Pengajaran bahasa dan sastra di bangku sekolah kurang mendapatkan
porsi yang seimbang, kalaupun keseimbangan itu dapat diraih belum tentu terjadi
peningkatan kualitas pengajaran sastra selama sistem pengajarannya tidak
berubah. Selama ini diakui atau tidak, pengajaran sastra di sekolah-sekolah hanya
berhenti pada pemahaman materi dasar saja, padahal kalau kita berani membuka
kesempatan untuk lebih menggauli sastra dengan lebih apresiatif terhadap karya-
karya sastra yang ada dalam masyarakat saat itu, maka kemandulan sastra dalam
tubuh pendidikan tidak akan terjadi, dan siswa akan lebih merasa akrab dan tidak
asing dengan karya sastra yang selama ini dinilai angker.
Pemilihan materi pengajaran sastra pada saat ini, saat dimana kurikulum
berbasis kompetensi dilaksanakan serentak diseluruh Indonesia, harus
mengandung koherensi dengan keadaan masyarakat sekitar pengajaran sastra
tersebut dilakukan. Hal tersebut penting dilakukan sebab esensi kurikulum yang
diterapkan saat ini lebih mengajak siswa untuk berinteraksi langsung dengan
fenomena yang terjadi di lapangan. Berpijak dari pemahaman tersebut, maka
kurang tepat kiranya kalau guru hanya mengajarkan novel-novel yang berbobot
sastra saja dan mengenyampingkan novel-novel popular.
Kurikulum berbasis kompetensi lebih menekankan pada kompetensi yang
dimiliki siswa, namun guru juga harus berperan untuk memberikan pengarahan
dan motivasi, salah satunya dapat dilakukan dengan memberikan kebebasan
kepada siswa untuk memilih materi yang disukai. Novel-novel popular, seperti
novel-novel chiklit, teenlit saat ini sangat diminati oleh remaja, yang notabene
mereka adalah siswa tingkat SMP dan SMA. Gairah yang dihembuskan oleh
novel-novel popular tersebut telah meningkatkan kecintaan siswa terhadap karya
sastra, namun tidak bisa dipungkiri bahwa novel-novel popular tersebut masih
terlalu ringan untuk diterapkan sebagai materi. Novel Opera Jakarta karya Titi Nginung, nama samaran Arswendo
Atmowiloto adalah salah satu novel yang menjembatani antara novel berbobot
sastra dengan novel popular. Hal tersebut tentu saja menjadi pertimbangan
tersendiri untuk memilih novel Opera Jakarta sebagai materi ajar pembelajaran
sastra di bangku sekolah, khususnya pengajaran sastra tingkat SMA.
Sastra sendiri pada hakikatnya sengaja menampilkan gambaran
kehidupan; dan kehidupan itu diwakili oleh realitas sosial. Dalam kehidupan atau
kenyataan sosial tersebut, terjadi konflik-konflik dan peristiwa-peristiwa baik
antarindividu, individu dengan kelompok, maupun antarkelompok dalam
masyarakat. Hal tersebut merupakan gejala perubahan kehidupan dalam
masyarakat yang bersifat dinamis. Selalu ada hal-hal baru muncul dalam
masyarakat. Persoalan ini kemudian diungkap oleh sastra.
Novel merupakan bagian dari fiksi yang memiliki kesatuan gagasan dan
bernilai monumental karena menjadi suatu proyeksi dari realitas sosial yang ada.
Novel selain berisi mimesis dari masyarakat juga menjadi potret dunia batin
pengarangnya yang diwujudkan dengan proses kreatif melalui bahasa yang
bersifat katarsis, sublimatif, sekaligus kontemplatif.
Sebuah novel akan memiliki ruh bila diwarnai dengan fakta yang
melingkupi masyarakat saat diciptakannya novel tersebut. Eksperimen yang
mendalam, baik mengenai kondisi sosial, perilaku seorang tokoh, atau bentuk
lainnya akan membantu dalam menghidupkan cerita, namun perlu ditegaskan,
sastra bukan sepenuhnya sejarah, sebab disana otoritas pengarang sebagai
pencipta masih berlaku, artinya pengarang bebas dan berhak memasukkan
imajinasi serta pandangan dunianya kedalam cerita, dan inilah yang membedakan
karya sastra dengan karya lainnya.
Rahmat Djoko Pradopo (1994: 26) memandang karya sastra sebagai
penggambaran dunia dan kehidupan manusia, kriteria utama yang dikenakan pada
karya sastra adalah “kebenaran” penggambaran, atau apa yang ingin digambarkan
pengarang ke dalam karyanya. Melalui penggambaran tersebut pembaca dapat
menangkap penggambaran seorang pengarang mengenai dunia sekitarnya, apakah
itu sudah sesuai dengan nuraninya atau belum. Goldmann (dalam Faruk, 1994: 12) percaya bahwa karya sastra
merupakan sebuah struktur. Struktur yang tercipta bukanlah suatu struktur yang
statis, melainkan merupakan produk dari proses sejarah yang terus berlangsung,
proses strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal
karya sastra yang bersangkutan.
Lewat novelnya yang berjudul Opera Jakarta, Titi Nginung, nama
samaran dari Arswendo Atmowiloto mengangkat problem sosial yang meliputi
serangkaian masalah sosial yang timbul akibat adanya mobilitas sosial seorang
tokoh yang kurang diterima dengan kelas masyarakat barunya (kelas jet set).
Pergolakan hidup tentang cinta, kepercayaan, persahabatan, dendam, dan
persaingan turut mewarnainya.
Masalah timbul karena tokoh menetap di sebuah kota metropolitan yakni
Jakarta dimana setiap masyarakatnya memiliki berbagai masalah yang serba
menyesakkan, bahkan untuk bisa bertahan hidup tidak jarang berbagai topeng
kepatuhan digunakan untuk bisa hidup damai. Tokoh-tokohnya selalu berusaha
berdamai dengan masalah, namun ketika salah satu simpul ketentraman hidup itu
dibuka oleh seorang tokoh yang pemberani maka terbukalah berbagai sisi hitam
putihnya orang-orang yang selama ini selalu lekat dengan topengnya sehingga
memunculkan cerita yang menarik untuk diteliti.
Dengan menggunakan pendekatan strukturalisme genetik dari Goldmann
maka novel Opera Jakarta akan menarik untuk diteliti fakta kemanusiaannya dan
subjek kolektifnya. Bertumpu dari latar belakang diatas judul penelitian ini
diangkat. Penelitian ini berjudul :”Novel Opera Jakarta karya Titi Nginung
(Tinjauan Strukturalisme Genetik)”