Portal Publikasi Ilmiah Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
Not a member yet
440 research outputs found
Sort by
Perkembangan Teknologi Tungku Lebur Logam Besi pada Zaman Kuno di Indonesia
Abstract. Technological knowledge of the use of metals is inseparable from human knowledge in the processing pyrotechnics of fire as a power in high temperature processes for producing objects. The fire is used for smelting and casting in melting furnaces. Metal smelting furnace is a heat production device, which is used to purify the metal, in this case iron. This paper aims to determine the development of ferrous metal smelting furnace technology in Indonesia with the library research method from the results of previous studies. Based on the results of the analysis, there are four technologies for smelting iron, namely pit kiln, bloomery furnace, blast furnace, and induction furnace. Of the four technologies, three are in use in Indonesia, namely bloomery furnace, blast furnace, and induction furnace.Abstrak. Pengetahuan teknologi penggunaan logam tidak terlepas dari pengetahuan manusia dalam memproses pyrotechnology api sebagai tenaga dalam proses suhu tinggi untuk produksi benda. Api digunakan dalam proses peleburan dan pengecoran logam dalam tungku peleburan. Tungku peleburan logam adalah alat untuk memproduksi panas yang digunakan untuk memurnikan logam, dalam hal ini besi. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan teknologi tungku lebur logam besi di Indonesia dengan metode library research dari hasil-hasil penelitian terdahulu. Berdasarkan hasil analisis, terdapat empat teknologi tungku lebur besi, yaitu pit kiln, bloomery furnace blast furnace serta induction furnace. Dari keempat teknologi tersebut, tiga teknologi tungku lebur digunakan di Indonesia, yaitu bloomery furnace, blast furnace serta induction furnace
Lanskap Budaya Pacitan dan Korelasinya dengan Sebaran Hunian, Artefak, dan Bahan Baku di Kawasan Gunung Sewu
Abstract, Pacitan Cultural Landscape and Correlation with The Distribution of Occupation, Artifacts, and Raw Materials in The Gunung Sewu Area. The results of archaeological research in the Gunung Sewu area provide an overview of the cultural landscape of space and time. During the Pleistocene, paleolithic remains were scattered mainly in the Baksoko watershed, Pacitan, and the Oyo River watershed, Gunungkidul. Traces of the cultural heritage of the Gunung Sewu area that last hundreds of thousands of years show a shift in choosing a place to work. An area is selected for activities based on the availability of basic human needs, both food sources (flora-fauna) and raw materials for making equipment. The need for raw materials equipment is an essential factor in describing the cultural landscape map because the choice of location as an activity is reflected in the human mind at that time. Applying paleolithic technology to Pacitan culture and neolithic technology generally uses rock materials that are easy to flake and chip. Therefore, selecting rock material with high hardness (silica content) will determine its sharpness. To reconstruct the cultural landscape in Pacitan in the dimensions of space and time, this aims to explain based on the hypothesis that if a culture is created in a particular natural environment, then the activity will occupy a particular natural environment. The approach used is landscape archeology. Based on this, it can be reconstructed that there are differences in stone raw materials for tool making between the upstream and downstream areas of the river with different technologies. In addition, there was a shift in an occupation that was initially centered around rivers during the Pleistocene, then shifted to karst hills in caves or niches during the Early Holocene.
Abstrak. Hasil penelitian arkeologi di Kawasan Gunung Sewu memberikan gambaran lanskap budaya ruang dan waktu. Pada kala Pleistosen tersebar tinggalan paleolitik, terutama di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Baksoko, Kabupaten Pacitan dan DAS Kali Oyo, Kabupaten Gunungkidul hingga tinggalan neolitik kala Holosen di Ngrijangan lengkap ditemukan di kawasan Gunung Sewu. Jejak tinggalan budaya Kawasan Gunung Sewu tersebut berlangsung ratusan ribu tahun yang menunjukkan adanya pergeseran dalam memilih tempat mereka beraktivitas. Suatu daerah dipilih untuk beraktivitas didasarkan pada tersedianya kebutuhan pokok manusia, baik sumber makanan (flora-fauna) maupun bahan baku untuk pembuatan peralatan. Kebutuhan bahan baku untuk peralatan merupakan faktor penting dalam menggambarkan peta lanskap budaya karena pilihan lokasi untuk beraktivitas tecermin bagaimana alam pikiran manusia pada waktu itu. Penerapan teknologi paleolitik pada budaya Pacitanian dan teknologi neolitik umumnya memakai bahan batuan yang mudah diserpih dan dipangkas. Oleh karena itu, pilihan material batuan dengan kekerasan tinggi (kandungan silikaan) sangat menentukan ketajamannya. Untuk merekonstruksi lanskap budaya di Pacitan dalam dimensi ruang dan waktu ini bertujuan menjelaskan yang didasarkan suatu hipotesis apabila suatu budaya tercipta pada lingkungan alam tertentu, Dengan demikian, suatu aktivitas akan menempati lingkungan alam tertentu. Pendekatan yang digunakan adalah arkeologi lanskap. Berdasarkan hal tersebut, dapat direkonstruksi adanya perbedaan bahan baku batu untuk pembuatan alat antara daerah hulu dengan ilir sungai dengan teknologi yang berbeda. Selain itu, terjadi pergeseran hunian, pada awalnya berpusat di sekitar sungai pada masa Pleistosen, kemudian bergeser ke perbukitan karst di gua atau ceruk pada awal Holosen
Studi Arkeologi Eksperimental Teknik Pengeboran Gelang Batu dari Purbalingga
Abstract. The stone bracelet is a neolithic artifact crafted by drilling techniques. Traces of stone bracelet workshop activities in Central Java were found in Purbalingga, which is spread across the North Serayu Mountains between Kali Tungtunggunung and Kali Laban. This study is based on the previous research hypothesis, which states that the manufacture of stone bracelets is carried out by drilling techniques using bamboo wulung (Gigantochloa atroviolacea). This study aims to prove this hypothesis. An experimental archaeological approach by conducting drilling experiments using several drill bits: iron drills, masonry/concrete iron drills, iron drills for natural stone, and bamboo drills. Meanwhile, the abrasive materials used are water, river sand, and quartz sand. The analysis was carried out by comparing the morphological and morphometric traces of the workings between artifacts and experimental results, based on microscopic observations with a magnification of 20x to 200x. Compared to the other drilling bits and abrasive materials, the experimental study revealed that bamboo drill bits, with quartz-sand and water as additional gritty material, showed the closest similarity.Abstrak. Gelang batu merupakan artefak neolitik yang dibuat dengan teknik pengeboran. Jejak aktivitas perbengkelan gelang batu di Jawa Tengah ditemukan di Purbalingga yang tersebar di Pegunungan Serayu Utara antara Kali Tungtunggunung dan Kali Laban. Penelitian ini didasarkan pada hipotesis penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa pembuatan gelang batu dilakukan dengan teknik pengeboran menggunakan bambu wulung (Gigantochloa atroviolacea). Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan hipotesis tersebut. Melalui pendekatan arkeologi eksperimental dengan melakukan percobaan pengeboran menggunakan beberapa macam mata bor yaitu bor besi, bor besi untuk beton, bor besi untuk batu alam, dan bor bambu. Sementara itu, bahan pengikis yang digunakan adalah air, pasir kali, dan pasir kuarsa. Analisis dilakukan dengan cara komparasi morfologi dan morfometri jejak pengerjaan antara artefak dengan hasil eksperimen, berdasarkan pengamatan mikroskopik perbesaran 20x hingga 200x. Hasil eksperimen dengan menggunakan mata bor bambu dan bahan pengikis air dan pasir kuarsa menunjukkan tingkat kemiripan paling tinggi dibandingkan dengan mata bor dan bahan pengikis lainnya
Bangunan Pasar Tradisional Petojo Enclek: Penerapan Sistem Teknologi sebagai Bukti Perbaikan Kualitas Hidup dan Perubahan Lingkungan di Batavia Abad ke-20 – 21
Abstract. Traditional markets are places and means of meeting sellers and buyers and are marked by direct buyer-seller transactions and usually there is a bargaining process. This research is a study of environmental changes and Petojo Enclek Market in the 20th - 21st Century. The purpose of this research is to see changes in Petojo Enclek Market based on archives, ancient maps, ancient photos, history, technology used in buildings, and market conditions in the past. recently. In this study using qualitative methods, the stages of this research include data collection, data processing, data analysis and data interpretation. The theory used in this study is the Core-Periphery by John Friedman and Weaver, where the Core-Periphery relationship can occur due to the expansion (development) of markets and other infrastructure. This research, it can be seen that there are significant changes in the Petojo Enclek Market building and its surroundings.Abstrak. Pasar tradisional adalah tempat dan sarana bertemunya penjual dan pembeli yang ditandai dengan adanya transaksi penjual pembeli secara langsung dan biasanya ada proses tawar-menawar. Penelitian ini merupakan kajian tentang perubahan lingkungan dan Pasar Petojo Enclek Abad ke-20 hingga abad ke-21. Tujuan penelitian ini untuk melihat perubahan Pasar Petojo Enclek berdasarkan arsip, peta kuno, foto kuno, riwayat, teknologi yang digunakan pada bangunan, dan keadaan pasar pada masa sekarang ini. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Tahapan-tahapan penelitian ini antara lain dengan pengumpulan data, pemrosesan data, analisis data, dan penafsiran data. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Core-Periphery John Friedman dan Weaver yang mengatakan bahwa hubungan Core-Periphery dapat terjadi karena disebabkan perluasan (pembangunan) pasar dan prasarana lainnya. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat perubahan yang cukup signifikan pada bangunan Pasar Petojo Enclek dan sekitarnya
Mengembangkan Kesenian Tradisional Badui Al-Fattah, Wedomartani, Kabupaten Sleman, DIY: Studi untuk Keberlanjutan Seni Tradisional
Since the beginning of 21st century, Bedouin traditional art has declined due to the influence of modern times. It has even shifted to become a tourist attraction. For this reason, efforts are needed to improve human resources for the sustainability of the traditional arts. By using inductive reasoning, this research was conducted to improve the traditional art to be part of Indonesian cultural identity. Direct observations and interviews were made on the traditional Bedouin art group Al Fattah in Wedomartani, Yogyakarta. The outcome of this study is a recommendation for Bedouin art of Al-Fattah to have better management of the accompaniment and sound system, as well as the arrangement of motion gestures so that the art can be more captivating as well as delivering the message to the audience.Sejak awal abad 21 ini, kesenian tradisional semakin menurun kondisinya. Kesenian modern, baik nasional dan internasional, yang sangat mudah dijangkau mempengaruhi minat masyarakat mengembangkan kesenian tradisional. Selain itu, kehidupan pesantren sudah agak luntur karena kebanyakan masyarakat mulai memilih sekolah yang dikelola pemerintah. Pengembangan kesenian tradisional mulai melorot pamornya. Untuk itu, dilakukan usaha menariknya dengan menjadi salah satu objek wisata pertunjukan. Selain itu, juga diperlukan usaha memperbaiki pengelolaan guna keberlanjutan kesenian tradisional. Dengan menggunakan penalaran induktif, penelitian ini dilakukan untuk memperbaiki kesenian tradisional yang akan menjadi wujud identitas budaya Indonesia. Observasi langsung dilakukan terhadap kelompok kesenian tradisional badui Al-Fattah di Wedomartani, DIY. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan wawancara. Berdasarkan hasil kajian, disarankan agar kesenian badui Al-Fattah ini melakukan penataan dalam pengelolaan pengiring dan sound system, serta penataan gerak agar kesenian ini lebih menarik dan pesan kesenian ini dapat tersampaikan kepada pengunjung
Konstruksi Masyarakat Jawa Kuno terhadap Transgender Perempuan pada Abad ke 9-14 M
Abstract. The Construction of Ancient Java Community Towards Transgender Women in The 9th-14th Centuries. Transwomen in Indonesia are easily recognized by one's physical appearance. The survey stated that 89.3% of LGBT (lesbian, gay, bisexual, and transgender) groups have experienced discrimination and violence. The views of the Indonesian people towards transgender women today are influenced by the perspectives and constructions of society in the past. This paper is to reconstruct how the perspective of the ancient Javanese society towards trans women. Thepurpose of this research is to find the origin of the current Indonesian people's view of transgender women from past references. This study uses a descriptive analysis approach through the stages of data collection, analysis, and interpretation. It can be seen that the construction of society during the Javanese era considered transgender people as a group of people with disabilities. In addition to these constructions, for the royal group, trans women are part of the king's servants who have magical and political powers. Thus, trans women had an important position and privileges in the ancient Javanese kingdom. The position of transgender women can also be understood as an archipelago tradition, which places transwomen as a link between the human world and the world of gods, as can be found in bissu in South Sulawesi.
Abstrak. Golongan transpuan di Indonesia mudah dikenali melalui penampilan fisik seseorang. Survei menyebutkan bahwa 89,3% kelompok LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) telah mengalami diskriminasi dan kekerasan. Pandangan masyarakat Indonesia terhadap transpuan dewasa ini dipengaruhi oleh perspektif dan konstruksi masyarakat pada masa lalu. Tulisan ini dimaksudkan untuk merekonstruksi bagaimana perspektif masyarakat Jawa Kuno terhadap transpuan. Tujuan penelitian adalah untuk mencari permulaan pandangan masyarakat Indonesia saat ini terhadap transpuan dari referensi masa lampau. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskripsi analisis melalui tahap pengumpulan data, analisis, dan interpretasi. Dapat diketahui bahwa konstruksi masyarakat pada masa Jawa Kuno menganggap transpuan sebagai golongan disabilitas. Di samping konstruksi tersebut, bagi golongan kerajaan, transpuan merupakan bagian dari abdi raja yang memiliki kekuatan magis dan politis. Dengan demikian, transpuan memiliki posisi yang penting dan hak-hak istimewa dalam kerajaan zaman Jawa Kuno. Posisi transpuan tersebut juga dapat dipahami sebagai suatu tradisi khas Nusantara, yang menempatkan transpuan sebagai penghubung dunia manusia dan dunia dewa, sebagaimana dapat dijumpai pula pada bissu di Sulawesi Selatan