ASPEK JURIDIS PERJANJIAN KREDIT SINDIKASI

Abstract

Mcnyongsong tahap tinggal landas dalam Pernbangunan Nasional di Indonesia, tcrlihat bahwa penekanan pada pemerataan yang diiringi dengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi menjadi paradigma yang mengkcdepan dalam proses pernbangunan karena pertumbuhan ekonomi menjadi ukuran keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Dalam rangka pcrnbangunan nasional ini, peran sektor swasta baik yang berskala bcsar, menengah ataupun kecil terns clipacu untuk lebih menggiatkan aktivitasnya. Aktivitas kegiatan perusahaan tersebut tentunya rnernbutuhkan modal baik untuk pendirian lIlaupun dalam rangka perluasan usahanya. Penggalian dana oleh perusahaan dapat melalui berbagai cara, di antaranya dengan menjual saham dan obligasi di pasar modal atau dengan mengajukan perrnohonan kredit melalui lembaga kcuangan bank atau lembaga pernbiayaan lainnya. Penggalian dana melalui perbankan banyak diminati olch perusahaan. Namun bila jumlah dana yang dibutuhkan sangat besar, hal ini merupakan kendala terscndiri bagi perbankan, terlebih dcugan adanya ketentuan Batas Maksimum Penibcrian Kredit (8M PK) yang diatur dnlam UU No. 711 992 tcntang Perbankan. BMPK membatasi krcdit yang diberikan oleh pemimjam atau sekelompok pemimjam yang terkait tidak boleh melebihi dari 30 % modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Dengan adanya ketentuan BMPK keinampuan suatu bank untuk menyalurkan kredit kepada suatu perusahaan atau group menjadi terbatas, sehingga bank-bank berpaling kepada Iernbaga kredit sindikasi. Hal ini sesuai pernyataan Remi Syahdeini bahwa (Info Bank, No. 170 Pebruari 1994: 12) Penyelesaian masalah pelanggaran pernenuhan BMPK melalui asuransi selain bclum Iancar, sifatnya hanya temperer. untuk itu penyelesaiau yang lebih mendasar seperti pernberian kredit dengan sinclikasi bankhank pcrlu dikcmbangkan

    Similar works