Implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah (Rtrw) Terkait Dengan Standardisasi Ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (Rth) Perkotaan (Studi Kasus Pada Rtrw Kota Pasuruan Tahun 2011-2031)

Abstract

Di Indonesia, sedikit sekali kota yang telah berhasil menetapkan RTH minimal 30% (20% publik. 10% privat) luas wilayah. Hanya ada tiga kota yang diklaim telah mampu memenuhi standar yang ditetapkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang tersebut, yaitu Kota Balikpapan seluas 37,40%, Kota Surabaya seluas 26%, dan Kota Banda Aceh seluas 20,52%. Peneliti tertarik untuk mengambil sampel Kota Pasuruan sebagai lokasi penelitian mengapa standardisasi RTH 30% yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat sulit diimplementasikan di berbagai wilayah perkotaan di seluruh Indonesia. Pada Tahun 2016, Kota Pasuruan hanya mampu memenuhi RTH Publik sebesar 8,24% dari total luas wilayahnya. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis implementasi Peraturan Daerah Kota Pasuruan Nomor 1 Tahun 2012 Tentang RTRW Kota Pasuruan Tahun 2011-2031 terkait dengan standardisasi ketersediaan RTH serta mendeskripsikan dan menganalisis faktor pendukung dan penghambat implementasi Peraturan Daerah Kota Pasuruan Nomor 1 Tahun 2012 Tentang RTRW Kota Pasuruan Tahun 2011-2031 terkait dengan standardisasi ketersediaan RTH. Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif melalui pendekatan kualitatif dengan pengumpulan data yang melalui teknik wawancara, obeservasi, dan dokumentasi. Analisis data menggunakan model John W. Creswell yang mengilustrasikan pendekatan linear dan hirarkis. Ditinjau dari teori implementasi kebijakan Freeman dan Sherwood, hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi Peraturan Daerah Kota Pasuruan Nomor 1 Tahun 2012 Tentang RTRW Kota Pasuruan Tahun 2011-2031 terkait dengan standardisasi ketersediaan RTH belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini terlihat dari perencanaan yang kurang matang, pelaksanaan program yang belum maksimal, pengendalian yang belum berjalan sesuai dengan harapan pemerintah, evaluasi yang kurang terkoordinir, serta peran stakeholder yang masih tumpang tindih antar dinas yaitu Bappelitbangda, Dinas PUPR, dan DLHKP Kota Pasuruan. Selain itu juga terdapat faktor penghambat pada sisi internal datang dari kurangnya kesadaran masyarakat untuk ikut serta menjaga dan merawat RTH yang telah disediakan oleh pemerintah beserta segala fasilitasnya, di sisi eksternal datang dari konteks kewenangan dimana terdapat jenis RTH yang ada di wilayah Kota Pasuruan namun kewenangannya ada pada pemerintah provinsi bahkan pemerintah pusat sehingga pemerintah Kota Pasuruan kesulitan untuk mengembangkan RTH terkait

    Similar works