as labetalol, hydralazine, nifedipine, sodium nitroprusside, nitroglycerin) and non-medical (exercise, fluid restriction). Meanwhile, the principles of early management of eclampsia, namely D (Dangers) – R (Response) – S (Send for Help) – A (Airway) – B (Breathing) – C (Compressions) – D (Defibrillation). The obstetric management in cases of preeclampsia with severe features is expectant management and delivery (spontaneous or cesarean section).Conclusion: Prompt and appropriate management of cases of preeclampsia with severe features is needed to reduce maternal and fetal morbidity. Management of preeclampsia cases with severe features is expectant management and delivery (spontaneous or cesarean section).Key words: preeclampsia, eclampsia, HELLP syndrome, severe

    Kehamilan pada Skar Seksio Sesaria

    No full text
    Tujuan: Memaparkan klasifikasi, faktor risiko, epidemiologi, cara diagnosis, tatalaksana, dan komplikasi kehamilan pada skar seksio sesareaMetode: Tinjauan pustakaKesimpulan: Kehamilan pada skar SC merupakan kehamilan yang kantung kehamilannya terdapat pada miometrium yang menipis akibat SC sebelumnya. Secara umum, kehamilan pada skar Caesarean Scar Pregnancy (CSP) dapat dibedakan menjadi 2 tipe, yaitu tipe 1 (endogenik) dan tipe 2 (eksogenik). Kejadiannya berkisar antara 1 per 8.000 dan 1 per 2.500 SC dengan risiko rekurensi 3,2-5,0% pada wanita dengan riwayat SC 1 kali yang ditatalaksana dengan dilatasi dan kuretase dengan atau tanpa embolisasi arteri uterina. Adapun faktor risiko CSP adalah tebal Segmen Bawah Rahim (SBR) <5 mm, kantong kehamilan menonjol ke plika vesikouterina, SC di rumah sakit umum daerah, dan riwayat perdarahan melalui vagina ireguler dan nyeri abdomen selama CSP sebelumnya. Pengobatan CSP dapat secara konservatif dengan metotreksat (MTX) maupun operatif termasuk eksisi jaringan kehamilan dengan laparoskopi, histerotomi, atau histerektomi. Pilihan pengobatan lain termasuk dilatasi dan kuretase, reseksi transervikal (TCR) dengan histeroskopi, embolisasi arteri uterina (UEA), kemoembolisasi arteri uterina, atau penempatan kateter balon ganda.Caesarean Scar PregnancyAbstractObjective: To explain about classification, risk factors, epidemiology, diagnostic methods, management, and complications of Caesarean Scar Pregnancy (CSP).Method: Literature review Conclusion: CSP is a pregnancy where the gestational sac is found in the thin myometrium due to previous CS. In general, Caesarean Scar Pregnancy (CSP) can be divided into 2 types, namely type 1 (endogenic) and type 2 (exogenic). Its incidence ranges from 1 per 8,000 and 1 per 2,500 SC with a recurrence risk of 3.2-5.0% in women with a history of 1 time CS who are treated with dilatation and curettage with or without uterine artery embolization. The risk factors for CSP are lower uterine segment thickness <5 mm, gestational sac pouches protruding into the vesicouterine fold, CS in regional public hospitals, and a history of irregular vaginal bleeding and abdominal pain during previous CSP. Caesarean scar pregnancy treatment can be conservative with methotrexate (MTX) or operatively including excision of pregnancy tissue with laparoscopy, hysterotomy, or hysterectomy. Other treatment options include dilatation and curettage, transcervical resection (TCR) with hysteroscopy, uterine artery embolization (UAE), chemoembolization of the uterine arteries, or placement of a double-balloon catheter.Key words: Caesarean scar pregnanc

    Preeklamsia Pascasalin

    No full text
    AbstrakTujuan: Memaparkan etiologi dan faktor risiko, diagnosis banding, patofisiologi, pemantauan, terapi, komplikasi, rekurensi dan tindakan preventif pada kasus preeklamsia pascasalin.Metode: Tinjauan pustaka dengan berbagai referensi yang diakses melalui mesin pencarian seperti Pubmed dan Sci-Hub dengan menggunakan kata kunci preeclampsia, hypertension, postpartum, management. Sumber referensi yang digunakan yaitu guidelines, jurnal, dan buku teks yang diterbitkan dalam 15 tahun terakhir.Kesimpulan: Insiden preeklamsia di Indonesia yaitu 128.273/tahun atau sekitar 5,3%. Sebanyak 0,3 – 27,5% kasus yang dilaporkan mengalami preeklamsia atau hipertensi pascasalin. Gejala-gejala preeklamsia pascasalin muncul setelah melahirkan. Mayoritas kasus berkembang dalam 48 jam setelah persalinan, walaupun sindrom dapat muncul hingga 6 minggu setelah persalinan. Periode pascasalin merupakan waktu kritis bagi spesialis obstetri dan ginekologi untuk menjamin wanita dengan riwayat preeklamsia untuk dipantau dalam jangka waktu pendek dan panjang. Akan tetapi, pemantauan pascasalin sangatlah rendah, berkisar antara 20-60%. Pemilihan antihipertensi pasca salin yaitu berikatan kuat dengan protein dan solubilitas lipid yang rendah sehingga lebih sedikit yang masuk ke ASI. Selain itu, dipengaruhi juga oleh ionisasi, berat molekul dan konstituen ASI (kandungan lemak, protein, dan air). Agen lini pertama untuk preeklamsia pascasalin adalah labetalol dan hidralazin intravena serta nifedipin. Wanita dengan hipertensi gestasional ataupun preeklamsia biasanya dapat menghentikan antihipertensi dalam 6 minggu pasca salin.Postpartum PreeclampsiaAbstractObjective: To explain about etiologies and risk factors, differential diagnosis, pathophysiology, follow up, treatment, complications, recurrence, and prevention of preeclampsia post delivery discharged.Method: Literature review with several references accessed through search engines such as Pubmed and Sci-Hub by using keywords preeclampsia, hypertension, postpartum, management. Reference sources used are guidelines, journals, and textbooks published in the last 15 years.Conclusion: The incidence of preeclampsia in Indonesia is 128,273/year or around 5.3%. As many as 0.3-27.5% of cases reported postpartum preeclampsia or hypertension. Symptoms of postpartum preeclampsia appear after delivery. The majority of cases develop within 48 hours after delivery, although the syndrome can appear up to 6 weeks after delivery. The postpartum period is a critical time for obstetricians and gynecologists to ensure women with a history of preeclampsia are monitored in the short and long term. However, postpartum monitoring is very low, ranging from 20-60%. The choice of antihypertensive postpartum is that it is strongly bound to protein with low lipid solubility so that fewer enter breast milk. In addition, it is also influenced by ionization, molecular weight and constituents of breast milk (fat content, protein, and water). The first line agent for postpartum preeclampsia is intravenous labetolol and hydralazine and also nifedipine. Women with gestational hypertension or preeclampsia can usually stop antihypertension within 6 weeks postpartum.Key word: postpartum preeclampsia, antihypertensio
    corecore