47 research outputs found
FERMENTASI LIMBAH BUAH NANAS DENGAN SACHAROMYCES CEREVECEAE MENGGUNAKAN PROSES HIDROLISIS
Fermentasi limbah buah nanas melalui proses hidrolosis dapat menghasilkan alkohol dan hasil sampingnya berupa ampas yang masih bisa dimanfaatkan sebagai makanan ternak. Alkohol yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan senyawa organik antara lain seperti asam asetat, sebagai pelarut pembuat pernis, minyak wangi, spritus, dan sebagai bahan bakar menurut teori melalui proses hidrolisis yang tepat dan mengusahakan agar fermentasi berlangsung pada hidrolisis yang optimal akan menaikkan kadar alkohol. Tujuan dari penelitian ini untuk mempelajari limbah buah nanas melalui proses hidrolisis dengan bantuan ragi Sacharomyces cereveceae . Dari hasil penelitian, pembuatan alkohol dapat dilakukan dengan fermentasi limbah buah nanas melalui proses hidrolisis dengan menggunakan ragi Sacharomyces cereveceae. Pada penelitian ini produksi CO2 yang terbanyak terjadi pada percobaan dengan volume media fermentasi 300 ml dan dalam penambahan starter 8% (v/v) suhu 27 dan pH 4,0, sedangkan kadar alkohol relatif optimum diperoleh pada waktu 11 jam, suhu 27 dan pH 4,0 sebesar 3,7% berat dengan konversi 82,92%
PENGARUH WAKTU PADA DELIGNIFIKASI AMPAS TEBU MENJADI PULP TERHADAP PERSENTASE RENDEMEN DENGAN PROSES BLEACHING HIDROGEN PEROKSIDA (H2O2)
 Proses pembuatan songket melalui beberapa tahapan yaitu salah satunya pencelupan benang dalam zat warna. Namun hingga saat ini banyak pelaku industri yang belum memahami cara pengolahan limbah yang tepat sebelum dilepas ke lingkungan .Oleh karena itu , perlu adanya usaha untuk mengurangi kandungan berbahaya dari limbah dengan metode adsorpsi menggunakan karbon aktif. Karbon aktif digunakan sebagai adsorben karena mudah prosesnya dan bahan baku mudah didapatkan seperti ampas tebu, cangkang buah karet dan kulit pisang. Pembuatan karbon aktif dilakukan dengan cara karbonisasi selama 1 jam, dimana selanjutnya diaktivasi menggunakan KOH dan H3PO4 , dengan variasi waktu aktivasi yang digunakan yaitu dengan lama perendaman 6, 12, 18, 24, dan 30 jam. Setelah proses aktivasi karbon aktif dengan aktivator yang berbeda, dilakukan perendaman karbon aktif dengan limbah cair selama 24 jam. Analisis kandungan limbah sebelumnya dilakukan dengan menggunakan alat spektrofotometer dan manometer . Proses adsorbsi limbah dengan penambahan adsorben karbon aktif menunjukkan penurunan sebesar 74,23% untuk COD dan 59,2% untuk BOD. Dimana kandungan akhir COD yaitu sebesar 142,21 mg/L dan BOD sebesar 60,37 mg/L . Yang menyatakan bahwa hasil penelitian memenuhi standar muu PerMenLHK No 5 Tahun 2015 dengan batas maksimum COD 150 mg/L dan BOD 60 mg/L
LEACHING KALIUM DARI LIMBAH SABUT KELAPA DENGAN PELARUT AIR (KAJIAN PENGARUH VARIASI TEMPERATUR DAN WAKTU)
Indonesia merupakan salah satu penghasil dari sektor pertanian yang sangat melimpah sehingga terdapat banyak masalah limbah dari hasil pertanian. Pada penelitian ini dipelajari proses leaching kalium dari limbah sabut kelapa dengan menggunakan pelarut air. Kandungan kalium dalam serabut kelapa mengandung 30% serat yang kaya dengan unsur kalium, kandungan kalium pada sabut kelapa ini lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan phosphornya. Pada penelitian ini dilakukan proses Leaching kalium dari limbah sabut kelapa dengan pelarut air (kajian pengaruh variasi temperatur dan waktu). Sabut kelapa dibersihkan dan dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 110°C, kemudian dihancurkan dan diayak 50 mesh, lalu di bakar dengan furnace pada suhu 600 °C, 25 gram abu hasil ayakan dari abu limbah sabut kelapa tersebut diekstraksi dengan 125 ml pelarut air. Variasi temperatur yang digunakan yaitu 60, 70 dan 80 °C dan variasi waktu 50, 60 dan 70 menit. Kecepatan pengadukan sebesar 250 rpm . Hasil ekstraksi dipisahkan dengan kertas whatman no. 1 untuk memperoleh ekstrak kalium. Dari hasil penelitian ini persentase kalium tertinggi pada temperatur 80°C dan waktu 70 menit diperoleh nilai konsentrasi normalitas 1,53 N dan persentase kalium 21,54%
KAJIAN PENGARUH LAJU ALIR NaOH DAN WAKTU KONTAK TERHADAP ABSORPSI GAS CO2 MENGGUNAKAN ALAT ABSORBER TIPE SIEVE TRAY
Absorber merupakan salah satu peralatan yang digunakan di industri gas, perminyakan ataupun petrokimia terutama pada proses pemisahan gas-gas yang tidak diinginkan. Salah satu gas yang dianggap impuritis adalah CO2. Salah satu cara memisahkan gas CO2 dari campurannya yaitu dengan proses absorpsi menggunakan alat absorber. Jenis absorber yang digunakan adalah absorber tipe sieve tray dengan jenis aliran counter current. Laju alir gas CO2 yang digunakan sebesar 5 L/menit, 7 L/menit, 9 L/menit dan 11 L/menit dan laju alir udara sebesar 10 L/menit terhadap waktu kontak selama 5 menit, dengan laju alir NaOH sebesar 1 L/menit, 2 L/menit dan 3 L/menit. Proses absorpsi yang dilakukan dengan menggunakan absorben natrium hidroksida (NaOH) yang mampu menyerap gas CO2 dengan jumlah maksimum yang terserap sebesar 58,622% dan minimum 28,685%. Masing-masing pada kondisi operasi laju alir gas CO2 11 L/menit dan laju alir udara 10 L/menit terhadap laju alir NaOH 1 L/menit pada waktu kontak 5 menit, dan pada laju alir gas CO2 5 L/menit dan laju alir udara 10 L/menit terhadap laju alir NaOH 3 L/menit pada waktu kontak 5 menit
KAJIAN PENGARUH VARIASI PELARUT, KECEPATAN PENGADUKAN DAN WAKTU PADA PROSES EKSTRAKSI KALIUM DARI ABU KULIT BUAH SEMANGKA (CITRULLUS LANATUS)
Indonesia merupakan salah satu negara agraris, dimana penghasilan dari sektor pertanian yang sangat melimpah ruah,sehingga terdapat banyak masalah limbah dari hasil pertanian, salah satunya adalah limbah kulit buah semangka. Indonesia termasuk sepuluh negara terbesar penghasil limbah di dunia, sehingga limbah yang dihasilkan tersebut semakin hari semakin banyak dan mengganggu apabila tidak dimanfaatkan. Pada kulit buah semangka per 100 gram salah satunya mengandung kalium sebanyak 220 mg (Johnson et al, 2013). Kalium ini dapat digunakan sebagai sumber alkali untuk industri sabun, korek api, zat pemutih dan pemurni (Siegel, Richard S, 1940).Pengambilan kalium dari abu kulit buah semangka dapat dilakukan melalui proses ekstraksi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Sukeksi, dkk (2017), pengaruh kecepatan pengadukan dan waktu dalam ekstraksi abu kulit semangka mempengaruhi normalitas, persen rendemen dan kadar kalium. Kondisi kecepatan pengadukan berlangsung pada variasi 200 rpm, 250 rpm, 300 rpm dan 400 rpm, dan variasi waktu ekstraksi adalah 60 menit, 100 menit, 140 menit, 160 menit, dan 180 menit.Dari penelitian ini menggunakan variasi pelarut air dan methanol, hasil yang tertinggi pada proses ekstraksi kalium dari abu kulit semangka menggunakan kecepatan pengadukan 400 rpm dengan waktu 180 menit dengan hasil konsentrasi kalium sebesar 2,66 N, persen rendemen 75,75% dan kadar kalium 53,5% yang di analisa menggunakan Atomic Absorption Spectroscopy (AAS).Penelitian ini diharapkan dapat memberi referensi untuk mengupayakan pengembangan pemanfaatan limbah pertanian dalam pengembangan bahan kimia yang berasal dari biomassa
PEMBUATAN BIOGASOLINE DARI AMPAS TEBU
Biomassa merupakan jenis sumber energi terbarukan yang diperoleh dari materi alami. Energi biomassa adalah jenis bahan bakar yang dibuat dengan mengkonversi bahan biologis seperti tanaman. Umumnya biomassa merujuk pada materi tumbuhan yang dipelihara untuk digunakan sebagai biofuel, tapi dapat juga mencakup materi tumbuhan atau hewan yang digunakan untuk produksi serat, bahan kimia, atau panas. Penggunaan biomassa sebagai bahan bakar yaitu dengan memanfaatkan kandungan lignoselulosa yang berasal dari tanaman dengan komponen utama lignin, selulosa, dan hemiselulosa. Ampas tebu (bagasse) adalah limbah padat industri gula tebu yang mengandung serat selulosa, Sehingga dilakukan analisa terhadap pemanfaatan Ampas tebu sebagai bahan baku pembuatan biogasoline. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh temperatur dan waktu reaksi serta konsentrasi pelarut terhadap yield yang dihasilkan. Penelitian ini menggunakan variasi temperatur 100oC, 140oC dan 180oC, variasi waktu reaksi 60 menit, 90 menit, 120 menit, 150 menit dan 180 menit serta konsentrasi pelarut 10%, 20% dan 30%. Untuk temperatur 180oC dengan waktu reaksi 180 menit pada konsentrasi 20% didapatkan yield sebesar 65,85 %
Decreased Expression of Peroxisome Proliferator-activated Receptor α Gene as an Indicator of Metabolic Disorders in Stunting Toddler
BACKGROUND: Stunting in children increases the risk of degenerative diseases in adulthood, including dyslipidemia, obesity, type 2 diabetes mellitus, and cardiovascular disease. This is based on the result of metabolic changes that may be caused by chronic malnutrition and experienced by stunting children. Stunting in children is associated with metabolic disorders that are based on impaired fat oxidation, a trigger factor for obesity in adulthood. The peroxisome proliferator-activated receptor (PPAR) α gene is a transcriptional factor that regulates fat, carbohydrate, and amino acid metabolism whose genetic variants are linked to the development of dyslipidemia and cardiovascular disease.
AIM: The study assessed the effect of metabolic changes in stunting toddler on PPARα gene expression.
MATERIALS AND METHODS: An analytical-observational laboratory was done using 41 blood samples, coming from 23 stunting toddlers, and 18 not-stunting toddlers. In all research subjects, anthropometric measurements and examination of PPARα gene mRNA expression were carried out. Analysis of PPARα gene mRNA expression using one-step quantitative reverse transcriptase-polymerase chain reaction using specific primers, as a comparison of gene expression using the GAPDH gene. The relative expression of the PPARα mRNA gene was analyzed using the LIVAK formula.
RESULTS: The study obtained a mean of ΔCT in stunting toddlers of 5.81, whereas in stunting toddlers at 5.082. Analysis with LIVAK 2 ^ - formula (ΔCT stunting -ΔCT not stunting) obtained PPARα mRNA gene expression of 0.6.
CONCLUSION: We conclude that there is a decrease in PPARα gene expression in stunting toddlers
Durian Consumption Effect on the Plasma Malondialdehyde Level as Biomarker of Stress Oxidative in Rats
Background: Excessive consumption of durian (Durio zibethinus Murray) in Indonesia is often connected with its effect on health. This study aims to understand the effect of durian consumption to malondialdehyde (MDA) in plasma as oxidative stress biomarker.Methods: The study used an experimental research design on animal models, in the Biochemistry and Molecular Biology Department, Faculty of Medicine, Universitas Indonesia, July–August 2012. Thirty two Sprague-Dawley rats were used, divided into four groups: control, treatment week 1, 2, and 3. Each treatment group was given 20 gram durian fruit diluted with water until 20 ml volume per oral, divided into two doses (10 ml each) with 4 hours interlude between doses for 1 week, 2 weeks, and 3 weeks. All groups got normal diet and water ad libitum. Plasma MDA level was measured by TBARS method, then analyzed using Kurskal-Wallis and Mann-Whitney tests.Results: Seventeen samples were successfully decapitated (5 for control; 6 for week 1; 3 for week 2; 3 for week 3). Average plasma MDA level for control treatment week 1, 2 and 3 groups were 0.707 nmol/ml, 0.432 nmol/ml, 0.312 nmol/ml, and 0.746 nmol/ml respectively. Data was significant (p<0.05) with p=0.02. Compared with control group, a significant increase occurred in week 1 and 2 groups with p=0.028 and p=0.025 respectively.Conclusions: Results of durian consumption show MDA level significantly decreases in week 1 and 2. However, MDA level dramatically increases exceeding control group level in week 3. [AMJ.2016;3(1):22–8] DOI: 10.15850/amj.v3n1.69
ROLE OF SDF-1 AND CELECOXIB IN INCREASING QUANTITY OF NEURAL STEM CELL IN THE LESION ZONE AND OUTCOME OF SPONTANEOUS INTRACEREBRAL HEMORRHAGE
Objective: We studied the effect of stromal derived factor-1 (SDF-1) and celecoxib for increasing the amount of neural stem cells in the lesion zone and clinical outcomes of spontaneous intracerebral hemorrhage.Methods: Twenty-eight rats, strain Wistar, divided into four groups: control, treated with celecoxib, SDF-1, and the combination of celecoxib+SDF-1. The neural stem cells identified by immunohistochemistry procedures with Nestin as primary antibodies and the levels of proliferation were assessed by Ki-67 as primary antibodies. The clinical outcomes were examined by Bederson scale. Results: This study revealed the combination treatment group had the highest histoscores of Nestin and highest of Ki-67 histoscores for SDF-1 group. The amount of neural stem cells in the lesion zone of treatments groups was higher than controls (p<0.005), but similar between treated groups (P>0.05). The proliferation levels were higher in SDF-1 group (P<0.05), and the clinical outcomes back to normal were highest in combination therapeutic groups, even though not different when compared to another group (p>0.05).Conclusion: The results suggest celecoxib, SDF-1, and the combination of celecoxib+SDF-1 can increase neural stem cells in spontaneous intracerebral hemorrhage, and SDF-1 increased proliferation levels. The clinical outcomes were not significantly different between rats, regardless of the fact that almost all of rats in the combination group were back to normal.Keywords: Neuroinflammation, Cyclooxygenase-2, Bederson Scal
Exercise Intensity Alter Insulin Receptor Gene Expression in Diabetic Type - 2 Rat Model
AIM: To analyse the differential expression of the insulin receptor (IR) gene between moderate continuous and severe continuous training in the T2DM rat model.
METHODS: This was an experimental study. Healthy male Wistar was used in this study, which divided into sedentary, moderate continuous training, and severe continuous training. Treated groups were assigned to run on the treadmill three times a week for eight weeks consequently.
RESULTS: The result shown that expression of mRNA IR gene in treated groups decline compared to control. There was a difference mRNA IR gene expression after eight weeks of exercise between MCT and control, SCT and control so are MCT and SCT. IR expression on skeletal muscle in treated groups was different compared with control. The distribution of IR on skeletal muscles in treatment groups was significantly increased compared control, but there was no significant difference distribution between MCT and SCT. HOMA-IR post-test in SCT was lower than MCT but FBG post-test lower in MCT than SCT.
CONCLUSION: The intensity of exercise makes a difference in IR gene expression between moderate continuous training and severe continuous training after eight weeks of assigned exercise in T2DM rat models