18 research outputs found

    Effect of calcium and vitamin D supplementation on serum calcium level in children with idiopathic nephrotic syndrome

    Get PDF

    Perbandingan Kadar Vitamin D [25 Hidroksivitamin D] Pada Anak Sakit Kritis dan Nonkritis

    No full text
    Latar belakang. Vitamin D berperan dalam fungsi pertahanan tubuh sehingga defisiensi vitamin D berhubungan dengan derajat keparahan penyakit. Tujuan. Membandingkan kadar vitamin D pada anak sakit kritis dan nonkritis. Metode. Penelitian potong-lintang dengan subjek terdiri atas 25 anak sakit kritis dan 25 anak sakit nonkritis. Kadar vitamin D dianalisis dengan Uji Mann Whitney, Uji Kolmogorov-Smirnov, dan Uji Korelasi Spearman. Kemaknaan dinyatakan pada p <0,05. Hasil. Kadar vitamin D serum rerata pada kelompok kritis dan non kritis masing-masing 11,46 ng/mL dan 25,98 ng/mL (p<0,001). Pada kelompok kritis ditemukan 22/25 subjek mengalami defisiensi dan 3/25 insufisiensi. Pada kelompok nonkritis ditemukan 6/25 subjek mengalami defisiensi, 7/25 insufisiensi, dan 12/25 pasien dengan kadar normal (p<0,001). Pada uji korelasi didapatkan koefisien korelasi (r) = -0,624 (p<0,001). Kesimpulan. Kadar vitamin D serum rerata pada sakit kritis lebih rendah daripada nonkritis dan terdapat korelasi kuat antara sakit kritis dan vitamin D renda

    Effect of calcium and vitamin D supplementation on serum calcium level in children with idiopathic nephrotic syndrome

    No full text
    Background Patients with idiopathic nephrotic syndrome (NS) may develop hypocalcemia caused by low levels of albumin and vitamin D -binding protein, which subsequently decreases calcium absorption in the intestine. Hypocalcemia may result in neuromuscular manifestations, such as Chvostek's and Trosseau's signs. Objectives To evaluate the effect of calcium and vitamin D supplementation on hypocalcemia and its clinical manifestations in idiopathic NS children. Methods A randomized, single-blind, controlled trial was performed in idiopathic NS patients aged 1-14 years. Subjects were divided into treatment and placebo groups. Subjects in the treatment group received 800 mg elemental calcium and 400 IU vitamin D supplementation, while they in control group received placebo syrup, both for 8 weeks. Serum calcium and manifestations of hypocalcemia were examined before and after supplementation. Results Thirty subjects completed the study (15 in each group). Seventeen subjects experienced hypocalcemia. Chvostek's and Trosseau's signs were observed in 6 subjects in the treatment group and 2 subjects in the placebo group (P= 0.427). After 8 weeks of intervention, Chvostek's and Trosseau's signs disappeared in both groups, and calcium levels were significantly increased in both groups compared to the levels before intervention. However, there was no significant difference in serum calcium levels after 8 weeks between the treatment and placebo groups (P =0.707). Conclusion Normalization of serum calcium levels and improved clinical manifestations ofhypocalcemia occur both in NS patients who receive calcium and vitamin D supplementation and those who do not

    Pedoman diagnosis dan tata laksana infeksi virus dengue pada anak

    No full text
    xx, 76 hal; 25 c

    Hubungan Spektrum Klinis Infeksi Dengue dengan Kadar Seng dan Feritin Serum

    No full text
    Latar belakang. Sindrom syok dengue (SSD) merupakan masalah kesehatan dengan morbiditas dan mortalitas tinggi. Infeksi dengue dapat menyebabkan badai sitokin dan produksi berlebih MMP-2 dan MMP-9, yaitu suatu enzim yang tergantung seng. Sitokin ini akan menyebabkan peningkatan feritin sebagai reaktan fase akut, sedangkan produksi berlebih MMP-2 dan MMP-9 menjadi salah satu penyebab kebocoran plasma. Tujuan. Menganalisis hubungan spektrum klinis infeksi dengue dengan kadar seng dan feritin serum pada anak. Metode. Penelitian cross-sectional dilaksanakan dari Januari 2012 sampai Mei 2012 melibatkan 39 anak laki-laki dan 42 anak perempuan. Dilakukan pemeriksaan kadar seng serum dengan metode atomic absorption spectroscopy (AAS) dan feritin serum dengan metode electrochemiluminescense immunoasssay (ECLIA). Uji statistik dengan ANOVA dan uji korelasi Spearman. Kemaknaan ditentukan berdasarkan nilai p<0,05. Hasil. Kadar seng serum rendah pada 53 (65%) anak. Rerata kadar seng serum pada demam dengue (DD), demam berdarah dengue (DBD) dan SSD adalah 68,2 μg/dL (SB 15,3), 64,8 μg/dL (SB 15,6) dan 59,2 μg/dL (SB 15,0) (p=0,09), sedangkan kadar feritin tinggi pada 79 (98%) anak dengan rerata 1158,9 ng/mL (SB 1766,8), 3048,2 ng/mL (SB 2566,2), 6891 ng/mL (SB 9822) (p<0,001). Terdapat hubungan kuat dan bermakna antara derajat berat penyakit dengan kadar feritin (p<0,001; r=0,635), tetapi tidak terdapat hubungan dengan kadar seng serum (p=0,043; r=-0,225). Kesimpulan. Spektrum klinis infeksi dengue berhubungan kuat dengan kadar feritin yang tinggi dan memiliki hubungan dengan kadar seng serum rendah

    Serum ferritin, serum nitric oxide, and cognitive function in pediatric thalassemia major

    No full text
    Background Hemolysis and repeated blood transfusions in children with thalassemia major cause iron overload in various organs, including the brain, and may lead to neurodegeneration. Hemolysis also causes decreased levels of nitric oxide, which serves as a volume transmitter and slow dynamic modulation, leading to cognitive impairment. Objective To assess for correlations between serum ferritin as well as nitric oxide levels and cognitive function in children with thalassemia major.  Methods This analytical study with cross-sectional design on 40 hemosiderotic thalassemia major patients aged 6−14 years, was done at the Thalassemia Clinic in Dr. Hasan Sadikin Hospital, Bandung, West Java, from May to June 2015. Serum ferritin measurements were performed by an electrochemiluminescence immunoassay; serum nitric oxide was assayed by a colorimetric procedure based on Griess reaction; and cognitive function was assessed by the Wechsler Intelligence Scale for Children test. Statistical analysis was done using Spearman’s Rank correlation, with a significance value of 0.05. Results Abnormal values in verbal, performance, and full scale IQ were found in 35%, 57.5% and 57.5%, respectively. Serum nitric oxide level was significantly correlated with performance IQ (P=0.022), but not with verbal IQ (P=0.359) or full scale IQ (P=0.164). There were also no significant correlations between serum ferritin level and full scale, verbal, or performance IQ (P=0.377, 0.460, and 0.822, respectively). Conclusion Lower serum nitric oxide level is significantly correlated to lower cognitive function, specifically in the performance IQ category. However, serum ferritin level has no clear correlation with cognitive function

    Kejadian Demam dan Kadar IL-10 Serum Pasca Imunisasi DTwP/HepB Ketiga pada Bayi yang Mendapat dan Tidak Mendapat ASI Eksklusif

    No full text
    Latar belakang. Dilaporkan bayi yang mendapat ASI eksklusif lebih jarang mengalami demam pasca imunisasi. Berbagai faktor yang berperan diantaranya adalah IL-10 yang banyak ditemukan dalam ASI. Tujuan. Membandingkan kejadian demam dan kadar IL-10 serum pasca imunisasi DTwP/HepB ketiga antara bayi yang mendapat dan tidak mendapat ASI eksklusif. Metode. Penelitian potong lintang dilaksanakan dari September–Desember 2012 melibatkan 70 bayi usia 4–6 bulan yang menerima imunisasi DTwP/HepB ketiga. Pengukuran suhu tubuh dilakukan sebelum, 30 menit, 6 jam, 12 jam, dan 24 jam pasca imunisasi atau saat demam dilakukan oleh ibu yang telah dilatih. Kadar IL-10 serum diperiksa dengan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Analisis statistik dilakukan dengan uji chi-kuadrat Pearson dan Mann-Whitney. Hasil. Delapan dari 35 bayi yang mendapat ASI eksklusif (23%) dan 32 dari 35 bayi yang tidak mendapat ASI eksklusif (91%) mengalami demam pasca imunisasi (p<0,001; RP 0,25). Demam pasca imunisasi timbul lebih cepat pada bayi yang tidak mendapat ASI eksklusif. Dari 24 bayi yang mengalami demam dalam 3 jam pasca imunisasi , 22 bayi (92%) tidak mendapat ASI eksklusif dan 2 bayi (8%) mendapat ASI eksklusif (p<0,001). Rata-rata suhu pada bayi yang mendapat ASI eksklusif 37,8 oC, sedangkan yang tidak mendapat ASI eksklusif 38,1 oC (p=0,033). Kadar IL-10 serum rata-rata bayi yang tidak mengalami demam pasca imunisasi 3,25 pg/mL, sedangkan yang mengalami demam 1,71 pg/mL (p<0,001). Kadar IL-10 serum rata-rata bayi yang mendapat ASI eksklusif 3,6 pg/mL, sedangkan yang tidak mendapat ASI eksklusif 1,1 pg/mL (p<0,001). Kesimpulan. Kemungkinan kejadian demam pasca imunisasi pada bayi yang tidak mendapat ASI eksklusif adalah 4 kali lebih tinggi dibandingkan bayi yang mendapat ASI eksklusif. Bayi yang tidak mendapat ASI eksklusif lebih cepat mengalami demam dengan suhu yang lebih tinggi. Bayi yang tidak mendapat ASI eksklusif mempunyai kadar IL-10 serum yang rendah daripada bayi yang mendapat ASI eksklusif

    The inappropriate use of antibiotics in hospitalized dengue virus-infected children with presumed concurrent bacterial infection in teaching and private hospitals in Bandung, Indonesia.

    No full text
    BackgroundDengue virus infection (DVI) among children is a leading cause of hospitalization in endemic areas. Hospitalized patients are at risk of receiving unnecessary antibiotics.MethodsA retrospective medical review analysis study was conducted to evaluate the prevalence, indication, and choice of antibiotics given to hospitalized patients less than 15 years of age with DVI in two different hospital settings (teaching and private hospitals) in the Municipality of Bandung. Epidemiological, clinical, and laboratory data were obtained using a pre-tested standardized questionnaire from patients' medical records admitted from January 1 to December 31, 2015.ResultsThere were 537 (17.5%) out of 3078 cases who received antibiotics. Among 176 cases admitted to the teaching hospitals, presumed bacterial upper respiratory tract infection (URTI) and typhoid fever were found in 1 (0.6%) case and 6 (0.3%) cases. In private hospitals among 2902 cases, presumed bacterial URTI was found in 324 (11.2%) cases, typhoid fever in 188 (6.5%) cases and urinary tract infection (UTI) in 18 (0.6%) cases. The prevalence of URTI and typhoid fever were significantly lower in the teaching hospitals compared to the private hospitals (pConclusionThe use of antibiotics in private hospitals was inappropriate in most cases while the use of antibiotics in the teaching hospital was more accountable. This study indicated that interventions, such as the implementation of the antibiotics stewardship program, are needed especially in private hospitals to reduce inappropriate use of antibiotics

    Hubungan Kadar Procalcitonindengan Demam Neutropenia pada Leukemia Limfoblastik Akut Anak

    No full text
    Latar belakang. Kejadian infeksi bakteri pada leukemia limfoblastik akut (LLA) lebih tinggi pada demam neutropenia (DN). Procalcitonin(PCT) memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik dibanding dengan C-reactive protein(CRP). Hal ini masih menjadi perdebatan, pada penelitian sebelumnya dinyatakan bahwa CRP lebih baik dibanding dengan PCT. Tujuan. Menentukan hubungan PCT dengan DN pada LLA anak dengan mengikutsertakan CRP. Metode. Penelitian potong lintang pada 78 subjek usia 0-13 tahun dengan DN dan demam tanpa neutropenia (DTN) yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan pemeriksaan PCT serum. Pemilihan subjek secara consecutive sampling. Variabel dengan nilai p<0,25 pada analisis bivariat dilanjutkan analisis multivariat dengan rasio Odds (RO) dan interval kepercayaan (IK) 95%. Hasil.Di antara 78 pasien LLA didapatkan 27 DN dan 51 DTN. Hubungan kadar PCT dan CRP serum dengan DN berturut-turut RO 3,618 (IK95%: 1,227–10,665) dan RO 3,676 (IK95%: 1,22–11,028). Procalcitonin dan CRP memperlihatkan diskriminasi yang baik dengan AUC 0,752 (IK 95%: 0,639–0,866) serta kalibrasi yang kuat (p=0,692). Kesimpulan. Procalcitoninserum berhubungan dengan DN pada LLA anak yang meningkat hubungannya dengan mengikutsertakan CR
    corecore