Kurios (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen)
Not a member yet
290 research outputs found
Sort by
Misi dan rekonsiliasi: Merevitalisasi fungsi gereja di tengah konflik sosial
This article aims to revitalize the church's function as a bearer of the mission of reconciliation amid social conflict, especially in Indonesia. Since the era of reform, which was considered to bring fresh air of change to the nation's life, horizontal conflicts have escalated. The church's presence, which cannot be separated from God's mission, is more often associated with the mission of evangelism. Through descriptive analysis of various literature, it was found that the mission built on the paradigm of the Triune God and the incarnation of Christ resulted in a reconciliatory mission. Therefore, the concept of a "missionary church" must also have implications for the mission of reconciliation.
Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk menawarkan sebuah revitalisasi fungsi gereja sebagai pengemban misi rekonsiliasi di tengah konflik sosial, khususnya di Indonesia. Sejak bergulirnya era reformasi, yang dianggap akan membawa angin segar perubahan bagi kehidupan berbangsa di tanah air, konflik horizontal justru semakin meningkat eskalasinya. Kehadiran gereja yang tidak dapat dilepaskan dari misi Allah lebih sering dikaitkan dengan misi penginjilan. Melalui analisis deskriptif berbagai literatur didapatkan, bahwa misi yang dibangun pada paradigma Allah Trinitas dan inkarnasi Kristus menghasilkan misi yang rekonsiliatif. Oleh karena itu, konsep "gereja yang misioner" haruslah juga berimplikasi pada misi rekonsiliasi
Keberpihakan Yesus kepada si kaya atau si miskin: Sebuah kajian biblis pada injil-injil kanonik
Rich and poor are an ancient enigma as old as humanity. The Bible contains many narratives about the problem of the rich and poor. Jesus was very often in touch with the issue of rich and poor. The four canonical gospels provide many accounts of Jesus' response to the question of rich and poor. Therefore, a study of the canonical records is necessary to reveal Jesus’ partisanship, whether to the poor or the rich. This paper demonstrates this partisanship, i.e., embracing both groups where He is the meeting point. As the new body of Christ, the church continues the role of Jesus as a bridge for both groups to meet and make peace. A more extraordinary task is given to the rich to help the poor out of their poverty. Jesus offers a third way.
Abstrak
Persoalan kaya dan miskin adalah persoalan yang sangat tua, setua kemanusiaan itu sendiri. Alkitab berisikan banyak narasi mengenai persoalan kaya dan miskin. Yesus sendiri sangat sering bersentuhan dengan persoalan kaya dan miskin. Keempat injil kanonik memberikan banyak catatan mengenai respons Yesus mengenai persoalan kaya dan miskin. Karenanya mempelajari catatan-catatan kanonik diperlukan untuk menyingkap keberpihakan Yesus, apakah kepada kelompok orang yang miskin atau kelompok orang yang kaya. Makalah ini menunjukkan keberpihakan tersebut, yang mana adalah merangkul kedua kelompok di mana diri-Nya adalah titik temu. Gereja sebagai tubuh Kristus melanjutkan peranan Yesus tersebut yaitu menjadi jembatan bagi kedua kelompok tersebut, bukan hanya untuk bertemu tetapi berdamai. Tugas lebih besar diberikan kepada mereka yang kaya untuk membantu yang miskin keluar dari kemiskinannya. Yesus menawarkan jalan ketiga
Religious and sustainability: Studi integrasi antara pentakostalisme, populisme, dan politik
As part of the world community, Pentecostals must consider their role in achieving the Sustainable Development Goals (SDGs). This role must be carried out in various aspects, including socio-political with a populism approach to unify the identity of Pentecostalism. This research integrates Pentecostalism, politics, and populism to achieve sustainable development. The research method used is descriptive qualitative with a constructive theological approach. The research results show that Pentecostalism populism in politics has a cheerful face in efforts to achieve sustainability. The universalism of the Sustainable Development Goals (SDGs) must be combined with a more internal view and involve the Pentecostal community in the struggle for hegemony over the concept of sustainable development. Populism, which often mobilizes support through emotional issues and religious identity, can be integrated with sustainability strategies through religious communities providing spiritual and moral support. Integration between Pentecostalism, populism, and politics to achieve effective and inclusive sustainable development while recognizing the challenges and need for adaptation in the face of global social, political, and economic change. AbstrakPentakostal sebagai bagian dalam masyarakat dunia ditantang untuk memikirkan peranannya dalam mencapai tujuan Sustainable Development Goals (SDGs). Peranan tersebut mesti dilakukan dalam berbagai aspek, termasuk sosial-politik dengan pendekatan populisme sebagai sarana pemersatu identitas Pentakostalisme. Tujuan penelitian ini adalah mengintegrasikan antara Pentakostalisme, politik, dan populis sebagai sarana untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif dengan pendekatan teologi konstruktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa populisme Pentakostalisme dalam politik berwajah positif dalam upaya mencapai sustainability. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB harus dipadukan dengan pandangan yang lebih internal dan melibatkan komunitas Pentakostal dalam perjuangan mendukung dan menolak hegemoni atas konsep pembangunan berkelanjutan. Populisme, yang seringkali memobilisasi dukungan melalui isu-isu emosional dan identitas religius, dapat diintegrasikan dengan strategi keberlanjutan melalui komunitas agama yang menyediakan dukungan spiritual dan moral. Integrasi antara Pentakostalisme, populisme, dan politik sebagai sarana untuk mencapai pembangunan berkelanjutan yang efektif dan inklusif, sambil mengakui tantangan dan kebutuhan adaptasi dalam menghadapi perubahan sosial, politik, dan ekonomi global
Eksistensi Gereja Protestan Maluku sebagai Gereja Orang Basudara: Sebuah tawaran model misi gereja dalam konteks masyarakat plural
The pluralistic life of Indonesian society and memories of religious conflict, especially in Maluku, has greatly influenced the journey of the Maluku Protestant Church (Gereja Protestan Maluku) so that it calls itself Gereja Orang Basudara. The philosophy of Orang Basudara emerged within GPM to fight for the mission of peace amid the contestation of religious life after the 1999 conflict in Maluku, which left trauma and wounds. Through Alan Rathe's approach regarding participation in ecclesiastical liturgy towards the existence of Gereja Orang Basudara, we examine this article using Joas Adiprasetya's idea of diaclesia to propose a mission of generous hospitality for the GPM's missioecclesiae in a diverse and pluralistic public space with memories of conflicts that have occurred. AbstrakKehidupan Masyarakat Indonesia yang plural dan kenangan konflik beragamanya, terkhusus di Maluku sangat memengaruhi perjalanan Gereja Protestan Maluku (GPM) sehingga menamakan dirinya Gereja orang basudara. Falsafah hidup orang basudara ini menumbuh dalam diri GPM untuk memperjuangkan misi perdamaian di Tengah-tengah kontestasi kehidupan beragama pascakonflik tahun 1999 di Maluku yang menyisakan trauma dan luka. Melalui pendekatan Alan Rathe tentang partisi-pasi dalam liturgi gerejawi terhadap eksistensi Gereja orang basudara, maka artikel ini kami kaji dan uji menggunakan gagasan diaklesia Joas Adiprasetya untuk mengupayakan usulan misi hospitalitas kemurahatian demi mission ecclesiae GPM di ruang public yang majemuk dan plural dengan kenangan konflik yang pernah terjadi
Kejahatan dan penderitaan: Studi psiko-teologis berdasarkan konsep kejahatan John Culp
Evil and suffering are phenomena often central to the studies of theology and psychology, particularly given the high prevalence of these aspects across various world regions, including Indonesia. This research aims to integrate insights from theology and psychology through John Culp's reciprocal approach to addressing and understanding evil and suffering to support the recovery and growth of individuals experiencing trauma. The research method employed is qualitative, involving the analysis of the concept of reciprocity in theology according to John Culp and psychological research on evil and suffering, which are then integrated into the Psycho-theological Reciprocal model. The findings indicate that this integrative approach enriches the understanding and response to evil and suffering, offering a holistic and practical framework for supporting individual recovery, which considers not only theological and psychological aspects but also social and spiritual ones, enabling sustainable and transformative growth for affected individuals. AbstrakKejahatan dan penderitaan merupakan fenomena yang sering menjadi fokus dalam studi teologi dan psikologi, terutama mengingat prevalensi tinggi kedua aspek ini di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengintegrasikan wawasan dari teologi dan psikologi melalui pendekatan resiprokal ala John Culp dalam menangani dan memahami kejahatan dan penderitaan, dengan tujuan mendukung pemulihan dan pertumbuhan individu yang mengalami trauma. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif, melibatkan analisis konsep resiprokalitas dalam teologi menurut John Culp dan penelitian psikologis tentang kejahatan dan penderitaan, yang kemudian diintegrasikan dalam model psiko-teologi Resiprokal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendekatan integratif ini memperkaya pemahaman dan respons terhadap kejahatan dan penderitaan, menawarkan kerangka kerja yang holistik dan efektif dalam mendukung pemulihan individu, yang tidak hanya memperhatikan aspek teologis dan psikologis, tetapi juga sosial dan spiritual, memungkinkan pertumbuhan yang berkelanjutan dan transformatif bagi individu yang terdampak. Â
Agama dan dehumanisasi: Mengembangkan spiritualitas humanis melalui hidup menggereja di era disrupsi digital
Virtual space or the digital world has become integral to postmodern life. With the development of digital technology, the influence of religion in the digital space is also getting stronger. Indications of violence in the name of religion are a reality that triggers a spirit of dehumanization in religious practices, especially in the digital space. This article offers the construction of humanized spirituality in church life as a spiritual principle in the era of digital disruption, which various acts of de-humanism have stigmatized. This research uses a descriptive analysis method with a literature study approach through multiple references to the results of previous studies on similar topics. The research results show that religion has a very humanistic essential nature, so advances in digital technology, which tend to be disruptive, can become a friendly space for labeling religion as the core that builds human values.
Abstrak
Ruang virtual atau dunia digital telah menjadi bagian integral dari kehidupan posmodern; dengan semakin berkembangnya teknologi digital, pengaruh agama dalam ruang digital juga semakin menguat. Indikasi kekerasan atas nama agama menjadi realitas yang memicu sebuah spirit dehumanisasi dalam praktik beragama, terutama di ruang digital. Artikel ini bertujuan untuk menawarkan sebuah konstruksi spiritualitas humanisasi dalam hidup menggereja sebagai prinsip beragama di era disrupsi digital yang selama ini terstigma dengan beragam aksi dehumanisme. Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif dengan pendekatan studi literatur melalui beragam referensi hasil kajian terdahulu pada topik serupa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa agama sejatinya memiliki sifat esensial yang sangat humanis, sehingga dapat disimpulkan bahwa kemajuan teknologi digital yang cenderung mendisrupsi dapat menjadi ruang yang ramah pada pelabelan agama sebagai core yang membangun nilai-nilai kemanusiaan
Revitalisasi filsafat eksistensialisme Kristen dalam manajemen pendidikan kristiani: Merancang sistem pembelajaran yang resilien dan bermakna
Christian education in Indonesia faces excellent challenges in responding to rapid social, cultural, and technological changes. This research uses the literature method to explore the application of Christian Existentialism Philosophy, based on the thoughts of Søren Kierkegaard and Jean-Paul Sartre, in a more reflective, authentic, and resilient Christian education management. This research consists of three steps: critical analysis of the results-oriented educational paradigm, study of existentialism, and development of an academic management model. The results show that the overly rigid and result-oriented model of Christian education ignores critical existential and spiritual dimensions. Integrating existentialism principles can help create a more inclusive, dialogical, and responsive educational management of the local context. Moreover, by incorporating reflective approaches, authentic experiences, and community engagement, Christian education can be more adaptive in shaping students' characters with integrity, insight, and ability to face global challenges. The model also underscores the importance of collaboration between schools, churches, and families in building a holistic and transformative educational ecosystem.
Abstrak
Pendidikan Kristen di Indonesia menghadapi tantangan besar dalam merespons perubahan sosial, budaya, dan teknologi yang cepat. Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan untuk mengeksplorasi penerapan Filsafat Eksistensialisme Kristen, berdasarkan pemikiran Søren Kierkegaard dan Jean-Paul Sartre, dalam manajemen pendidikan Kristen yang lebih reflektif, otentik, dan resilien. Penelitian ini terdiri dari tiga langkah: analisis kritis terhadap paradigma pendidikan yang berorientasi hasil, kajian konsep eksistensialisme, dan pengembangan model manajemen pendidikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model pendidikan Kristen yang terlalu kaku dan berorientasi pada hasil mengabaikan dimensi eksistensial dan spiritual yang penting. Integrasi prinsip-prinsip eksistensialisme dapat membantu menciptakan manajemen pendidikan yang lebih inklusif, dialogis, dan responsif terhadap konteks lokal. Selain itu, dengan menggabungkan pendekatan reflektif, pengalaman otentik, dan keterlibatan komunitas, pendidikan Kristen dapat lebih adaptif dalam membentuk karakter siswa yang berintegritas, berwawasan luas, dan mampu menghadapi tantangan global. Model ini juga menggarisbawahi pentingnya kolaborasi antara sekolah, gereja, dan keluarga untuk membangun ekosistem pendidikan yang holistik dan transformatif
Polidoksi, polipati, dan polipraksis di dalam hidup menggereja yang elastis
Beranjak dari realitas pemisahan teologi, spiritualitas, dan praksis, artikel ini ingin menegaskan pentingnya reintegrasi ketiganya melalui sebuah modifikasi atas model integrasi teologi-spiritualitas yang disebut model poros-roda, yang diusulkan oleh Philip Sheldrake. Artikel ini berargumen bahwa reintegrasi teologi, spiritualitas, dan praksis sebagai tiga dimensi iman yang komunal mengandaikan sebuah model gereja sebagai menggereja-elastis, yang di dalamnya ketiga dimensi tersebut bertumbuh dalam multiplisitas sebagai polidoksi, polipati, dan polipraksis. Cara berpikir “poli†yang diusulkan merupakan alternatif bagi dikotomi “ortho†versus “hetero†yang selama ini dihidupi oleh gereja
Rekonstruksi karakter remaja yang terdampak negatif budaya ma’pasilaga tedong melalui pendekatan teologi spiritualitas Simon Chan
This research aims to see how the character of teenagers is negatively impacted by Ma'pasilaga Tedong culture. The research method uses a qualitative approach with interviews, observation, and content analysis. This research proposes an approach to reconstructing adolescent character through the application of character education with Simon Chan's spirituality theology approach. Chan's principles, which emphasize a deep understanding of sin, human nature, and the integration of Christian doctrine with spirituality, can guide youth toward spiritual growth and character following religious values. The research results show that what initially had a positive value in strengthening cultural identity and community solidarity, its implementation has developed into the practice of gambling and hurts adolescent morality and religiosity. However, the character of teenagers can be built again by providing a deep understanding of sin, vulnerable human nature, and the need to build spiritual values to avoid the negative impacts of the Ma'pasilaga Tedong culture.
Abstrak
Penelitian Ini bertujuan untuk melihat bagaimana karakter remaja yang terdampak negatif dari budaya Ma'pasilaga Tedong. Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan wawancara, observasi, dan analisis konten. Penelitian ini mengusulkan pendekatan rekonstruksi karakter remaja melalui penerapan pendidikan karakter dengan pendekatan teologi spiritualitas Simon Chan. Prinsip-prinsip Chan, yang menekankan pemahaman mendalam tentang dosa, sifat manusia, dan integrasi antara doktrin Kristen dengan spiritualitas dapat membimbing remaja menuju pertumbuhan spiritual dan karakter yang sesuai dengan nilai-nilai keagamaan. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa yang awalnya memiliki nilai positif dalam memperkuat identitas budaya dan solidaritas masyarakat, implementasinya telah berkembang menjadi praktik perjudian dan berdampak negatif terhadap moralitas dan religiositas remaja. Namun, Karakter remaja kembali dapat dibangun dengan memberikan pemahaman yang mendalam tentang dosa, sifat manusia yang rentan, dan perlunya membangun nilai spiritualitas agar terhindar dari dampak negatif dari budaya Ma'pasilaga Tedong
Berteologi yang humanis: Membangun spiritualitas kesetaraan di antara perbedaan pandangan teologis
The phenomenon of theology in the digital space has shown a worrying escalation, where pastors, theologians, or those who call themselves apologists tend to be condescending; they often label each other "heretics." This article aims to share the concept of humanist theology by building a spirituality of equality rooted in the life of the Triune God. Using a literature study approach, through the results of previous research on equality in church and theology, it was found that the church must imitate the life of the Triune God and live it in theology. This study concludes that the spirituality of doing church built on the life of the Triune God makes the church a container of humanity, so in theology, it must be in a humanizing or humanist corridor.
Abstrak
Fenomena berteologi di ruang digital telah menunjukkan sebuah eskalasi yang memprihatinkan, di mana secara gamblang pendeta, teolog, atau mereka yang menyebut diri sebagai apologet cenderung bersikap yang merendahkan; tidak jarang mereka saling memberi label "sesat" terhadap sesama. Artikel ini bertujuan untuk membagikan konsep berteologi yang humanis dengan membangun spiritualitas kesetaraan yang berakar pada kehidupan Allah Trinitas. Dengan menggunakan pendekatan studi pustaka, melalui hasil riset sebelumnya tentang kesetaraan dalam bergereja dan teologi, maka didapati bahwa gereja harus mengimitasi kehidupan Allah Trinitas dan menghidupinya dalam berteologi. Simpulan penelitian ini, bahwa spiritualitas menggereja yang dibangun pada kehidupan Allah Trinitas menjadikan gereja wadah kemanusiaan, sehingga dalam berteologi harus berada pada koridor yang memanusikan atau humanis