3 research outputs found

    PETROGENESIS BATUAN PIROKLASTIK GUNUNG RINJANI

    No full text
    Gunung Rinjani yang terletak di Provinsi Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu gunungapi aktif yang memiliki kaldera yang luas di tengahnya. Sejarah letusan dahsyat yang menghasilkan sebuah kaldera ini mampu mempengaruhi iklim dunia selama beberapa tahun. Periode letusannya dibagi menjadi tiga, yakni sebelum, selama, dan setelah pembentukan kaldera. Material berupa batuan piroklastik hadir dalam setiap periode letusan, sehingga dapat menunjang dalam menyingkap proses geologi yang telah terjadi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis petrologi, analisis petrografi, dan analisis geokimia menggunakan metode XRF dan CIPW pada sampel batuan dari 30 titik pengamatan di dinding kaldera, bagian dalam kaldera, maupun titik lain yang tersebar di Pulau Lombok. Berdasarkan analisis petrologi, sampel batuan piroklastik Komplek Gunung Rinjani terdiri dari lapili tuff. Berdasarkan mineralogi, plagioklas hadir paling banyak, sedikit piroksen, serta gelas vulkanik. Berdasarkan analisis geokimia, batuan piroklatik periode sebelum pembentukan kaldera berjenis basalt, berasal dari seri Kalk-Alkali, dan magma berinteraksi dengan kerak benua. Batuan piroklastik selama pembentukan kaldera bersifat trakhit, berasal dari seri Shoshonitik, dan magma berinteraksi dengan kerak benua. Batuan piroklatik setelah pembentukan kaldera bersifat basaltik trakhi-andesit, seri magma tinggi Kalk-Alkali, dan magma berinteraksi dengan kerak benua. Melalui perhitungan normatif metode CIPW, magma asal berada di kedalaman antara ±168 km - ± 211 km di bawah permukaan bumi, terbentuk pada suhu 912-1250 0C dengan berat jenis batuan 2,48- 3,02 gram/cm3. Kata kunci : Piroklastik, Gunung Rinjani, Petrogenesis, Kaldera, Magma

    Policymaking and the spatial characteristics of land subsidence in North Jakarta

    No full text
    The narrative of “Jakarta is sinking!” has grown louder following the seasonal flood events over the past few years. What makes the case interesting is that the actual shape of land subsidence is growing fastest at around 20 cm per year in the northwest area, which is dominated by housing and settlements rather than commercial buildings and industries. This study aims to provide an academic explanation of the land subsidence phenomenon from the perspective of historical institutionalism. Applying spatial analysis and documentary reviews, we discussed the relationship between policy directions and land subsidence forms over decades. This paper found that spatial policy which have been pushed the urbanization in north Jakarta has contributed a more significant impact on land subsidence. The inability of government policy to address groundwater utilization both from the settlements and industries with the provisioning of access to safe water, emerged as one of the most significant factors triggering land subsidence
    corecore