Demam tifoid merupakan penyakit endemic di Indonesia dengan
insidens yang tertinggi di dunia dalam decade terakhir ini. Dalam rangka
kerjasama riset penyakit infeksi tropic antara Universitas Diponegoro dan
Universitas Nijmegen Negeri Belanda telah dilakukan studi berkesinambungan
demam tifoid antara lain tentang aspek klinik dan epidemiologiknya.
Pertama, untuk mengidentifikasi factor-faktor resiko demam tifoid di
Kotamadia Semarang, telah dilakukan studi epidemologik kasus-kontrol pada
75 pasien demam tifoid dengan konfirmasi bakteriologik dan 75 kontrol
tetangga.i yang diteliti ini, demam tifoid berhubungan erat dengan kondisi
perumahan yang jelek, makanan yang kurang bersih serta hygiene perorangan
yang tidak adekuat.
Dalam studi prospektif untuk mengevaluasi hasil biakan Salmonella
typhi dan Salmonella paratyphi A pada 145 pasien klinis demam tifoid, dapat
disimpulkan bahwa angka kepositifan biakn salmonellae dari sumsun tulang
relative tidak berubah selama 5 hari pertama terapi kloramfenikol.
“Typhoid dipstick assay” adalah tes diagnostic baru untuk demam tifoid
yang bekerja dengan cara mendeteksi antibody Imunoglobulin-M spesifik
terhadap Salmonella typhi. Hasil evaluasi tes diagnostic ini pada 127 pasien
klinis demam tifoid dan 80 pasien demam non-tifoid menunjukkan bahwa
“dipstick assay” mempunyai sensitifitas 86.5% dan spesifitas 89% jika
dibandingkan dengan biakan darah. Karena tidak memerlukan peralatan
canggih, hasilnya cepat diketahui serta mudah pemeriksaannya maka “dipstick
assay” ini dapat digunakan di puskesmas maupun fasilitas pelayanan
kesehatan terpencil.
Berdasarkan studi prognostic pada 504 pasien demam tifoid dengan
konfirmasi bakteriologik telah disusun suatu formula skor prognostic untuk
memprediksi timbulnya komplikasi pada pasien demam tifoid. Sistem skor ini
dapat bermanfaat untuk menyeleksi pasien-pasien demam tifoid di dunia
terutama di Negara-negara Asia, telah dilakukan pemantauan kepekaan
kuman Salmonella typhi terhadap sejumlah antibiotika. Sejauh ini belum
ditemukan strain Salmonella typhi yang “multi-drug resistant” pada seri
kuman yang disilasi dalam periode 1989-1998 di RS. Dr. Kariadi maupunn di
bebrapa rumah sakit lain di Kotamadia Semarang.
Studi terakhir adalah tentang uji klinik secara acak terbuka dengan
control pada 55 pasien demem tifoid yang bertujuan untuk membandingkan
efikasi klinik, bakterologik dan respon imunologik antara kloramfenikol dan
siprofloksasin. Kedua antibiotika ini menunjukkan kesembuhan klinis maupun
efikasi bateriologik dalam darah yang setara terapi siprofloksasin
mengeliminasi Salmonellae dari sumsun tulang secara bermakna lebih baik
disbanding kloramfenikol. Pada kelompok simprofloksasin, penekanan
produksi sitokin (interleukin-1 beta) wx-vivo cenderung lebih cepat menjadi
normal disbanding kelompok yang diterapi dengan kloramfenikol
Is data on this page outdated, violates copyrights or anything else? Report the problem now and we will take corresponding actions after reviewing your request.