research

Peristiwa 11 September 1926: perlawanan Teungku Peukan terhadap Belanda di Aceh Barat Daya

Abstract

Teungku Peukan sebagai leader of spritual dan sekaligus pejuang dalam masyarakat Manggeng Aceh Barat Daya. Keheroikan dan kearifan beliau dalam memperjuangkan hak dan kepentingan masyarakat lokal dari kebijakan represif kolonial Belanda melalui tekanan uleebalang harus tetap dihargai. Kebijakan Belanda yang eksploitatif dalam mengeksplorasi sumber daya alam dan tenaga, terutama pungutan belasting atau pajak bumi dan rodi untuk kepentingan kolonialisme di "Burno Breuh Sigeupai" memang harus tetap dilawan. Setelah Teungku Peukan syahid dan tertangkapnya beberapa tokoh perlawanan dan perjuangan lainnya, di Aceh Barat Daya serangan terhadap marsose Belanda masih saja terjadi dari akhir tahun 1926 hingga tahun 1930-an. Hal ini akibat dari represivitas dari sistem lini konsentrasi yang dilakukan Belanda membuat kepanikan di dalam masyarakat Aceh. Setelah serangan Teungku Peukan di tangsi Blangpidie pada tahun 1926, Guru Ceubeh dan pengikutnya kembali melakukan penyergapan marsose Belanda di Gunong Sabi, pada tahun 1933. Serangan-serangan ini adalah bukti konkret dari eksistensi resistensi masyarakat terhadap kekuasaan kolonial di Aceh Barat Daya. Sampai akhir kekuasaannya di Aceh Barat Daya kolonial Belanda masih saja menerapkan politik "kekerasan" dalam mengeksploitasi sumber daya alam, terutama dalam pungutan pajak tanah (belasting) dan pengerahan tenaga dalam menggenjot "finansial" mereka. Saat "zaman mafaisse" menghantam perekonomian dunia saat itu, perekonomian kolonial semakin fluktuatif sehingga pada tataran lokal peranan uleebalang semakin digenjot. Akibatnya, sebagai puncak kekesalan masyarakat maka lahirlah bentuk-bentuk resistensi lain · terhadap kolonial seperti yang dikenal dengan Atjehmoorden, baik yang dil~kukan secara individual ataupun secara berkelompok terhadap akses-akses dan kepentingan kolonial di Aceh Barat Daya

    Similar works