PEMENUHAN HAK RESTITUSI BAGI KORBAN TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ORANG DIHUBUNGKAN DENGAN UU NO. 31
TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UU NO. 13 TAHUN 2006
TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
Restitusi merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum terhadap
korban yang bertujuan pada pemulihan korban dalam wujud pelaku membayar
sejumlah uang sebagai bentuk pertanggungjawaban pidana atas apa yang telah
diperbuatnya. Dalam praktiknya restitusi menjadi sebuah tantangan baru bagi
aparat penegak hukum. Berdasarkan latar belakang tersebut maka dirumuskan
masalah mengenai, bagaimana bentuk restitusi bagi korban tindak pidana
perdagangan orang? Kendala apa sajakah yang terjadi untuk mendapatkan restitusi
bagi korban tindak pidana perdagangan orang? Upaya apakah yang harus
dilakukan LPSK agar memastikan korban tindak pidana perdagangan orang
mendapatkan perlindungan hukum?
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif dengan dukungan yuridis empiris. Metode-metode ini dikaji
menggunakan data primer berupa hukum positif, asas dan teori hukum serta data
sekunder yang diperoleh dari literatur dan hasil wawancara di lapangan. Metode
analisis data yang digunakan adalah yuridis kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 3 (tiga) peraturan
perundang-undangan yang berorientasi terhadap perlindungan hukum bagi korban
tindak pidana perdagangan orang untuk mendapatkan restitusi. Adapun bentuk
restitusi yang dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf e PP No. 44 Tahun 2008
Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban
sebagai aturan pelaksanaan dari Pasal 7B UU No. 31 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
adalah dalam bentuk pembayaran sejumlah uang kepada korbannya akan tetapi
dalam Pasal 50 ayat (4) UU No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang mengatur bahwa restitusi bagi korban tindak pidana
perdagangan orang dapat diganti dengan pidana kurungan pengganti paling lama 1
(satu) tahun. Kendala untuk mendapatkan restitusi dapat dilihat dari berbagai
faktor yaitu faktor hukum, faktor penegak hukum, faktor kesadaran korban dan
faktor kemampuan dan kemauan pelaku. Adapun upaya yang telah dilakukan oleh
LPSK adalah dengan menjemput serta mendatangi sendiri korban tindak pidana
perdagangan orang untuk diberitahu hak-haknya untuk mendapatkan restitusi.
Menyikapi hal tersebut perubahan terhadap substansi hukum, struktur hukum,
maupun budaya hukum perlu dilakukan agar pemenuhan hak restitusi bagi korban
tindak pidana perdagangan orang lebih maksimal.
Kata Kunci: Tindak pidana perdagangan orang, korban, hak restitusi