GERAKAN KULTURAL TAHINTING
DI KALIMANTAN TENGAH
Studi Kasus Reklaiming Tanah di Desa Tumbang Koling
- Publication date
- Publisher
Abstract
Tidak dipungkiri, bahwa sumber sengketa lahan antara warga masyarakat
dan koorporasi di Desa Tumbang Koling di Kabupaten Kotawaringin Timur,
dilatari adanya perbedaan dasar klaim legalitas pengelolaan tanah. Disatu pihak
warga di desa itu, mengacu pada sumber sejarah perlakuan tanah itu secara social
dan budaya, sedangkan dilain pihak, korporasi mendasarkan legalitas klaim dari
hukum formal yang normatif positivistik. Maka perbedaan itulah yang kemudian
menjadi legal gap di antara kedua belah pihak.
Dalam konteks itu, maka tujuan penelitian untuk memahami gerakan
reklaiming tanah di Desa Koling menggunakan aribut budaya lokal yang disebut
tahinting dan kemudian permasalahan tersebut dikaji dalam perspektif perlawanan
sosial dalam bingkai budaya (cultural framing).
Maka, penelitian ini menggunakan metode etnografi, bagian dari
penelitian kualitatif yang berciri khas studi kasus. Peneliti mengungkap fenomena
makna dibalik tahinting sebagai budaya subsistem yang membingkai aksi
perlawanan dalam konteks gerakan reclaiming menuntut hak tradisional atas
tanah.
Tahinting sebagai aksi budaya dalam perlawanan, diekspresikan lewat
ritual sebagai symbol penolakan sekaligus perjuangan dalam tataran pikiran yang
disebut ideologi gerakan. Dan juga aksi budaya tersebut diperlihatkan dalam aksi
taratan nyata secara terbuka bersifat ekspresif simbolik. Ekspresi budaya tahinting
sebagai bentuk perlawanan itu dimaknai dalam kerangka pemahaman aksi atau
tindakan dualitas, bukan dualisme tindakan.
Selain itu, hasil penelitian ini juga mengungkapkan di mana dalam aksi
budaya tahinting kesadaran kolektif yang dibangun berdasarkan jaringan budaya
kekerabatan yang primordial. Demikian juga halnya motivasi dan tujuan dalam
aksi tidak dilihat dalam kerangka masyarakat mengejar keuntungan ekonomi
semata, akan tetapi hanya aksi yang mencoba mempertahankan susbsistensi
kehidupan mereka sebagai petani tradisional di desa.
Maka dari itu, budaya yang digunakan dalam aksi perlawanan masyarakat
di Desa Koling itulah yang kemudian menjadikan perlawanan tersebut jauh
berbeda dengan gerakan petani di tempat lain