5 research outputs found

    Policy Brief 19 - Prepare the umbrella before growing old: Early Steps to Anticipate the Explosion of Elderly Populations

    Full text link
    Ageing population is a global phenomenon that poses impact on the economic growth of all countries in the world. The increasing population of elderly populations in developing countries are considered faster than in developed countries. Around 60 percent of the world's population over 65 years will live in Asia by 2030, causing a number of economies in the region to face demographic challenges before becoming a rich country (Kikuchi 2017). In 2040, the number of elderly populations in Asia will exceed the total population of Europeans and North Americans. In the Asian region, several countries such as Hong Kong, South Korea, Singapore, and Japan, experienced the fastest elderly. South Korea is the fastest ageing country among any country in the world (Heller, 2017). The demographic dividend period in Asia in sequence is China and Thailand will take place around 2035-2040, Malaysia with a demographic dividend period expected to last a little longer until 2045. Meanwhile India, Indonesia, and the Philippines will face an explosion of elderly populations around 2050 (Heller, 2007). In Indonesia, the number of elderly populations in 2050 is estimated to reach 77 million or almost a quarter of the total population. The increase in life expectancy is actually a positive impact of the development and improvement of the quality of life of the community such as improving community nutrition and improving health services. The Ministry of Health stated that the average life expectancy of the Indonesian population was 71 years in 2018. This rate increased from the previous 68 years in 2008 (Ministry of Health 2019; Sunusi 2008)

    The Go-Jek problem: Congestion, Informality and Innovation in Urban Transport in Indonesia

    Full text link
    Belum lama ini muncul sebuah terobosan baru dalam hal transportasi umum, yaitu ojek online yang bisa dipesan melalui ponsel pintar kita. Ojek online ini sangat berbeda dengan sistem ojek tradisional yang sudah ada sejak tahun 1960an. Pada ojek tradisional, harga harus disepakati antara penumpang dan pengemudi. Namun, ojek online menawarkan penggunaan tarif sesuai dengan jarak tempuh. Sejak diperkenalkannya aplikasi ojek online “Go-Jek” pada tahun 2014, perusahaan ini mendominasi pasar ojek di perkotaan. Hal tersebut dipengaruhi dengan layanan dengan tarif relatif murah dan pengendara yang terdaftar. Para pelanggan dapat memesan ojek dan layanan lainnya melalui aplikasi di ponsel pintar mereka. Menurut Go-Jek (2017), saat ini ada sekitar 300 ribu supir Go-Jek, di kota-kota besar di Jawa dan Bali. Keberadaan Go-Jek dan perusahaan aplikasi transportasi lain sejenis, seperti GrabBike Bike dan Uber di kota-kota besar cukup menimbulkan kontroversi. Masalah yang timbul, misalnya, perdebatan sampai kalangan pejabat tinggi yang sempat menyebabkan dibatalkannya salah satu peraturan Menteri Perhubungan terkait pelarangan aplikasi transportasi online yang disebabkan pemerintah belum mampu menyediakan transportasi massal yang cepat dan layak bagi warga. Alasan lain yang menjadi perdebatan, seperti penyerapan tenaga kerja juga digunakan walau banyak pendapat yang menyatakan bahwa pelanggan moda transportasi baru ini hanyalah pindahan dari penyedia transportasi publik yang sudah stabil ke penyedia yang lebih tidak teregulasi. Terkait fenomena tersebut, terdapat penelitian dari Robbie Peters (antropolog dari University of Sydney) yang dilakukan pada awal tahun 2016 di beberapa kantong kemiskinan di Jakarta dan Surabaya. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa banyak diantara laki-laki berusia antara usia 18-60 tahun yang sebelumnya menganggur dan setengah menganggur telah menjadi pengemudi Go-Jek dalam enam bulan terakhir. Meskipun wajar bagi pekerja sektor informal untuk berganti-ganti pekerjaan ketika kesempatan yang lebih baik muncul, fenomena menjadi pengemudi Go-Jek cukup signifikan dilihat dari skala pergeseran dan waktu yang sangat cepat serta guncangan politik yang disebabkannya. Perkumpulan Prakarsa juga telah melakukan survei cepat di wilayah sekitar Jabodetabek pada bulan Mei 2016 terhadap 250 responden pengemudi ojek online untuk menggambarkan profil mereka yang bekerja di sektor ini. Hasil sementara dari survei ini menunjukkan bahwa mereka yang tergabung menjadi pengemudi ojek online adalah laki-laki berusia 20 sampai 60 tahun dengan latarbelakang pendidikan mayoritas SMA, serta sebelumnya bekerja sebagai pekerja sektor informal dan formal yang sedang mencari pendapatan lebih baik. Berdasarkan penelitian sebelumnya tersebut, peneliti University of Sydney, Perkumpulan Prakarsa dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berupaya melakukan penelitian mengenai para pekerja di sektor transportasi online di Jakarta dan Surabaya pada awal tahun 2017. Penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana isu perkembangan layanan ojek online sehubungan dengan isu ketenagakerjaan di kota- kota besar, seperti Jakarta dan Surabaya. Selain itu, penelitian ini juga ingin melihat persepsi warga komuter yang menggunakan jasa mereka. Diharapkan hasil penelitian ini akan memberikan argumen untuk mendorong kebijakan berbasis bukti dengan melihat tren transportasi online di Jakarta dan Surabaya. Penelitian ini menghasilkan studi-studi kasus yang dilakukan dengan beberapa metode. Metode tersebut, antara lain wawancara, survei dan pengamatan terhadap pengemudi ojek, serta perbandingan praktik dan kondisi pekerja transportasi online yang sedang merebak. Penelitian ini juga dilakukan dengan mewawancarai konsumen transportasi tentang persepsi mereka mengenai penggunaan jasa transportasi ini serta wawancara dengan beberapa narasumber kunci yang penting.Online ojek has appeared recently as a new breakthrough in terms of public transportation, which can be booked through our smart phone. This online ojek is very different from the conventional ojek system that already existed since the 1960s. In conventional ojek, prices must be agreed between passengers and drivers. However, online ojek offers the use of fares in accordance with mileage. Since the introduction of online ojek application "Go-Jek" in 2014, this company dominates the ojek market in urban areas. This is influenced by services with relatively cheap tariffs and registered riders. Customers can order ojek and other services through applications on their smartphones. According to Go-Jek (2017), there are currently about 300,000 Go-Jek drivers, in major cities in Java and Bali. The existence of Go-Jek and other similar transportation application companies, such as GrabBike and Uber in major cities are causing controversy. Problems arising on the high official level, for example, through the cancellation of one of the Minister of Transportation regulations related to the prohibition of online transportation applications. The cancellation is due to the inability the government to provide fast and decent mass transportation for public. Others argue with the contribution to labor absorption despite many opinions stating that these costumers of the new transportation mode are merely moving from a stable public transport provider to a more unregulated provider. Related to the phenomenon, a research from Robbie Peters (anthropologist from the University of Sydney) conducted in early 2016 in several pockets of poverty in Jakarta and Surabaya shows that many of the men aged between 18-60 years old who were previously unemployed and underemployed have been Go-Jek's drivers in the past six months. While it is natural for informal sector workers to switch jobs when better opportunities arise, the phenomenon of being a Go-Jek driver is significant in terms of the scale of the shift and the rapid time and the political shocks it causes. Perkumpulan Prakarsa has also conducted a quick survey in the area around Jabodetabek in May 2016 to 250 respondents of online ojek drivers to illustrate the profile of those working in this sector. The current findings from this survey indicate that those who are working as online ojek drivers are men aged 20 to 60 with a majority of high school education background and previously worked as informal and formal sector workers looking for better income. Based on the previous research, University of Sydney researchers, Perkumpulan Prakarsa and the Indonesian Institute of Sciences (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, LIPI) attempted to conduct research on workers in the online transportation sector in Jakarta and Surabaya in early 2017. It aims to understand the issue of the development of online ojek service in relation to labor issues in big cities, such as Jakarta and Surabaya. In addition, this study also seeks the perception of commuting citizens who use their services. It is hoped that the results of this study will provide arguments to encourage evidence-based policies by looking at online transportation trends in Jakarta and Surabaya. This study uses case studies conducted with several methods. These methods include interviews, surveys and observations of ojek drivers, as well as a comparison of the prevailing practices and conditions of online transport workers. This study was also conducted by interviewing transport consumers about their perceptions of the use of these transport services as well as interviews with key informants

    Akses Dan Pemanfaatan Kredit Usaha Rakyat Oleh Perempuan

    Full text link
    Inklusi keuangan menyasar beberapa kelompok masyarakat terutama masyarakat berpenghasilan rendah, seperti pelaku usaha mikro dan wirausaha kecil yang memiliki keterbatasan permodalan hingga kelompok pekerja migran, perempuan, masyarakat di daerah tertinggal, dll. Beberapa program diluncurkan pemerintah sebagai upaya meningkatkan inklusi keuangan, seperti program Laku Pandai, Simpanan Pelajar, Jaring, asuransi pertanian dan ternak, asuransi nelayan, skema Kedit Usaha Rakyat (KUR), dll. KUR sebagai wujud dari jangkauan negara dan institusi perbankan modern ke masyarakat lapisan bawah untuk inklusi keuangan semestinya tak lepas dari siklus aspek gender dan relasi produksi. Kebijakan KUR saat ini sayangnya belum sensitif atau memberikan afirmasi positif agar perempuan mendapat kesempatan dan akses yang mudah untuk mendapatkan KUR. Penelitian ini mempertimbangkan konteks potensi ketimpangan maupun peluang yang dihadapi oleh perempuan pengakses KUR. Selain itu, penelitian ini juga mengambil sudut pandang bank sebagai penyedia layanan KUR dalam menghadapi kendala apa saja yang dialami dalam proses penyaluran KUR. Lebih lanjut tujuan utama dari penelitian ini adalah 1) menganalisis kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan Kredit Usaha Rakyat sebagai upaya mencapai inklusi keuangan, 2) menganalisis mekanisme dan tantangan perbankan dalam penyaluran Kredit Usaha Rakyat dan 3) menganalisis dampak ekonomi, sosial, dan budaya pada perempuan penerima program Kredit Usaha Rakyat. Penelitian ini dilakukan di 3 kota/kabupaten yaitu Kabupaten Indramayu, Kota Jakarta Selatan dan Kabupaten Lombok Tengah dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan dukungan data kuantitatif
    corecore