10 research outputs found

    Studi Proses Pemisahan Bitumen Dari Asbuton Dengan Proses Hot Water Menggunakan Bahan Pelarut Kerosin Dan Larutan Surfaktan

    Full text link
    Penelitian ini merupakan studi proses pemisahan bitumen dari asbuton dengan proses hot water menggunakan bahan pelarut kerosin dan larutan surfaktan. Asbuton adalah aspal alam yang terdeposit dalam batuan dengan kadar bitumen antara 15-30% yang terdapat di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara dengan jumlah deposit aspal sebesar 677juta ton. Bitumen dapat digunakan sebagai campuran aspal minyak untuk pembangunan dan pemeliharaan sarana infrastruktur berupa jalan raya. Salah satu cara pemisahan bitumen dari mineral adalah dengan proses hot water menggunakan bahan pelarut kerosin dan larutan surfaktan. Sistem yang ditinjau dalam penelitian ini adalah tangki berpengaduk berbentuk silinder dengan kapasitar 2000cm2. Dalam penelitian ini akan ditinjau pengaruh dari penambahan ratio larutan surfaktan/asbuton dan penambahan kerosin terhadap %recovery bitumen. Proses ekstraksi dilakukan selama 20 menit dengan suhu proses 90oC dan kecepatan putar pengaduk 1500 rpm. Hasil proses ini akan terbentuk 3 lapisan yaitu lapisan atas terdiri dari larutan bitumen (kerosin dan bitumen), lapisan tengah terdiri dari air, larutan surfaktan dan mineral murni yang terpisah, dan lapisan bawah terdiri dari asbuton yang tidak terekstrak, kerosin dan sedikit air. Lapisan paling atas di ambil dan dilakukan analisa densitasnya untuk diketahui konsentrasi bitumennya. Sehingga dapat dihitung %recovery bitumen yang dihasilkan. Lapisan paling atas dipisahkan dan dianalisa konsentrasi bitumennya dengan mengukur densitasnya. Dari hasil eksperimen diperoleh kesimpulan bahwa (%) recovery bitumen tertinggi adalah pada penambahan kerosin 50% dan 0,1% konsentrasi larutan surfaktan 35 % sebesar 80,797%

    Biodegradation of Chrysene by Consortium of Bacillus Cereus and Pseudomonas Putida in Petroleum Contaminated-soil on Slurry-phase Bioreactor

    Full text link
    Pollution by chrysene compounds in the polluted soil of petroleum, due to exploration activities, production and disposal of petroleum waste into the environment causing serious damage to the ecosystem environment, became the target of processing with bacteria as a model of remediation of pollution sites. Thus, the study focused on the use of a bacterial consortium to degrade chrysene in petroleum-contaminated soil. The study was conducted by mixing 20:80 (% wt) of contaminated soil with water. The consortium of Bacillus cereus and Pseudomonas putida 10%(v/v) and 15%(v/v) bacteria with ratios; 2:3; 1:1; 3:2 is inserted into the slurry bioreactor. Biodegradation process is run with agitation of 100 rpm and temperature 26<sup>o</sup>C – 30<sup>o</sup>C and in aeration. Identification of chrysene using gas chromatography–mass spectrometry (GCMS) and bacterial populations with haemycitometer. The initial concentration of chrysene is 24.48 ng/μL. After 49 days remediation period for a 10% (v/v) reduced chrysene bacteria consortium and bacterial populations were 8.68 ng/μL; 7.56 ng/μL; and 8.07 ng/μL; with biodegradation rate is 67.01%; 69.10%; And 64.54%. As for the 15% (v/v) bacteria consortium with the same ratio, chrysene was degraded to 2.60 ng/μL; 1.57 ng/μL; and 2.02 ng/μL and the measured chrysene biodegradation rate was 89.39%; 93.58%; And 91.73%. These findings suggest that the percentage of low crude oil is degraded because of the increasing concentration of crude oil

    Desain Pabrik Sodium Karbonat dari CO2 Flue Gas Pabrik Semen

    Full text link
    Dengan semakin meningkatnya kebutuhan energi di Indonesia selama beberapa tahunn terakhir ini, semakin juga meningkatkan bertambahnya gas rumah kaca yang dihasilkan. Gas rumah kaca (GRK) yang terdiri dari CO2, CH4, N2O, HCFC, dan CFC serta uap air (H2O), dimana yang menjadi sumber utama terjadinya pemasan global. Terutama pada pabrik yang menghasilkan GRK itu sendiri selama proses produksi, seperti pabrik semen 15.107.267 ton, pabrik produksi kapur 3.688.147 ton, dan pabrik kaca/gelas 170.000 ton. Prospek soda abu (nama pasar sodium karbonat) di Indonesia masih dalam kondisi baik karena kebutuhan komoditas ini semakin bertambah dengan rate 3,4% pertahun untuk industri kapur, industri gelas, dan industri keramik. Selama ini kebutuhan soda abu di Indonesia masih dipenuhi dengan adanya impor dari negara lain, karena belum adanya produsen natrium karbonat di dalam negeri yang menjadikan komoditas ini sebagai produk utama dari pabriknya. Pabrik ini direncanakan akan didirikan di Kabupaten Tuban, JawaTimur dengan estimasi waktu mulai produksi pada tahun 2017. Penentuan lokasi pabrik berdasarkan pada sumber bahan baku. Hal ini karena bahan baku yang digunakan adalah flue gas dari pabrik semen. Untuk menemuhi kebutuhan akan sodium karbonat kapasitas produk sodium karbonat ini sebesar 86,37 ton/jam. Pabrik beroperasi selama 24 jam per hari dengan hari kerja 330 hari per tahun. Proses pembuatan soda abu dengan proses karbonasi terdiri dari empat unit proses, yaitu dust removal unit, absorption unit, crystalization unit, dan soda ash unit. Dari analisa perhitungan ekonomi didapat Investasi Rp79.285.526.850, IRR sebesar 26%, POT selama 4,39 tahun, dan NPV positif 15 tahun sebesar Rp589.068.911.634. Umur dari pabrik ini diperkirakan selama 15 tahun dengan masa periode pembangunannya selama 2 tahun di mana operasi pabrik ini 330 hari/tahun

    PRA Desain Pabrik Poly-L-Lactic Acid dari Tetes Tebu

    Full text link
    Poly-L-Lactic Acid atau disingkat PLLA merupakan termoplastik biodegradable turunan dari sumber daya terbarukan. Kebutuhan dunia akan plastik yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh plastik. Hal ini membuat PLLA menjadi alternatif pengganti plastik petroleum-based untuk mengurangi pencemaran lingkungan. Untuk memenuhi kebutuhan bioplastik dalam negeri dan adanya peluang ekspor yang masih terbuka, maka dirancang pabrik PLLA dengan kapasitas 20.000 ton/tahun dengan memanfaatkan limbah tetes tebu yang dihasilkan oleh pabrik gula sebagai bahan baku. Pabrik direncanakan berdiri pada tahun 2020 di Lampung Tengah, Sumatera Selatan. Proses pembuatan PLLA dilakukan melalui tiga tahap, yakni proses produksi asam laktat, pemurnian asam laktat, dan polimerisasi asam laktat. Tahap produksi asam laktat dilakukan dengan proses fermentasi dengan menggunakan bakteri Lactobacillus delbrueckii subsp. delbrueckii selama 26 jam pada kondisi 42oC, tekanan atmosfir, dan pH 6,9. Tahap pemurnian dilakukan hingga asam laktat mencapai kemurnian 99% dalam kolom distilasi reaktif. Tahap polimerisasi asam laktat dilakukan dengan metode ring-opening-polymerization. Untuk mendirikan pabrik PLLA dari limbah tetes tebu ini diperlukan modal tetap (FCI) sebesar Rp 926.811.877.912,00 dan modal kerja (WCI) sebesar 92.681,187.791,00. Dari perhitungan analisa ekonomi didapatkan nilai Pay Out Time (POT) 5,13 tahun dengan Break Event Point (BEP) sebesar 45,6% dan Internal Rate of Returm (IRR) sebesar 13,19%

    Studi Pemisahan Bitumen dari Asbuton Menggunakan Media Air Panas dengan Penambahan Surfaktan Sodium Dodecyl Sulfate (Sds) dan Sodium Carbonate (Na2co3)

    Full text link
    Asbuton adalah aspal alam yang terkandung dalam deposit batuan yang terdapat di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Asbuton dapat dimanfaatkan sebagai bahan alternatif pengganti aspal minyak setelah bitumen dipisahkan dari mineralnya. Penelitian proses pemisahan bitumen dari asbuton menggunakan hot water process telah dilakukan, tetapi bitumen yang terambil kurang maksimal. Interfacial tension merupakan parameter penting dalam proses pemisahan bitumen menggunakan hot water process disamping viskositas bitumen. Untuk meningkatkan perolehan bitumen, maka perlu dilakukan modifikasi sifat permukaan bitumen. Modifikasi sifat permukaan bitumen dilakukan dengan penambahan surfaktan. Pada penelitian ini, jenis surfaktan yang digunakan adalah surfaktan Sodium Dodecyl Sulfate (SDS) yang berfungsi sebagai wetting agent untuk menurunkan tegangan permukaan antara bitumen dengan mineral. Fokus dari penelitian ini adalah mempelajari pengaruh penambahan wetting agent terhadap jumlah larutan total, konsentrasi surfaktan dan pengaruh temperatur terhadap persen (%) recovery bitumen. Proses pemisahan bitumen dari asbuton dalam metode ini dilakukan melalui dua proses utama, yakni proses mixing dan digesting. Kedua proses ini dilakukan pada sebuah tangki berpengaduk disc turbine dan empat buah baffle. Proses mixing preheating dilakukan dengan cara mengaduk asbuton dengan solar yang memiliki perbandingan 40 : 60 terhadap massa total 1000 gram pada 1100 rpm dengan suhu 60, 70, 80, dan 90oC selama 30 menit. Selanjutnya dilakukan proses digesting dengan mengaduk campuran solar-asbuton dengan wetting agent, yang berupa larutan surfaktan Sodium Dodecyl Sulfate (SDS)-Na2CO3 sebesar 25% terhadap massa total campuran sebesar 1000 gram pada 1700 rpm dengan suhu 60, 70, 80, dan 90oC selama 30 menit. Konsentrasi larutan surfaktan Sodium Dodecyl Sulfate (SDS) yang akan digunakan sebesar 0.125%, 0.25% , 0.375% dan 0.5% (% massa) dan konsentrasi Na2CO3 sebesar 0.25%, 0.5%, 0.75% dan 1% (% massa). Produk proses digesting kemudian dipisahkan secara gravitasi dalam beaker glass dengan menambahkan air sehingga terbentuk tiga lapisan. Lapisan teratas yang merupakan larutan bitumen-solar, ditimbang berat dan diukur densitasnya untuk mengetahui persen (%) recovery yang diperoleh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa % recovery bitumen mengalami kenaikan seiring dengan meningkatnya temperatur dan meningkatnya konsentrasi Na2CO3. Sedangkan % recovery bitumen mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya konsentrasi surfaktan SDS hingga konsentrasi 0.375%, lalu mengalami penurunan pada konsentrasi SDS 0.5%. Hasil akhir yang diperoleh adalah % recovery bitumen yang tertinggi diperoleh sebesar 91.92% pada suhu 90oC dengan konsentrasi Na2CO3 1% dan konsentrasi surfaktan SDS 0.375%

    SIMULASI PENGARUH KONSENTRASI BIOMASSA PADA LUMPUR AKTIF TERHADAP PENYISIHAN COD DALAM BIOREAKTOR MEMBRAN TERENDAM

    No full text
    Proses pengolahan limbah cair dengan bioreaktor membran terendam (BRMt), mempunyai banyak keuntungan dibandingkan proses lumpur aktif konvensional, karena prosesnya lebih sederhana, tidak memerlukan bak sedimentasi sekunder dan kandungan solid dalam efluen (permeat) hampir tidak ada. Dalam proses ini melibatkan tiga fasa yaitu padat (biomassa dan komponen-komponen limbah), cair (air) dan gas (udara untuk aerasi), dimana degradasi biologis yang terjadi sangat dipengaruhi oleh transfer massa lintas membran, sehingga diperlukan analisa teoritis terhadap proses degradasi limbah pada BRMt dengan model matematis yang dapat menjelaskan fenomena sistemnya, yaitu laju degradasi limbah (SS dan XS), laju pertumbuhan biomassa heterotrop (XBH), laju pembentukan SMP (soluble microbial product), kelarutan oksigen (SO), dan jumlah senyawa organik inert (SI dan XI). Penelitian ini bersifat simulasi yang menggabungkan antara model matematis aktivitas biologis dan performance membran menjadi satu model yang dapat digunakan untuk menghitung COD total pada setiap waktu. Hasil simulasi divalidasi dengan hasil analisa laboratorium dengan limbah cair domestik sintetis sebagai umpan. Secara teoritis, proses degradasi limbah BRMt terdiri dari tujuh komponen yang saling terkait yaitu Ss, Xs, XBH, SSMP, SO, SI dan XI. Model matematis yang diperoleh dapat menjelaskan fenomena terjadinya degradasi limbah domestik sintesis dan akumulasi partikulat inert. Simulasi menunjukkan hasil yang cukup bagus untuk memprediksikan pengolahan limbah cair dengan lumpur aktif dan separasi membran dalam satu reaktor. Dibandingkan dengan hasil percobaan, ditemukan nilai parameter baru untuk pengolahan limbah domestik sintesis dengan lumpur aktif, yaitu YH&nbsp; = 0,46; &mu;H = 1,5 hari-1; bH = 10,5 hari-1; KS = 1000 g COD/m3; KOH =0,5 g O2/m3; KSMP =15 g COD/m3.</p

    PRA Desain Pabrik Triacetin (Triacetyl Glycerol) dari Produk Samping Produksi Biodiesel (Crude Glycerol)

    Full text link
    Salah satu produk turunan gliserol yakni triacetin. Kegunaan triacetin sendiri cukup banyak di kalangan industri, baik industri makanan maupun non makanan. Kegunaan triacetin banyak digunakan sebagai penambah aroma, platisizer, pelarut, bahan aditif bahan bakar untuk mengurangi knocking pada mesin (menaikkan nilai oktan), serta dapat digunakan sebagai zat aditif untuk biodiesel. Di Indonesia masih belum ada pabrik triacetin sehingga nilai produksi dan ekspor triacetin kosong atau tidak ada dan nilai impor sebesar 46.000 ton/tahun. Pabrik direncanakan mulai beroperasi pada tahun 2023 dengan kapasitas sebesar 46.000 ton/tahun dengan tujuan mensubstitusi nilai impor yang ada. Lokasi pendirian pabrik berada di Dumai, Riau. Produksi triacetin dari gliserol dilakukan melalui tiga tahap, yaitu pre-treatment, esterifikasi, dan purifikasi. Di bagian pre-treatment, crude glycerol memasuki flash tower, lalu dilanjutkan memasuki kolom distilasi untuk dimurnikan hingga 99,99% gliserol. Di bagian esterifikasi, gliserol dan asam asetat dialirkan menuju reaktor esterifikasi R-210. Reaksi yang terjadi dalam reaktor adalah reaksi esterifikasi antara gliserol dengan asam asetat berlebih membentuk monoacetin, diacetin, dan triacetin dengan menggunakan katalis Amberlyst-15. Jenis reaktor yang digunakan adalah Batch. Setelah 4 jam reaksi, dihasilkan konversi 100% dengan menghasilkan 2% monoacetin, 54% diacetin, dan 44% triacetin. Kemudian, hasil reaksi esterifikasi diumpankan menuju proses selanjutnya yaitu decanter dan dua kolom distilasi untuk dilakukan pemurnian dengan pemisahan menjadi produk utama triacetin dan produk samping diacetin. Dengan estimasi umur pabrik 20 tahun, dapat diketahui internal rate of return (IRR) sebesar 18,36%, pay out time (POT) 6,5 tahun dan break even point (BEP) sebesar 29,57 %
    corecore