Penelitian ini didasarkan pada sebuah fenomena mengenai feminisme yang
sedang menuai pro dan kontra di masyarakat. Film “Ku Tunggu Jandamu”
merupakan film yang berani merekam gerakan emansipasi wanita, dan
memproyeksikan melalui tokoh utama perempuannya yaitu Persik. Feminisme
yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, telah ada dalam berbagai sisi
kehidupan, termasuk dalam bidang dosmetik perempuan itu sendiri. Film adalah
media komunikasi massa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
feminisme direpresentasikan dalam film. Perempuan dalam media massa sering
digambarkan sebagai korban laki-laki dan sebagai sosok yang pasif.
Feminisme menunjukkan bahwa perempuan dapat setara dengan laki-laki
dan juga dapat memiliki kekuasaan terhadap laki-laki. Dimana perempuan yang
memiliki kemampuan, keahlian, dan dapat menggali potensi diri dengan optimal,
serta dapat menguasai dan tidak diremehkan oleh laki-laki dijadikan sebagai tolak
ukur feminisme. Film sebagai komunikasi massa dan kontruksi realitas sosial,
serta semiotika dalam film, kemudian konsep feminisme yang digunakan adalah
feminisme liberal, feminisme marxis, feminisme radikal-kultural, feminisme
sosialis, feminisme post modern, dan feminisme eksistensialis.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan
metode semiotik. Pendekatan semiotik yang dikemukakan oleh Charles Sanders
Pierce dengan Triangle Meaning dan analisis sinema televisi oleh John Fiske
melalui level realitas, level representasi, dan level ideologi.
Data dibagi tiga level yaitu level realitas, level representasi dan level
ideologi. Pada level realitas, dianalisis penandaan yang terdapat pada kostum,
make up, setting, dan dialog. Sedangkan pada level representasi dianalisis
penandaan yang terdapat pada kerja kamera, pencahayaan, dan penataan suara.
Pada level ideologi dianalisis dengan menggunakan konsep yang melibatkan
hubungan tanda (sign), obyek-obyek (object) dan interpretant, serta mengunakan
ikon (icon), indeks (index) dan simbol (symbol) yang menjadi penandaan terhadap
representasi melalui tokoh Persik.
Kesimpulan peneliti bahwa, terdapat enam representasi feminisme dalam
penelitian antara lain feminisme liberal, feminisme marxis, feminisme radikalkultural,
feminisme sosialis, feminisme post modern, dan feminisme eksistensialis
tercemin melalui sosok Persik. Pada feminisme liberal, Persik sebagai sosok yang
punya otonomi, dan berusaha mengkonstruksi ulang peran yang bersifat gender di
masyarakat. Pada feminisme marxis, Persik sebagai sosok yang menolak bahwa
penindasan perempuan adalah bagian yang esensial dari sistem kapitalis, dan
xiv
berusaha membebaskan perempuan dari keperluan pertukaran (exchange), yaitu
laki-laki mengontrol produksi untuk pertukaran dan sebagai konsekuensinya
mereka mondiminasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi
bagian dari property. Pada feminisme radikal-kultural, Persik sebagai sosok yang
menolak sistem patriarkhi, yang selalu bertindak subjek, dan punya hak untuk
menentukan keputusan. Pada feminisme sosialis, Persik sebagai sosok yang
mengkritik asumsi umum, yaitu meningkatnya partisipasi perempuan dalam
ekonomi lebih berakibat pada peran antagonism seksual ketimbang status. Pada
feminisme post modern, Persik sebagai sosok yang menolak perbedaan antara
laki-laki dan perempuan yang harus diterima dan dipelihara, gender tidak
bermakna identitas atau struktur sosial. Pada feminisme eksistensialis, Persik
sebagai sosok yang menolak bahwa perempuan adalah makhluk yang tidak
lengkap, dan tidak cukup kiranya perempuan dijadikan obyek laki-laki karena segi
biologis yang selalu dianggap perempuan mempunyai keterbatasan biologis untuk
bereksistensi sendiri. Konstruksi feminisme dalam film “Ku Tunggu Jandamu” ini
adalah masih tergolong feminisme setengah jalan, karena pandangan
feminismenya masih terangkai dalam bingkai pemikiran dan perspektif patriarkhi