19 research outputs found

    Penetapan Hutan Lindung Gunung Ceremai Menjadi Taman Nasional dan Dampaknya Bagi Masyarakat Sekitar Kawasan

    Full text link
    Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan, hutan lindung pada kelompok hutan Gunung Ceremai seluas 15.000 ha yang terletak di Kabupaten Kuningan dan Kabupaten Majalengka, Propinsi Jawa Barat berubah fungsi menjadi Taman Nasional. Alasannya adalah (1) kawasan hutan Gunung Ceremai ini merupakan keterwakilan tipe ekosistem hutan pegunungan yang masih asli, (2) mempunyai fungsi hidrologis dan sumber plasma nutfah yang penting, dan (3) mempunyai habitat berbagai flora dan fauna yang khas. Bagi masyarakat sekitar kawasan hutan Gunung Ceremai, kebijakan pemerintah tersebut terasa sangat merugikan, karena akses terhadap kawasan hutan menjadi sangat terbatas. Namun peranan taman nasional sebagai pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berpengaruh besar bukan hanya bagi masyarakat lokal tapi bagi sebagian besar masyarakat Indonesia dan lingkungannya. Untuk mencapai optimalisasi fungsi kawasan taman nasional maka harus terbentuk (1) pengelolaan taman nasional yang mantap, (2) kualitas SDM yang memadai, (3) pendekatan yang baik terhadap masyarakat sekitar kawasan, dan (4) membangun tingkat kesadaran masyarakat terhadap kelestarian sumberdaya alam taman nasional

    Implementasi dan Strategi Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan Banjar

    Full text link
    Eksploitasi hutan alam produksi secara besar-besaran yang telah berlangsung sejak tahun 1969, telah memberikan kontribusi besar bagi pembangunan nasional melalui produk utamanya kayu dan hasil hutan non-kayu. Di lain pihak eksploitasi hutan alam telah memberikan dampak negatif bagi kelestarian sumberdaya hutan sendiri. Untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari, maka seluruh kawasan hutan akan dibagi ke dalam Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang merupakan wilayah pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan Peruntukannya. Tujuan penelitian ini secara khusus adalah : (1) mengidentifikasi permasalahan yang meliputi faktor internal maupun eksternal yang berpengaruh terhadap pembangunan KPH Banjar dan (2) mengkaji implementasi dan strategi pembangunan KPH Banjar. Pengumpulan data dilakukan dengan metode survei lapangan dan wawancara secara mendalam di KPH Model Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan, dan data tersebut diolah dengan analisis deskriptif dan SWOT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pembangunan KPH Banjar, masih terdapat perbedaan persepsi di antara para pemangku kepentingan. Hal ini dibuktikan dari hasil anĂ¡lisis SWOT yang menunjukkan adanya perbedaan cara pandang dalam memahami beberapa kasus permasalahan dalam pembangunan KPH antara Dishut propinsi, Dishut kabupaten dan BPKH. Oleh karena itu upaya yang perlu dilakukan dalam pembangunan KPH Banjar ke depan adalah: adanya dukungan dan komitmen Pemda dengan merumuskan Perundangan (PERDA) maupun penyusunan RTRW yang sesuai, pengembangan SDM melalui kerjasama perguruan tinggi, dan peningkatan koordinasi, kolaborasi dengan pemangku kepentingan dalam rangka sinkronisasi kegiatan dalam kawasan KPH Banjar serta peningkatan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan KPH

    Faktor-Faktor yang Memengaruhi Penyelenggaraan Hutan Kota: Studi Kasus Kota Medan, Deli Serdang dan Palangka Raya

    Full text link
    Sebagian besar pembangunan infrastruktur perkotaan meningkat, sementara itu hutan kota yang ada belum mencukupi kebutuhan masyarakat perkotaan. Tujuan kajian ini untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi penyelenggaraan hutan kota. Kajian ini menggunakan pembobotan dan analisis stakeholder. Pembobotan dilakukan dengan cara me-ranking faktor-faktor yang memengaruhi hutan kota antara lain aspek biofisik, sosek, organisasi dan kebijakan berdasarkan persepsi responden. Hasil kajian menunjukkan faktor yang paling berpengaruh yaitu keterbatasan lahan hutan kota dan sengketa lahan. Peningkatan jumlah penduduk berimplikasi terhadap peningkatan jumlah pemukiman dan sarana pendukungnya, yang berdampak mengurangi luas hutan kota. Di lain pihak, kebijakan sektoral kehutanan belum dapat mendorong penyelenggaraan hutan kota, karena konsep hutan kota belum dapat dipahami oleh pemerintah daerah sebagai pelaksana. Faktor lain yang menjadi penghambat adalah sumber dan kontinuitas pendanaan. Upaya mengatasi keterbatasan lahan dilakukan dengan optimalisasi hutan kota melalui kegiatan pengayaan jenis dan penanaman pada lahan terlantar. Para pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan hutan kota perlu koordinasi dalam perencanaan wilayah, pendanaan dan penetapan Perda hutan kota untuk mengurangi risiko Perubahan dan konflik Peruntukan lahan

    Kendala dan Strategi Implementasi Pembangunan KPH Rinjani Barat

    Full text link
    Kebijakan pengelolaan hutan di masa lalu, yaitu ketika hasil hutan dijadikan andalan dalam meningkatkan perekonomian negara telah menimbulkan permasalahan baik dari segi ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut serta untuk mewujudkan kelestarian hutan pemerintah mengeluarkan kebijakan pembangunan KPH. Penelitian ini bertujuan: (1) mengkaji permasalahan dalam implementasi pembangunan KPH Rinjani Barat, (2) menyusun strategi dalam pembangunan KPH Rinjani Barat dan (3) mengetahui peran antara pengelola KPH dengan stakeholder lain dalam pembangunan KPH Rinjani Barat. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara secara mendalam dan studi literatur. Data dianalisis secara deskriptif dan SWOT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi pembangunan KPH Rinjani Barat terhambat disebabkan antara lain karena keterbatasan SDM, keterbatasan anggaran, belum adanya dukungan PERDA, dan adanya klaim lahan oleh masyarakat. Adapun stakeholder yang terlibat dalam pembangunan KPH Rinjani Barat antara lain adalah Dishut propinsi dan kabupaten, BPDAS, LSM, universitas, masyarakat, Bapeda, calon KPH sendiri dan dunia USAha yang akan mendukung pembangunan KPH dalam aspek ekonomi. Berdasarkan permasalahan tersebut, strategi yang diperlukan dalam pembangunan KPH Rinjani Barat adalah (1) Pemanfaatan kekuatan masyarakat dan pemanfaatan lahan dalam upaya memenuhi permintaan kayu, misal HTR di kawasan HP, (2) Akademisi dan LSM membantu menyusun draft rancangan rencana pengelolaan KPH dan Draft rancang bangun diselaraskan dengan pemanfaatan kawasan hutan untuk pengembangan kayu pertukanga

    Kajian Konsep Kesatuan Pengelolaan Hutan Model Way Terusan Register 47

    Full text link
    Degradasi hutan dan lahan di Kabupaten Lampung Tengah dewasa ini telah menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat antara lain dengan terjadinya tanah longsor, erosi dan sedimentasi sampai hilangnya biodiversiti dan pendapatan negara dari hasil kayu yang menurun drastis. Untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari, maka seluruh kawasan hutan dibagi ke dalam Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) yang merupakan wilayah pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan Peruntukannya yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. Tulisan ini bertujuan untuk: (1) mengidentikasi kondisi umum KPH Model Way Terusan Register 47 dan permasalahannya, dan (2) mengkaji konsep pembangunan KPH Model Way Terusan Register 47. Data dan informasi yang terkumpul selanjutnya diolah secara kualitatif dan deskriptif. Hasil kajian menunjukkan bahwa KPH Model Way Terusan Register 47 telah memiliki konsep pembangunan KPH model yang baik, ditunjang dengan adanya perencanaan jangka pendek hingga panjang (20 tahun). Akan tetapi dalam mengimplementasikan pembangunan KPH ini banyak menghadapi permasalahan baik dari sisi kelembagaan dan sosial. Dari sisi kelembagaan meliputi hambatan pemangku kepentingannya sendiri, peraturan Perundangan, organisasi, pendanaan, dan SDM. Pada sisi sosial lebih cenderung kepada klaim lahan oleh masyarakat dan perbedaan jenis tanaman yang akan dikembangkan pada areal KPH model. Untuk merealisasikan KPH ini diperlukan penyamaan persepsi dan sosialisasi yang intensif konsep pengelolaan KPH kepada semua pemangku kepentingan, dengan cara memberikan solusi terhadap hambatan yang ada khususnya kelembagaan dan sosial

    Persepsi Pelaku Hutan Rakyat dan Industri Kayu Skala Kecil-menengah terhadap Kesiapan Implementasi Svlk

    Full text link
    Indonesian forestry authority has established Timber Legality Verification System called SVLK as a mandatory basis. The progress of implementation of SVLK certification for large-scale forestry enterprises has been done considerable, but for the small-scale industry (IKM) and private forest (HR) have difficulty to meet the SVLK standard. This paper aims to determine the entrepreneurs\u27 perception on the factors that could improve the readiness of industries and private forest enterprises in the implementation of SVLK. Descriptive analysis and likert scalescoring methods were used in the study, based on economic and institutional aspect. This research was carried out in three locations, in DKI Jakarta, DI Yogyakarta and West Java Province. The achievement of SVLK implementation based on the number of SVLK is still low. According perception of the small-medium enterprises and private forests, they have not ready yet to implement SVLK. In economic aspects, access to markets and rising output prices are the factors that make the entrepreneurs ready. Meanwhile, in institutional aspect, efficient certification procedural; local government support in the licensing process; increase of understanding and awareness about SVLK and coordination among stakeholders are required. Ideal institutional forms such as check-off program (association or cooperation) as one of the best solutions to improve SVLK implementation. Pemerintah Indonesia telah memberlakukan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) secara mandatori. Kemajuan penerapan sertifikasi SVLK untuk Perusahaan kehutanan besar cukup baik, berbeda dengan industri kecil menengah (IKM) dan petani hutan rakyat (HR) memiliki kesulitan tersendiri untuk memenuhi standar SVLK. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui persepsi para pelaku USAha tentang faktor-faktor yang dapat meningkatkan kesiapan IKM dan HR dalam implementasi SVLK. Untuk menjawab tujuan tersebut digunakan analisis deskriptif menggunakan metode skoring dalam skala likert, dilihat dari aspek ekonomi dan kelembagaan. Lokasi penelitian di DKI Jakarta, DI Yogyakarta dan Provinsi Jawa Barat. Capaian implementasi SVLK berdasarkan jumlah SVLK masih relatif rendah. Menurut persepsi para pelaku USAha dan hutan rakyat merasa belum siap dalam implementasi SVLK. Ditinjau dari aspek ekonomi, faktor yang membuat pelaku USAha lebih siap dalam implementasi SVLK adalah adanya peningkatan akses ke pasar dan kenaikan harga output. Sedangkan dari aspek kelembagaan, diperlukan efisiensi tatacara sertifikasi, dukungan Pemda dalam proses perizinan untuk mendukung syarat kelengkapan SVLK, peningkatan pemahaman dan kesadaran tentang SVLK, dan koordinasi antar stakeholder. Untuk meningkatkan implementasi SVLK, bentuk kelembagaan seperti check-off program merupakan bentuk lembaga yang ideal seperti asosiasi atau koperasi sebagai salah satu solusi yang tepat untuk meningkatkan implementasi SVLK

    Strategi Keberlanjutan Pengelolaan Hutan Mangrove di Tahura Ngurah Rai Bali

    Full text link
    Adanya tekanan dari berbagai kepentingan terhadap kawasan Tahura Ngurah Rai berpotensi menjadi penyebab kerusakan tanaman mangrove yang menyebabkan Perubahan ekosistem. Penelitian ini bertujuan: mengidentifikasi pemanfaatan mangrove oleh masyarakat; mengidentifikasi faktor internal dan eksternal dalam pengelolaan mangrove; dan menentukan strategi pengelolaan mangrove. Analisis SWOT digunakan dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dua faktor internal tertinggi yang menjadi kekuatan pengelolaan mangrove di Bali adalah lokasi yang strategis dan merupakan ekosistem mangrove terbesar di Bali. Sedangkan faktor internal yang menjadi kelemahan adalah banyaknya sampah dan lumpur serta adanya sedimentasi di Tahura bagian hilir. Faktor-faktor eksternal yang menjadi peluang pengelolaan mangrove yaitu wisatawan yang terus meningkat dan lokasi yang dekat dengan objek wisata lain. Sedangkan yang menjadi ancaman pengelolaan adalah adanya kepentingan pihak-pihak tertentu yang cenderung mengurangi keberadaan dan kelestarian hutan mangrove, pembuangan sampah di daerah hulu yang masih terjadi, dan pembangunan infrastruktur di sekitar. Lima strategi pengelolaan mangrove di Bali adalah implementasi dan penegakan aturan yang jelas, terkait zonasi dan regulasi yang menyertainya; pengelolaan sampah dan pengendalian pencemaran; penyuluhan dan pendidikan lingkungan terhadap masyarakat; perencanaan pembangunan strategis yang mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung mangrove; pengembangan pariwisata yang melibatkan masyarakat dan kearifan lokal

    Karakteristik Ekologi dan Sosial Ekonomi Lanskap Hutan pada DAS Kritis dan Tidak Kritis: Studi Kasus di DAS Baturusa dan DAS Cidanau

    Full text link
    Hutan memiliki peran penting baik dalam pembangunan lingkungan dan pembangunan ekonomi. Untuk mewujudkan kelestarian tersebut, sistem pengelolaan hutan harus memperhatikan karakteristik lanskap hutan itu sendiri. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik ekologi dan sosial ekonomi DAS kritis dan tidak kritis. Pengetahuan tentang karakteristisk tersebut sangat penting untuk menentukan kebijakan sistem pengelolaan lanskap hutan yang lestari pada suatu wilayah DAS. DAS Cidanau dan DAS Baturusa dipilih sebagai lokasi penelitian dengan pertimbangan keduanya mewakili DAS tidak kritis dan kritis. Data yang dianalisa adalah data tahun 2009 dengan menggunakan metode analisa GIS dan deskriptif kualitatif. Hasil analisis menunjukan bahwa karakteristik ekologi DAS Cidanau lebih baik dibandingkan DAS Baturusa. Sebaliknya, karakteristik ekonomi DAS Baturusa lebih baik dibandingkan DAS Cidanau. Berdasarkan karakteristik sosial, kedua DAS tersebut menunjukan kondisi yang hampir sama. Kegiatan yang dapat memberikan dampak positif terhadap karakteristik lanskap hutan adalah mekanisme jasa lingkungan hulu hilir serta sosialisasi atau penyuluhan tentang pentingnya konservasi hutan kepada masyarakat secara intensif

    Stakeholders\u27 Perception on Management of Upstream Ciliwung Watershed: Implications for Forest Landscape Planning

    Get PDF
    Forests play a vital role for the livelihoods of rural and urban communities. Addressing perception of forest users regarding forest practices is one of the most important aspects of forest management. This paper aims to elaborate stakeholders\u27 perception on the biophysical, socio-economic and institutional aspects of forest landscape management in upstream Ciliwung watershed. Data were collected through survey, by highlighting preferences, perceptions, and expectations of actors who are interested in the impacts of watershed management. This study indicates that communities at upstream Ciliwung watershed area perceived that the socio-economic aspect is the most important factor in managing upstream Ciliwung watershed. The governments (central and local), however, pay more attention to the biophysical and institutional aspects. The result of the overall perception analysis shows that institutional aspects need to be addressed first, followed by socio-economic aspects and biophysical aspects to improve the management of upstream Ciliwung watershed. Addressing institutional aspects is needed to enhance awareness and coordination among stakeholders, to enforce law and to develop a monitoring system to support the preservation of the forest at the upstream watershed areas. In terms of socio-economic aspects, improving community livelihoods is needed through payments for environmental services. Regarding biophysical aspects, afforestation and conservation of soil and water need to be prioritised. Thus, there should be programs that could provide solutions based on the three main aspects to improve the management of the forest resources in the upstream watershed area
    corecore