Kebenaran menjadi persoalan yang digeluti oleh filsafat sejak dulu. Apalagi,
sekarang berkembang begitu banyak klaim tentang kebenaran. Klaim – klaim ini
bukannya membuat pemahaman kita tentang kebenaran menjadi jelas, tetapi menjadi
semakin membingungkan. Klaim – klaim ini membuat pondasi yang menjadi dasar
kebenaran menjadi rancu. Akibatnya adalah pegangan tesebutyang digunakan untuk
mengukur apa yang benar menjadi tidak jelas. Maka, penulis ingin meneliti suatu
teori tentang kebenaran yang mendasarkan pemahamannya pada hal yang jelas, yaitu
realitas. Tujuannya adalah agar banyak orang memiliki pegangan yang mantap dalam
mendasarkan pemahamannya akan kebenaran.
Dengan latar belakang seperti itu, penulis ingin membahas tentang
kebenaran yang berdasarkan realitas ini. Penulis ingin meneliti kebenaran yang sesuai
dengan yang senyatanya. Kebenaran ini adalah kebenaran menurut St. Thomas
Aquinas. Dalam penelitian ini, penulis membatasi penelitian ini pada wilayah
epistemologi. Artinya penulis tidak akan beranjak ke wilayah moral dan tindakan
yang menjadi penelitian selanjutnya dari penelitian ini. Dalam penelitian ini, penulis
menggunakan metode studi pustaka. Penulis akan mempelajari karya – karya St. Thomas Aquinas, terutama dalam Quaestiones Disputatae de Veritate Quaestio 1.
Penulis akan meneliti konsep kebenaran menurut St. Thomas Aquinas dalam buku
Quaestiones Disputate de Veritate, quaestio 1.
Dalam penelitian tersebut, penulis menemukan bahwa definisi kebenaran
menurut St. Thomas Aquinas adalah adaequatio rei et intellectus. Definisi kebenaran
ini mencakup tiga unsure pokok. Ketiganya membentuk pemahaman konsep
kebenaran yang universal dan obyektif. Unsur yang pertama adalah intellectus.
Intellectus adalah akal budi manusia. Akal budi manusia memiliki peran yang penting
dalam memutuskan suatu kebenaran yang sesuai dengan yang senyatanya. Unsur
yang kedua adalah rei atau ens. Ens adalah benda-benda yang ada di dunia luar diri
manusia. Sedangkan Unsur yang ketiga adalah adaequatio atau suatu usaha untuk
mencapai kesesuaian antara intelek dengan ens. Ketiga unsur tersebut harus ada dan
terpenuhi, agar kebenaran menurut St. Thomas valid.
Selain itu, ada tiga macam kebenaran menurut St. Thomas Aquinas. Ketiga
macam kebenaran tersebut adalah kebenaran ontologis, intelektual dan indrawi.
Kebenaran ontologis adalah kebenaran yang berdasarkan kepada realitas atau ens.
Kebenaran ini merupakan kebenaran obyektif, karena didasarkan kepada apa yang
senayatanya. Kebenaran ontologis menjadi dasar putusan kebenaran yang idbuat oleh
intelek. Kebenaran yang dibuat oleh putusan intelek ini disebut kebenaran intelektual.
Sedangkan, kebenaran indrawi adalah kebenaran yang dihasilkan oleh indra – indra
dari realitas yang dicerapnya. Indra – indra hanya menghadirkan apa yang dicerapnya
dari realitas. Ketiga macam kebenaran ini menyusun suatu kebenaran yang berciri
adaequatio rei et intellectus.
Selain itu, konsep kebenaran menurut St. Thomas Aquinas juga memiliki
dua dimensi, yaitu dimensi universalitas dan multiplisitas. Dimensi universalitas
menunjukkan suatu ukuran ekstrinsik yang menjadi dasar ke-obyektif-an paham
kebenaran ini. Ukuran ekstrinsik ini didasarkan kepada Intelek Ilahi yang menetapkan
dasar dan tujuan segala sesuatu diciptakan, yaitu ens atau realitas yang ada. Dimensi
universalitas merupakan ukuran obyektif atas paham kebenaran ini. Sedangkan,
dimensi multiplisitas menunjukkan ukuran intrinsik yang menjadi dasar kemajemukan paham kebenaran ini. Dimensi ini menunjukkan pemahaman terhadap
ens berdasarkan sudut pandang masing-masing subyek yang mencerap dan
memahaminya, sebab masing-masing subyek memiliki sudut pandang dan latar
belakang yang berbeda antara satu dengan yang lain.
Selain itu, St. Thomas Aquinas juga menjelaskan tentang apa itu kepalsuan.
Kepalsuan adalah posisi oposisi dari kebenaran. Kepalsuan merupakan putusan yang
tidak sesuai dengan ens atau realitas. Ada dua macam kepalsuan, yaitu kepalsuan
indrawi dan kepalsuan intelektual. Kepalsuan indrawi adalah suatu kepalsuan yang
terjadi karena disebabkan oleh pencerapan indra yang salah terhadap realitas. Dari
pengertian ini, kita bisa mengerti dua hal, yang pertama adalah bagaimana indra
berusaha menghadirkan salinan ens dengan sesuai dengan apa yang senyatanya. Akan
tetapi, ada ens yang menampakkan kualitas yang sebenarnya bukan dirinya, sehingga
membuat salinan yang telah dicerap menjadi salah. Akibatnya intelek manusia juga
memutuskan suatu yang salah terhadap ens. Maka, terjadilah suatu kepalsuan.
Sedangkan kepalsuan intelektual adalah suatu kepalsuan yang terjadi karena
kesalahan yang dibuat oleh intelek. Artinya adalah intelek manusia tidak membuat
suatu putusan yang sesuai dengan kenyataan, sehingga salah. Ada dua faktor yang
menyebabkan kepalsuan terjadi, yaitu kebodohan dan penampakan kualitas ens yang
menipu. Kebodohan membuat subyek memutuskan apa yang dicerap dengan tidak
tepat dan tidak sesuai dengan realitas. Penampakan kualitas ens yang menipu
membuat intelek memutuskan suatu yang salah tentang keadaan ens yang senyatanya.
Apalagi, ada salah satu indra yang bisa mengkombinasi data – data hasil pencerapan
terhadap realitas. Indra ini adalah imaginatio. Di dalam imaginatio, ada begitu
banyak data yang bisa dikombinasikan. Jika, imaginatio menyediakan data yang tidak
sesuai, maka intelek bisa memutuskan suatu putusan yang salah atas data yang tidak
sesuai tersebut.
Demikian, kebenaran menurut St. Thomas Aquinas adalah adaequatio rei et
intellectus. Kebenaran ini bersifat obyektif dan universal yang berlaku bagi banyak
orang yang tersusun dari tiga unsur penyusun kebenaran serta memiliki dasar
ontologis atas segala putusan – putusan yang telah dibuat oleh intelek manusia