Di lingkungan masyarakat telah tumbuh etika bisnis β khususnya berkaitan dengan perlindungan konsumen yang pada pokoknya telah cukup memberikan perlindungan kepada konsumen dari tindakan-tindakan pelaku bisnis/pelaku USAha. Namun demikian etika saja masih dianggap kurang tanpa hukum, karena permberlakukan etika perlu ditegakkan secara hukum. Etika, seperti halnya norma kesusilaan, norma kesopanan dan norma agama, kalau belum diterima sebagai norma-norma kehidupan secara hukum, maka sanksi atas pelanggarannya lebih bersifat heteronom atau hanya datang dari diri dan hatinya sendiri, dan agar memiliki daya pengikat sehingga sanksi kepada para pelanggar dapat dipaksakan maka diperlukan hukum (dalam hal ini adalah undang-undang). Negara Indonesia yang sebahagian besar masyarakatnya beragama Islam telah mencoba memfasilitasi upaya perlindungan terhadap konsumen tersebut melalui UURI No.8/1999, yang dalam beberapa hal telah sesuai dengan etika bisnis Islam. Namun, beberapa larangan dan keharusan dalam etika bisnis Islam masih belum termuat, terutama dalam hal larangan jual beli barang/jasa yang haram, larangan riba dan keharusan berzakat, sehingga konsumen muslim merasa belum terlindungi secara kaffah. Untuk itu, maka diperlukan upaya perlindungan konsumen melalui penyusunan peraturan etika bisnis di Indonesia yang aspiratif dengan etika bisnis Islam, yang ditunjang oleh sarana dan prasarana, mental manusia-manusia termasuk aparat penegak hukum dan dukungan di luar hukum, yaitu dukungan berupa kemauan dari pemerintah