Ortorektifikasi Foto Format Kecil Untuk Perhitungan Deformasi Jembatan (Studi Kasus : Jembatan Suramadu, Surabaya – Madura)

Abstract

Jembatan Suramadu merupakan jembatan terpanjang di Indonesia yang melintasi Selat Madura untuk menghubungkan Pulau Jawa (di Kota Surabaya) dan Pulau Madura (di Bangkalan), Indonesia. Jembatan terkadang sering mengalami deformasi sehingga dibutuhkan pengamatan deformasi yang bertujuan untuk memberikan informasi geometrik dari benda terdeformasi. Fotogrametri jarak dekat digunakan untuk pengamatan deformasi karena kelebihannya dalam hal efisiensi biaya serta ukuran dan jangkauan objek yang diamati. Proses kalibrasi kamera dan ortorektifikasi dilakukan untuk mereduksi pergeseran film akibat ketidakstabilan parameter orientasi dalam dan parameter orientasi luar pada kamera dijital non metrik format kecil. Metode ortorektifikasi merupakan proses pembuatan foto tegak untuk mengurangi berbagai distorsi akibat kemiringan kamera/sensor dan pergeseran relief berdasarkan persamaan kolinearitas. Hasil dari proses ortorektifikasi berupa mosaik ortofoto dengan sistem koordinat 2 dimensi dan DEM yang dipengaruhi oleh pendefinisian sistem koordinat saat pemotretan dan saat proses ortorektifikasi. Pengamatan deformasi menggunakan proses ortorektifikasi di sisi Gresik jembatan Suramadu pada tanggal 19 Maret 2015 dan 7 Mei 2015 menunjukkan bahwa di bentang 1 (antara Abutment Surabaya dan pilar 1), deformasi pada sumbu XY berkisar antara 1 – 16 mm dan pada sumbu Z berkisar antara 0 – 35 mm. Dan di bentang 100 (antara pilar 99 dan 100), vi deformasi pada sumbu XY berkisar antara 11 – 55 mm dan pada sumbu Z berkisar antara 6 – 37 mm. Uji validasi koordinat mosaik ortofoto terhadap koordinat pengukuran terestris menunjukkan bahwa koordinat mosaik ortofoto di arah Surabaya tidak memiliki nilai yang signifikan sedangkan di arah Madura memiliki nilai yang signifikan terhadap koordinat hasil pengukuran terestris. Sedangkan prosentase rerata jumlah total titik diterimanya hipotesa nol pada pengukuran 19 Maret 2015 di arah Surabaya sebesar 60.42% dan di arah Madura sebesar 27.08%. Terdapat beberapa saran untuk penelitian berikutnya. Pertama, melakukan pengamatan lebih dari 2 kala. Kedua, menggunakan GCP yang memiliki tanda silang. Ketiga, melakukan proses kalibrasi bundle adjustment self calibration dengan menggunakan titik kontrol pada jembatan dan keempat adalah melakukan percobaan lebih dari 1 kali dalam proses ortorektifikasi. ====================================================================================================== Suramadu Bridge is the longest bridge in Indonesia that crosses Madura Strait and connecting Java Island (at Surabaya City) and Madura Island (at Bangkalan), Indonesia. Sometimes, a bridge structure has deformation so that needed to have a monitoring periodically to find out the geometric information of the deformated object. Close range photogrammetry is used in deformation monitoring because of its advantages including cost saving, objects dimention and range of the measurement. Camera calibration and ortorectification are useful to decrease the film movement because of interior and exterior orientation parametre are unstability in small format non metric digital camera. Orthorectification methood is a process for building orthophoto to reduce some distortions caused by rotating camera and relief displacement based on collinearity. Orthophoto mosaic is a result of orthorectification process, which has 2 dimention coordinate system and DEM value suffered by coordinate system determination while capturing and orthorectificating photos. Deformation monitoring using orthorectification at Gresik side of Suramadu bridge on March, 19th 2015 and on May, 7th 2015 shows that at the first tight (between Surabaya Abutment and first pier), any deformations have a range of 1 – 16 mm in the XY axis and 0 – 35 mm in the Z axis. At 100th viii tight (between 99th pier and 100th pier), deformations have a range of 11 – 55 mm in the XY axis and 6 – 37 mm in the Z axis. Test of validation for orthophoto mosaic coordinates showed that orthophoto coordinates in Surabaya side do not have a significant value to the terrestrial measuring coordinates. But at Madura, orthophoto coordinates has significant value to the terrestrial measuring coordinates. Whereas the percentage of the total number of points receives the null hypotesis on March, 19th 2015 at Surabaya is 60.42% and at Madura is 27.08%. There are some advices for the next research. First, do monitoring process more than 2 times. Second, use GCP that have a cross marker. Third, do bundle adjustment self calibration using control point on the bridge and try orthorectification process more than 1 times

    Similar works