2 research outputs found

    Population Estimate of Long-Tailed Macaques (Macaca fascicularis) on Tinjil Island

    Get PDF
    Tinjil Island was established as a Natural Habitat Breeding Facility for long-tailed macaques (Macaca fascicularis) in 1997. Between February 1998 and January 2007, 603 (61 males and 542 females) simian retrovirus (SRV) free long-tailed macaques were introduced to the island on the south coast of West Java and function as a primate resource and conservation program. To date, 3256 progenies have been harvested and used as the animal model. Therefore, it is necessary to survey the current population of the long-tailed macaques to evaluate whether the population is still under the island’s carrying capacity. This research aims to identify the population estimate of long-tailed macaques currently occupying the island. The observation was conducted in July 2021 using line transect sampling starting from 07.00 AM and 01.00 PM. Twelve observations were conducted during the study using CD and ES transects. CD (Chuck Darsono) and ES (Emil Salim) are the two longest trails on the island and represent the names of the people who initiated the captive breeding of Tinjil Island. The estimated group density of the long-tailed macaques on Tinjil Island is 13.46 groups/km2, while the estimated population density is 111.04 individuals/km2. The population estimated on the island is 627.38±23.53 individuals. The number indicates that the population is still under carrying capacity

    Pola Penggunaan Anti Mikrob pada Peternakan Mandiri Ayam Broiler di Kabupaten Bogor

    Get PDF
    Penggunaan anti mikrob dapat menyebabkan terjadinya resistansi anti mikrob baik di sektor peternakan maupun dalam hal kesehatan manusia. Studi ini bertujuan untuk mengetahui gambaran dan mengukur frekuensi pemberian anti mikrob di peternakan ayam broiler dan melihat hubungan penggunaan anti mikrob dengan tingkat kematian. Studi dilakukan tahun 2019-2022, di 19 peternakan ayam broiler mandiri di Kabupaten Bogor dengan total pengamatan 89 periode produksi. Data yang dikumpulkan yaitu jenis anti mikrob dan frekuensi pemberian kemudian dianalisis menggunakan perhitungan used daily dose (UDD) dan treatment frequency (TF). Hubungan penggunaan anti mikrob dengan tingkat kematian dianalisis menggunakan regresi linear. Pemberian antibotik di peternakan berdasarkan saran dari pemilik (15,8%), technical service/TS (36,8%) dan petugas penyuluh lapang/PPL (47,4%). Diantaranya hanya 1 orang yang merupakan dokter hewan (5,3%). Rata-rata frekuensi pemberian anti mikrob dalam sehari (TFUDD) di peternakan adalah 10,5 kali. Dari semua anti mikrob yang digunakan 60,5% termasuk dalam kategori prioritas paling tinggi untuk anti mikrob yang sangat penting bagi manusia (HPCIA). Tujuan pemberian anti mikrob mayoritas untuk pencegahan (82,7%) dan frekuensi pemberian paling banyak pada minggu pertama untuk menekan tingkat kematian. Tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara frekuensi pemberian anti mikrob dan tingkat kematian pada minggu pertama periode produksi (p>0,05). Penggunaan anti mikrob sebagian besar dilakukan tanpa konsultasi dengan dokter hewan. Frekuensi pemberian anti mikrob sebagian besar dari kategori HPCIA dan tujuan penggunaannya untuk pencegahan. Tinggi atau rendahnya frekuensi pemberian anti mikrob pada minggu pertama tidak berhubungan dengan penurunan tingkat kematian.Penggunaan anti mikrob dapat menyebabkan terjadinya resistansi anti mikrob baik di sektor peternakan maupun dalam hal kesehatan manusia. Studi ini bertujuan untuk mengetahui gambaran dan mengukur frekuensi pemberian anti mikrob di peternakan ayam broiler dan melihat hubungan penggunaan anti mikrob dengan tingkat kematian. Studi dilakukan tahun 2019-2022, di 19 peternakan ayam broiler mandiri di Kabupaten Bogor dengan total pengamatan 89 periode produksi. Data yang dikumpulkan yaitu jenis anti mikrob dan frekuensi pemberian kemudian dianalisis menggunakan perhitungan used daily dose (UDD) dan treatment frequency (TF). Hubungan penggunaan anti mikrob dengan tingkat kematian dianalisis menggunakan regresi linear. Pemberian antibotik di peternakan berdasarkan saran dari pemilik (15,8%), technical service/TS (36,8%) dan petugas penyuluh lapang/PPL (47,4%). Diantaranya hanya 1 orang yang merupakan dokter hewan (5,3%). Rata-rata frekuensi pemberian anti mikrob dalam sehari (TFUDD) di peternakan adalah 10,5 kali. Dari semua anti mikrob yang digunakan 60,5% termasuk dalam kategori prioritas paling tinggi untuk anti mikrob yang sangat penting bagi manusia (HPCIA). Tujuan pemberian anti mikrob mayoritas untuk pencegahan (82,7%) dan frekuensi pemberian paling banyak pada minggu pertama untuk menekan tingkat kematian. Tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara frekuensi pemberian anti mikrob dan tingkat kematian pada minggu pertama periode produksi (p>0,05). Penggunaan anti mikrob sebagian besar dilakukan tanpa konsultasi dengan dokter hewan. Frekuensi pemberian anti mikrob sebagian besar dari kategori HPCIA dan tujuan penggunaannya untuk pencegahan. Tinggi atau rendahnya frekuensi pemberian anti mikrob pada minggu pertama tidak berhubungan dengan penurunan tingkat kematian
    corecore