UIN (Universitas Islam Negeri) Sunan Kalijaga, Yogyakarta: E-Journal Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora
Not a member yet
720 research outputs found
Sort by
Efikasi Diri dan Intensi Perilaku Cyberbullying Pada Remaja
Massively using the internet that exists today turns out to have a negative impact, such as the emergence of cyberbullying behavior. One of the factors that can influence the emergence of cyberbullying intentions is self-efficacy, this can occur due to a lack of belief in the ability of the self (self-efficacy) that individuals have which can lead to the intention of this behavior. This study aims to determine the relationship between self-efficacy and the intention of cyberbullying behavior in adolescents. There were 349 respondents collected through accidental sampling technique. The measuring instrument used in this study is the General Self-Efficacy Scale (GSES) to measure self-efficacy variables and the Cyberbullying Intention Scale to measure cyberbullying behavior intention variables. The results showed that there was a significant negative correlation between self-efficacy and cyberbullying behavior intention with a correlation coefficient (r) -0.270 and sig 0.000 (p < 0.05). This means that the higher self-efficacy, the lower intention of cyberbullying behavior will appear and vice versa.
Masifnya penggunaan internet yang ada saat ini ternyata menimbulkan dampak negatif, salah satunya adalah kemunculan perilaku cyberbullying. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kemunculan intensi cyberbullying adalah efikasi diri, hal ini dapat terjadi karena kurangnya keyakinan akan kemampuan diri (efikasi diri) yang dimiliki individu sehingga dapat memunculkan intensi terhadap perilaku tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan efikasi diri dengan intensi perilaku cyberbullying pada remaja. Terdapat 349 responden yang diperoleh melalui teknik accidental sampling. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah General Self-Efficacy Scale (GSES) untuk mengukur variabel efikasi diri dan Skala Intensi Cyberbullying untuk mengukur variabel intensi perilaku cyberbullying. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi negatif yang signifikan antara efikasi diri dan intensi perilaku cyberbullying dengan koefisien korelasi (r) -0,270 dan sig 0,000 (p < 0,05). Artinya, semakin tinggi efikasi diri maka akan semakin rendah intensi perilaku cyberbullying yang akan muncul dan begitu pula sebaliknya
Revealing the Ecstasy of Communication upon using Tik Tok: A Virtual Ethnography in Palopo City, Indonesia
This research uses virtual ethnography to analyze TikTok usage patterns and the phenomenon of communication ecstasy among students in Palopo City. The qualitative field research method employed involves the use of questionnaires, interviews, observation, and documentation. A total of 53 students from universities in Palopo City participated in the questionnaire, and four were selected for further analysis through interviews. Data were analyzed using reduction techniques, presentation, and drawing conclusions. The results reveal that TikTok usage is prevalent among students, with daily use averaging over three hours per day. The purpose of use varies, including entertainment, information seeking, stress relief, hobby expression, and money-making. The phenomenon of communication ecstasy is evident in students' addiction to digital symbols like "like," "comment," "share," and "save." TikTok features enable students to immerse themselves in total simulation, blurring the lines between reality and virtuality, representation and reference, and facilitating the creation of simulacra and hyperreality. The implications suggest that TikTok is significantly altering communication patterns among students, leading to a shift from in-depth, meaningful interactions to more superficial, symbolic exchanges. This shift fosters a pseudo-environment where students can meticulously curate and project an idealized version of themselves, further obscuring the boundaries between authenticity and performance. As a result, the emphasis on visual storytelling and viral trends can lead to a culture of comparison and validation, potentially impacting students' self-esteem and social skills in the long ter
Routinizing Charisma: The Rise of Gus and the Transformation of Pesantren in Jepara, Indonesia
Islamic boarding schools (pesantren) in Indonesia serve as influential socio-religious institutions deeply rooted in tradition and community life. Central to their continuity is the figure of the kiai, whose charismatic authority historically shapes both religious practice and institutional governance. This study aims to examine the sociological consequences of leadership transmission from kiai to gus, particularly how this transmission of charisma drives institutional transformation in response to global challenges. Employing a qualitative case study design, the research was conducted at Pesantren Al-Mustaqim in Jepara, Central Java. Data were collected through semi-structured interviews, participant observation, and documentation. Four informants were selected using purposive sampling, consisting of one gus (as the key informant), one alumni, and two members of the local community. Data analysis followed Miles and Huberman’s interactive model, encompassing data condensation, data display, and conclusion verification. The findings reveal that the hereditary transmission of leadership functions as a mechanism for both preserving charismatic legitimacy and introducing adaptive educational reforms. The gus emerges not merely as a successor, but as a transformative agent who bridges traditional Islamic pedagogy with institutional modernisation. The implication of this study is the importance of the routinization of charismatic authority from kiai to gus, which not only strengthens the cultural foundations of the pesantren but also enables for the adaptation of Islamic education to meet the demands of global challenges.
Pesantren merupakan lembaga sosial-keagamaan yang berpengaruh dan berakar kuat dalam tradisi dan kehidupan masyarakat Indonesia. Keberlanjutan pesantren bertumpu pada peran sentral kiai, yang secara historis memiliki otoritas karismatik dalam membentuk praktik keagamaan dan struktur kelembagaannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji konsekuensi sosiologis dari proses transmisi kepemimpinan dari kiai ke gus, khususnya bagaimana transmisi kharisma ini mendorong transformasi kelembagaan dalam merespon tantangan global. Dengan menggunakan metode kualitatif berupa studi kasus, penelitian ini dilakukan di Pesantren Al-Mustaqim di Jepara, Jawa Tengah. Data dikumpulkan melalui: wawancara semi-terstruktur, observasi partisipan, dan dokumentasi. Empat informan dipilih dengan menggunakan teknik purposive sampling, yang terdiri dari satu gus (sebagai informan kunci), satu alumni, dan dua anggota masyarakat setempat. Analisis data mengikuti model interaktif Miles dan Huberman, yang mencakup kondensasi data, tampilan data, dan verifikasi kesimpulan. Temuan penelitian mengungkapkan bahwa transmisi kepemimpinan yang berlangsung secara turun-temurun berfungsi sebagai mekanisme untuk melestarikan legitimasi kharismatik dan mengawali proses pendidikan yang lebih adaptif. Gus muncul bukan hanya sebagai penerus, tetapi sebagai agen transformatif yang menjembatani pedagogi Islam tradisional dengan modernisasi kelembagaan. Implikasi dari penelitian ini adalah pentingnya proses rutinisasi kharisma dari kiai ke gus yang tidak hanya akan semakin memperkuat akar budaya pesantren, tetapi juga membuka ruang adaptasi proses pendidikan Islam yang lebih adaptif terhadap tantangan global
Between Clicks and Convictions: Youth Political Participation on Facebook in Indonesia and Pakistan
Social media has emerged as a pivotal arena for youth political participation, particularly within Muslim-majority societies where access to formal civic channels is often constrained. Despite growing interest in digital political engagement, comparative research remains limited in addressing how socio-cultural and political variables mediate online participation. This study investigates how Muslim youth in Indonesia and Pakistan utilize Facebook to articulate political ideologies, engage in civic discourse, and mobilize collective action. Employing a mixed-method approach, the study draws on both quantitative and qualitative data collected through an online survey administered to 30 purposively selected respondents (15 from each country), comprising Master's and PhD students active in digital political discussions. The survey incorporated both closed-ended items and open-ended questions to capture measurable patterns and nuanced perspectives. The researchers applied thematic and descriptive analyses to interpret trends and narratives emerging from the data. The findings reveal contrasting modes of engagement: Indonesian youth predominantly exhibit issue-oriented, personalized political expression, while the Pakistani youth counterparts demonstrate more ideologically aligned, affectively polarized participation linked to partisan narratives. The implication of these findings is that both policy design and theoretical models of youth political participation must account for cultural and structural specificities, as context-sensitive approaches are essential for effectively understanding and fostering civic engagement in diverse Muslim-majority societies.
Media sosial telah muncul sebagai arena penting bagi partisipasi politik kaum muda, khususnya di masyarakat mayoritas Muslim, dimana akses terhadap saluran-saluran kewargaan formal seringkali terbatas. Meskipun minat terhadap keterlibatan politik digital terus meningkat, riset komparatif masih terbatas dalam mengkaji bagaimana variabel sosial, kultural, dan politik memediasi partisipasi daring. Penelitian ini menjelaskan bagaimana pemuda Muslim di Indonesia dan Pakistan memanfaatkan Facebook untuk mengartikulasikan ideologi politik, terlibat dalam diskursus kewargaan, dan memobilisasi aksi kolektif. Dengan menggunakan pendekatan mixed-method, melalui survei daring terhadap 30 responden terpilih secara purposif (masing-masing 15 dari Indonesia dan Pakistan), yang terdiri atas mahasiswa magister dan doktoral yang aktif dalam diskusi politik digital. Survei ini mencakup pertanyaan tertutup dan pertanyaan terbuka untuk menangkap pola-pola yang terukur sekaligus perspektif yang lebih mendalam. Analisis tematik dan deskriptif digunakan untuk menafsirkan tren serta narasi dari data yang telah dihimpun. Temuan menunjukkan adanya perbedaan pola partisipasi, yakni: pemuda Indonesia cenderung mengekspresikan politik secara personal dan berbasis isu, sedangkan pemuda Pakistan lebih menunjukkan keterlibatan yang terpolarisasi secara afektif dan berorientasi pada ideologi, yang terkait dengan narasi partisan. Implikasi dari temuan ini adalah bahwa baik dalam perencanaan kebijakan maupun pengembangan teoretis partisipasi politik pemuda harus mempertimbangkan kekhasan budaya dan struktur sosial, sebab hal ini sangat penting untuk memahami dan mendorong keterlibatan kewargaan di masyarakat dengan penduduk mayoritas Muslim
Nurturing the Earth through Islamic Ethical Practices and Community-Based Permaculture in Indonesia
The global environmental crisis, marked by climate change, deforestation, and ecosystem degradation, has brought widespread social impacts, including economic inequality, health crises, and food insecurity. In Indonesia, environmental pressures have intensified due to unsustainable agricultural practices, rapid urbanization, and extractive industries, necessitating new development models that prioritize environmental regeneration and social resilience. This study aims to explore how Islamic ecological principles are operationalized through permaculture practices at the Bumi Langit Institute and Kedai Teh Umran in Yogyakarta. This research employed a qualitative method with an interpretive approach. Data were collected through semi-structured interviews, participant observation, and document analysis conducted at both research sites. The data were then analyzed using thematic analysis techniques based on Groat and Wang’s six-phase framework. The findings reveal that the principles of khilafah (stewardship), barakah (blessing), and mizan (balance) have been effectively embodied in agroforestry systems, waste-to-resource cycles, and community development initiatives grounded in Islamic ethics. The study implies that faith-based and community actors play a vital role in addressing contemporary ecological crises and highlights the need for stronger partnerships between religious institutions, academic bodies, and environmental practitioners to advance spiritually grounded innovations in the Anthropocene era.
Krisis lingkungan global yang ditandai oleh perubahan iklim, deforestasi, dan degradasi ekosistem telah membawa dampak sosial yang luas, termasuk ketidaksetaraan ekonomi, krisis kesehatan, dan kerawanan pangan. Di Indonesia, tekanan lingkungan semakin meningkat akibat praktik pertanian tidak berkelanjutan, urbanisasi cepat, dan industri ekstraktif, sehingga diperlukan model pembangunan baru yang berfokus pada regenerasi lingkungan dan ketahanan sosial. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana prinsip-prinsip ekologi Islam dioperasionalkan melalui praktik permakultur di Bumi Langit Institute dan Kedai Teh Umran di Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan interpretatif. Data dikumpulkan melalui wawancara semi-terstruktur, observasi partisipatif, dan analisis dokumen di Bumi Langit Institute dan Kedai Teh Umran. Analisis data dilakukan dengan teknik analisis tematik berdasarkan kerangka enam fase Groat dan Wang. Temuan penelitian menunjukkan bahwa prinsip khilafah, keberkahan (barakah), dan keseimbangan (mizan) telah berhasil diwujudkan dalam sistem agroforestri, siklus limbah, dan pengembangan komunitas berbasis etika Islam. Implikasi penelitian ini menegaskan bahwa aktor berbasis agama dan komunitas memiliki peran vital dalam mengatasi krisis ekologi kontemporer, serta mendorong perlunya kemitraan antara lembaga keagamaan, akademisi, dan praktisi lingkungan untuk memperkuat inovasi berbasis nilai spiritual di era Antroposen
Analyzing Religious Hoaxes and Information Literacy: A Qualitative Study of @JabarSaberHoaks
This study aims to explore how religious hoax content is interpreted and how information literacy competencies are articulated through the Instagram account @jabarsaberhoaks. Using a qualitative content analysis approach, this research analyzes seven hoax posts related to religious issues and classifies them according to First Draft’s typology of misinformation and disinformation. The findings reveal that @jabarsaberhoaks adopts a consistent educational approach that clarifies misleading religious information and embeds information literacy elements, such as fact verification, source evaluation, and hoax categorization, within each clarification post. These posts address various hoax types, including fabricated content, imposter content, manipulated content, misleading content, false context, false connection, and satire/parody. The study concludes that @jabarsaberhoaks plays a strategic role in cultivating public critical awareness and promoting digital literacy, especially in the context of religious hoaxes in West Java
Broken Bonds: How Capitalism, Globalization, and Technology Erode ‘Asabiyyah
Ibn Khaldun, in his Muqaddimah, explained that the cycle of civilizational rise and decline is determined by the strength of ‘asabiyyah. Although various studies have examined the relevance of ‘asabiyyah, particularly within contemporary Muslim societies, the relationship between modernization processes and civilizational collapse within the framework of ‘asabiyyah remains largely underexplored. This study aims to analyze the relevance of ‘asabiyyah in understanding the dynamics of modern civilizations, specifically investigating the impact of capitalism, globalization, and technological advancement on the potential for civilizational decline, using the historical cases of the Soviet Union and Nazi Germany. The research adopts a descriptive qualitative approach through a literature review of books and national and international journal articles focusing on ‘asabiyyah. Data were collected through systematic and selective searches across leading databases such as Google Scholar, PubMed, and Scopus. Data analysis was conducted using meta-analysis techniques to identify major themes, compare arguments, and construct a theoretical synthesis from various sources. The findings of this study indicate that the erosion of ‘asabiyyah can accelerate the internal vulnerabilities of a civilization, as reflected in the historical cases of the Soviet Union and Nazi Germany. The findings of this study underscore the critical importance of strengthening collective identity and social solidarity as prerequisites for the resilience of modern civilizations, while also encouraging comparative studies that integrate Ibn Khaldun’s classical theory with contemporary theories of social solidarity, globalization, and cultural identity.
Ibn Khaldun dalam Muqaddimah menjelaskan siklus kemajuan dan kemunduran peradaban ditentukan oleh kekuatan ‘asabiyyah. Meskipun berbagai penelitian telah mengkaji relevansi ‘asabiyyah khususnya di masyarakat Muslim kontemporer, namun keterkaitan antara proses modernisasi dan keruntuhan peradaban dalam kerangka ‘asabiyyah masih jarang dibahas. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis relevansi ‘asabiyyah dalam memahami dinamika peradaban modern, khususnya pengaruh kapitalisme, globalisasi, dan kemajuan teknologi terhadap potensi kemunduran peradaban dengan mengambil kasus historis Uni Soviet dan Nazi German. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan studi pustaka terhadap buku-buku dan artikel jurnal nasional dan internasional yang berfokus pada ‘asabiyyah. Data dikumpulkan melalui pencarian sistematis dan selektif dari berbagai database terkemuka seperti Google Scholar, PubMed, dan Scopus. Analisis data dilakukan dengan teknik meta-analisis untuk mengidentifikasi tema-tema utama, membandingkan argumentasi, dan menyusun sintesis teoritis dari berbagai sumber. Temuan penelitian menunjukkan bahwa erosi ‘asabiyyah dapat mempercepat kerentanan suatu peradaban, sebagaimana tercermin pada kasus Uni Soviet dan Nazi Jerman. Implikasi penelitian ini menegaskan pentingnya memperkuat identitas kolektif dan solidaritas sosial sebagai prasyarat ketahanan peradaban modern, serta mendorong kajian komparatif yang mengintegrasikan teori klasik Ibn Khaldun dengan teori-teori kontemporer mengenai solidaritas sosial, globalisasi, dan identitas budaya
Prevalence and Risk Factors of Emotional Mental Disorder Among University Students: A Cross-Sectional Study
Emotional mental health issues among university students have shown an increasing trend over time, reaching concerning levels when compared to the general population. Early detection is very important for the university as an early intervention to improve students’ mental health. This study used an analytic observational design with a cross-sectional approach. A total of 1564 students from 10 faculties of Sriwijaya University filled in the SRQ-29 questionnaire online via social media from January 2020 – 27 August 2020. The obtained data were analyzed using the Mann Whitney, Chi-Square, and Binary Logistic Regression Test with a significance value of p<0.05. As much as 56.6% of the students experienced symptoms of neurosis, 75.6% had symptoms of PTSD, 55% had psychotic symptoms, while 1.2% had symptoms of substance abuse. Students with a history of chronic disease are more susceptible to experience emotional mental disorders (86%). Gender, faculty, domicile, history of chronic disease and history of mental disorders in the family significantly affected emotional disorders (p <0.05). Universities need to provide mental health facilities that are managed by professionals and ensure the confidentiality of data in their environment.Permasalahan kesehatan mental emosional di kalangan mahasiswa menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu, bahkan pada tingkat yang mengkhawatirkan jika dibandingkan dengan populasi umum. Deteksi dini sangat penting bagi universitas sebagai intervensi dini untuk meningkatkan kesehatan mental mahasiswa. Penelitian ini menggunakan desain observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Sebanyak 1564 mahasiswa dari 10 fakultas Universitas Sriwijaya mengisi kuesioner SRQ-29 secara online melalui media sosial dari Januari 2020 – 27 Agustus 2020. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Mann Whitney, Chi-Square, dan Uji Regresi Logistik Biner dengan nilai signifikansi p<0,05. Sebanyak 56,6% siswa mengalami gejala neurosis, 75,6% mengalami gejala PTSD, 55% mengalami gejala psikotik, sedangkan 1,2% mengalami gejala penyalahgunaan zat. Mahasiswa dengan riwayat penyakit kronis lebih rentan mengalami gangguan mental emosional (86%). Jenis kelamin, fakultas, domisili, riwayat penyakit kronis dan riwayat gangguan jiwa dalam keluarga berpengaruh signifikan terhadap gangguan emosi (p<0,05). Perguruan tinggi perlu menyediakan fasilitas kesehatan jiwa yang dikelola secara profesional dan menjamin kerahasiaan data di lingkungannya
Self-Determination Pecandu Narkoba yang Sedang Menjalani Masa Rehabilitasi Dikaitkan dengan Abstinence Self-Efficacy
The phenomenon of relapse is still widespread. It is show that the recovery of drug patients has less effective effect without the support of motivation to change from that individual. In psychology, the motivation of drug patients to change is generally associated with the term self-determination. This correlational-quantitative study aims to determine whether there is a relationship between self-determination and abstinence self-efficacy on drug addicts undergoing rehabilitation. Respondents in this study are 200 drug addicts undergoing rehabilitation. The sampling technique uses purposive sampling. The measurement instrument used Self-Determination Scale ( = 0,859) and Abstinence Self-Efficacy Scale ( = 0,930). According to the correlation study results, self-determination and abstinence self-efficacy had a significant value of 0,000 (p<0,05) with r = 0,373. It can be concluded that there is a significant positive relationship between the two variables. The individual that had motivation to change (self-determination) will help them to increase their confidence to recover from drug use.
Masih maraknya fenomena relapse pada pasien narkoba menunjukkan bahwa pemulihan narkoba kurang efektif tanpa adanya dukungan motivasi berubah dari diri individu itu sendiri. Dalam ilmu psikologi, motivasi pasien pengguna narkoba untuk berubah umumnya dikaitkan dengan istilah self-determination. Penelitian kuantitatif-korelasional ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan self-determination dan abstinence self-efficacy pada pecandu narkoba yang sedang menjalani masa rehabilitasi. Partisipan adalah 200 pecandu narkoba yang sedang menjalani masa rehabilitasi yang didapat melalui teknik purposive sampling. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala Self-Determination ( = 0,859) dan Skala Abstinence Self-Efficacy ( = 0,930). Hasil analisis korelasi menunjukkan self-determination dan abstinence self-efficacy memiliki nilai signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05) dengan r = 0,373, sehingga dapat disimpulkan bahwa kedua variabel memiliki hubungan positif yang signifikan. Individu yang memiliki motivasi untuk berubah (self-determination) akan membantunya untuk lebih yakin dengan kemampuannya untuk pulih dari penggunaan narkoba (abstinence self-efficacy)
Fatwas and Figures: How NU and Muhammadiyah Shape Religious Authority on Indonesian Instagram Accounts
Social media has significantly transformed how religious institutions communicate their teachings and assert authority among their followers. This shift became especially visible during the COVID-19 pandemic, when Islamic organizations in Indonesia were required to issue clear guidance on how to carry out religious practices at home. This study examines how the two largest Islamic organizations in Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) and Muhammadiyah, employed public figures and authoritative religious references such as fatwas in their digital communication strategies related to home-based worship. Drawing on Postill and Pink’s netnographic method, the research focused on the official Instagram accounts of the two organizations (@nuonline_id and @lensamu) over a four-month period from March to June 2020. Data were gathered through the observation of both visual and textual content, including captions, posts, and audience responses. The findings indicate that NU relied on respected religious figures and inter-institutional coalitions to legitimize its messaging, while Muhammadiyah emphasized structured authority through formal, systematic, and rationally composed official statements. The implication of this research is the potential to encourage religious institutions to utilize social media as a strategic arena for asserting authority, shaping public perceptions, and adapting their institutional roles in response to the evolving dynamics of society in the digital era.
Media sosial telah membentuk ulang cara institusi agama dalam menyampaikan panduan keagamaan sekaligus menegaskan otoritasnya di hadapan para pengikutnya. Transformasi ini menjadi semakin jelas selama pandemi COVID-19, ketika organisasi Islam di Indonesia dituntut untuk memberikan arahan yang jelas terkait pelaksanaan ibadah di rumah. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dalam memanfaatkan figur publik dan rujukan otoritatif keagamaan (fatwa) di ruang digital, khususnya dengan pelaksanaan praktik ibadah di rumah. Penelitian dilakukan dengan metode netnografi dari Postill dan Pink terhadap akun Instagram resmi kedua organisasi tersebut (@nuonline_id dan @lensamu) selama empat bulan dari Maret hingga Juni 2020. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi konten visual dan tekstual, meliputi caption, unggahan, dan respons publik di kedua akun Instagram tersebut. Temuan menunjukkan bahwa NU menggunakan tokoh-tokoh agama yang dihormati serta membangun koalisi kelembagaan yang luas untuk melegitimasi panduan-panduan yang disampaikan, sedangkan Muhammadiyah menekankan otoritas yang terstruktur melalui pernyataan resmi yang sistematis, formal, dan disusun secara rasional. Implikasi temuan ini dapat mendorong lembaga keagamaan untuk memanfaatkan media sosial sebagai arena strategis dalam menegaskan otoritas, membentuk persepsi publik, dan menyesuaikan peran institusional menghadapi dinamika masyarakat di era digital yang terus berkembang