Pendidikan sebagai wahana dan sarana perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi memungkinkan setiap manusia untuk
mengembangkan potensi diri dalam menghadapi keadaan yang selalu berubah
dan kompetitif. Tujuan pendidikan nasional dalam menjamin mutu pendidikan
dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta membentuk watak dan peradaban
bangsa yang bermartabat telah diupayakan pemerintah melalui perwujudan
pendidikan yang bermutu pada setiap satuan pendidikan di Indonesia.
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang bertujuan
mendidik siswa untuk mampu berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, serta
kreatif memiliki peranan penting dalam dunia pendidikan. Akan tetapi,
kenyataan masih adanya anggapan bahwa matematika sebagai salah satu mata
pelajaran yang menakutkan, sulit dipahami dan kurang menarik bagi siswa
pada setiap satuan pendidikan menyebabkan matematika membutuhkan
perhatian khusus.
Berdasarkan penelitian dari Trends in International Mathematics and
Science Study (TIMSS), pendidikan matematika di Indonesia sangat
memprihatinkan. Hal ini dibuktikan data UNESCO yang menempatkan
kualitas matematika Indonesia pada peringkat ke-34 dari 38 negara peserta
pada TIMMS 1999, peringkat ke-35 dari 46 negara peserta pada TIMMS 2003 dan peringkat ke-36 dari 48 negara peserta pada TIMMS 2007. Kenyataan
yang ada, data TIMMS yang dipublikasikan tahun 2006 menunjukkan jumlah
jam pelajaran matematika di Indonesia jauh lebih banyak dibandingkan
Malaysia dan Singapura. Siswa kelas 8 di Indonesia rata-rata mendapatkan
169 jam pelajaran matematika, sedangkan Malaysia 120 jam dan Singapura
hanya 112 jam. Akan tetapi, prestasi Indonesia berada jauh di bawah kedua
negara tersebut. Prestasi matematika siswa Indonesia hanya memperoleh skor
rata-rata 411, sedangkan Malaysia mencapai 508 dan Singapura 605 (400 =
rendah, 475 = menengah, 550 = tinggi, dan 625 = tingkat lanjut). Data tersebut
menunjukkan bahwa waktu yang dihabiskan siswa Indonesia untuk belajar
matematika tidak sebanding dengan prestasi yang diraih
(http://zainurie.wordpress.com).
Selain itu, data hasil Ujian Nasional mata pelajaran matematika SMP
Negeri di Kabupaten Pacitan tahun ajaran 2009/2010 menunjukkan prestasi
belajar matematika siswa yang masih rendah. Sekitar 38,67% dari 5.475 siswa
peserta Ujian Nasional Utama memperoleh nilai mata pelajaran matematika
pada rentang 2,00 sampai dengan 5,49, serta sebanyak 1.318 siswa dinyatakan
gagal dan wajib mengikuti Ujian Nasional Ulang. Ada 27 sekolah dari 41
SMP Negeri di Kabupaten Pacitan yang memperoleh nilai rata-rata Ujian
Nasional Utama mata pelajaran matematika diantara 4,13 dan 5,86
(Kemendiknas, 2010)
Berbagai data yang menunjukkan rendahnya prestasi belajar
matematika tersebut harus mampu memotivasi dan memacu para pendidik atau guru untuk selalu berpikir inovatif dan kreatif dalam upaya meningkatkan
prestasi belajar siswanya. Kemampuan siswa dalam memahami dan
menguasai konsep-konsep matematika merupakan faktor utama dalam
mencapai prestasi belajar yang baik. Seorang guru harus mampu
mengorganisasikan pelaksanaan pembelajaran sehingga materi akan
tersampaikan dengan baik dan konsep-konsep matematika dapat dipahami dan
dikuasai oleh siswa. Suatu upaya yang dapat dilakukan oleh seorang guru
adalah dengan inovasi dalam pelaksanaan pembelajaran yang awalnya masih
cenderung konvensional.
Salah satu pandangan tentang pembelajaran yang lahir sebagai inovasi
dalam pembelajaran adalah pandangan konstruktivisme. Pandangan ini
menuntut pendekatan manajemen dan pengorganisasian pelaksanaan
pembelajaran yang berbeda serta menuntut peran aktif siswa dalam
membangun pemahaman dan menguasai konsep. Dua model pembelajaran
yang inovatif dalam pelaksanaan pembelajaran dan sejalan dengan pandangan
konstruktivisme adalah Cooperative Learning tipe Student Team-Achievement
Division (STAD) dan Problem Based Learning (PBL) (Arends, 2008: 1).
Cooperative Learning tipe STAD merupakan metode pembelajaran
kooperatif yang paling sederhana dan model yang paling mudah dilaksanakan
oleh guru yang baru mengenal pembelajaran kooperatif. Model ini telah
digunakan dalam berbagai mata pelajaran dan paling sesuai untuk
mengajarkan bidang studi seperti matematika. Fokus utama dari STAD adalah
adanya kelompok-kelompok diskusi dalam sebuah pembelajaran, sehingga metode ini lebih merupakan metode umum dalam mengatur kelas dari pada
metode komprehensif dalam mengajarkan mata pelajaran tertentu (Slavin,
2009: 12-13).
Problem Based Learning menurut Tatang Herman (2006 : 4) memiliki
fokus utama yaitu memposisikan guru sebagai perancang dan pengelola
pembelajaran, sedangkan siswa bertugas memahami dan menguasai konsepkonsep
matematika melalui aktivitas belajarnya. PBL mengawali
pembelajaran dengan menghadapkan siswa dengan masalah matematika dan
siswa dituntut untuk menyelesaikannya. Di dalam PBL guru tidak
menyampaikan banyak informasi kepada siswa, tetapi siswa diharapkan dapat
mengembangkan pemikiran mereka sendiri. Peran guru dalam PBL adalah
sebagai pemberi masalah, memfasilitasi penyelidikan dan diskusi, serta
memberikan motivasi dalam pembelajaran, sedangkan siswa berperan aktif
sebagai problem solver, decision markers, dan meaning makers (Sugiman,
2006 : 2).
Keberhasilan pembelajaran bukan hanya dipengaruhi oleh model
pembelajaran, akan tetapi dipengaruhi juga oleh gaya belajar siswa yang lebih
dominan, yaitu visual, auditorial, atau kinestetik. Meskipun masing-masing
siswa pada tahapan tertentu belajar dengan menggunakan kombinasi dari
ketiga gaya belajar ini, kebanyakan siswa akan lebih cenderung pada salah
satu di antara ketiganya. Kegiatan pembelajaran harus disesuaikan dengan
gaya belajar siswa, karena siswa yang dapat menyesuaikan gaya belajarnya
dengan pembelajaran yang dilakukan akan lebih mudah dalam menerima dan mengolah informasi serta menggunakannya dalam pembelajaran, sehingga
tujuan pembelajaran yang telah direncanakan oleh guru dapat terlaksana
dengan maksimal (DePorter, 2010: 110-111)