unknown

PENGELUARAN KELUARGA (FAMILY EXPENDITURE) UNTUK PENDIDIKAN\ud (Studi Pengeluaran Keluarga Untuk Biaya Pendidikan di IAIN Antasari)

Abstract

Biaya pendidikan menjadi topik menarik untuk\ud dikaji lebih mendalam karena topik itu berhubungan\ud dengan kualitas pendidikan. Riset-riset tentang biaya\ud pendidikan menunjukkan bahwa ada hubungan yang\ud signifikan antara jumlah biaya dengan prestasi siswa.\ud Beberapa hasil penelitian berikutnya sejalan teori\ud tersebut. Peningkatan pengeluaran biaya\ud berhubungan signifikan dengan meningkatnya\ud prestasi. (Greenwald, R., Hedges, L., & Laine, R,\ud 1996). Wenglinsky (1997) menegaskan bahwa\ud terdapat hubungan yang sangat kuat antara uang dan\ud prestasi. Misalnya, setiap USD 1 per siswa yang\ud digunakan untuk pembelajaran berhubungan dengan\ud meningkatnya 1 poin nilai mata pelajaran\ud matematika. Penelitian Molly (2011 : 357) yang di\ud lakukan di Vermont menyimpulkan bahwa\ud peningkatan pengeluaran biaya berdampak pada hasil\ud kelulusan tes matematika. Menurutnya, 10%\ud peningkatan pengeluaran uang akan meningkatkan\ud nilai kelulusan matematika sekitar 2 sampai 6 poin.\ud Dia mengakui bahwa peningkatan hasil juga terjadi\ud pada mata pelajaran lain tetapi peningkatan paling\ud besar ditemukan pada pelajaran matematika.\ud Riset lain yang dilakukan Robert C. Dolan dan\ud Robert M. Schmidt menyimpulkan bahwa expenditure \ud 2\ud effects on achievement may be stronger at the primary\ud school level. (Dolan & Schmidt, 2002) Akan tetapi,\ud pengeluaran sekolah tersebut menyangkut untuk apa\ud alokasi pengeluaran tersebut, bukan berapa\ud pengeluaran seluruhnya. Levavic (2007 : 396)\ud menjelaskan bahwa biaya merupakan salah satu\ud komponen yang menentukan out put lulusan sekolah.\ud Dia menjelaskan bahwa out put lulusan sekolah\ud ditentukan oleh kombinasi dan interaksi beberapa\ud faktor yaitu kontekstual, input, dan variabel proses.\ud Menurutnya, faktor kontekstual (misalnya tipe\ud sekolah, kepemerintahan, masyarakat lokal, dan\ud komposisi sosial) tidak secara langsung dibawah\ud kontrol sekolah. Input, dalam versi Levavic ini,\ud dibagi menjadi input siswa dan input sumber daya.\ud Input siswa, tulis Levavic, lebih terkait dengan\ud karakteristik siswa yang mempengaruhi hasil\ud belajarnya seperti umur, etnis, gender, dan latar\ud belakang keluarga.\ud Penelitian-penelitian itu memberitahukan\ud bahwa biaya pendidikan sangat berperan penting\ud dalam keberhasilan proses pendidikan. Sumber biaya\ud tidak hanya tanggung jawab pemerintah tetapi juga\ud menjadi tanggug jawab pihak lain: keluarga dan\ud masyarakat. Dalam konteksnya dengan biaya yang\ud bersumber dari keluarga tersebut, ada temuan menarik\ud yang diungkapkan Noor (2013) tentang biaya\ud pendidikan di IAIN Antasari. Riset itu menemukan\ud bahwa mayoritas mahasiswa baru angkatan 2013\ud beranggapan biaya pendidikan di IAIN Antasari lebih\ud murah dari perguruan tinggi lain dan sesuai dengan \ud 3\ud kemampuan mereka. Temuan itu menunjukkan bahwa\ud mahasiswa IAIN Antasari memiliki kemampuan\ud membayar SPP maksimal Rp. 600.000,- per semester.\ud Dengan kata lain, mereka tidak mampu membayar\ud SPP yang lebih besar karena penghasilan orang tua\ud mereka terbatas.\ud Dalam konteks pemasaran jasa lembaga\ud pendidikan, temuan itu memberi petunjuk bahwa\ud segmen pelanggan IAIN Antasari adalah masyarakat\ud menengah ke bawah secara ekonomi. Dari sisi citra,\ud segmentasi itu membuat citra lembaga pendidikan\ud sebagai tempat orang-orang tidak mampu secara\ud ekonomi. Lebih jauh, dalam pandangan masyarakat\ud yang semakin maju, harga yang tinggi dianggap\ud cermin kualitas. Pandangan itulah yang digunakan\ud sebagai alasan produsen produk untuk meninggikan\ud harga (skimming price).\ud Temuan itu menjadi lebih menarik jika\ud dibandingkan dengan temuan survey online (Juhaidi,\ud 2013) terhadap mahasiswa IAIN Antasari angkatan\ud 2013 pada rentang waktu Oktober-November 2013.\ud Survey itu memberitahukan bahwa 70% mahasiswa\ud baru yang duduk pada semester satu telah memiliki\ud laptop. Temuan itu cukup mengejutkan karena\ud perangkat laptop bukan barang yang murah bagi\ud mereka yang menganggap SPP Rp. 600.000,-\ud /semester sesuai dengan kemampuan ekonomi\ud mereka. Jika melihat hasil penelitian Noor, dkk.\ud (2013) semestinya mahasiswa yang memiliki laptop\ud tidak sebanyak survey Juhaidi (2013).\ud 4\ud Hasil temuan survey itu dapat didukung dengan\ud catatan pengamatan berikut\ud Pada awal tahun akademik 2010, seorang\ud mahasiswa baru dari kampung menemui saya. Dia\ud bercerita tentang kemampuan ekonomi yang\ud terbatas. Dia harus meminjam uang untuk bayar\ud SPP dan tinggal di asrama untuk mengurangi\ud pengeluaran biaya untuk pendidikan. Akan tetapi,\ud belakangan dia sering terlihat memakai sepeda\ud motor Supra yang berwarna sama di kampus dan\ud laptop.\ud Hasil pengamatan pada mahasiswa yang lain\ud sebagai berikut\ud Sebelum masa pendaftaran ulang mahasiswa baru\ud 2013, seorang ibu dan puterinya bercerita tentang\ud penghasilan keluarganya yang kecil. Nafkah\ud keluarga hanya ditanggung oleh dirinya sendiri,\ud sementara suaminya telah meninggalkannya.\ud Padahal dia memiliki satu orang anak lagi yang\ud masih sekolah di tingkat SMP, selain yang kuliah\ud di IAIN Antasari. Satu-satunya harapan agar dapat\ud kuliah adalah beasiswa. Dia mengatakan apabila\ud tidak mendapat beasiswa, kemungkinan besar,\ud anaknya batal kuliah di IAIN Antasari. Setelah\ud kuliah berlangsung beberapa bulan, dia tampak\ud membawa gadget yang mirip BB, tab, dan\ud handphone. Selain itu, beberapa kali dia terlihat\ud memakai sepeda motor matic Beat warna hitam. \ud 5\ud Hal tersebut paling tidak memberikan\ud gambaran faktual tentang bagaimana keadaan\ud mahasiswa yang mengaku tidak mampu membayar\ud kuliah tersebut. Dengan kata lain, keluarga tersebut\ud secara ekonomi mampu membiayai kuliah\ud (membayar SPP) yang tercermin dari kemampuan\ud ekonomi ketika membayar biaya lain yang tidak\ud berhubungan langsung dengan proses pendidikan\ud (biaya tidak langsung). Hal itu menarik karena biaya\ud tidak langsung tersebut jauh lebih besar dari biaya\ud langsung (membayar SPP). Akan tetapi, pada sisi\ud lain, mahasiswa yang benar-benar tidak mampu juga\ud terlihat. “Saya pernah berbincang dengan seorang\ud mahasiswa yang harus membantu di kantin untuk\ud biaya hidup sehari-hari. Ada juga yang setiap hari\ud memakai baju yang sama, sangat sulit mencari dia\ud karena tidak memiliki handphone”, tutur seorang\ud tenaga administrasi. Mahasiswa-mahasiswa yang\ud tidak mampu seperti itu kemudian mendapat beasiswa\ud dan dari beasiswa itulah mereka bisa membeli laptop\ud dan keperluan kuliah lain.\ud Terlepas dari hal tersebut, bagi keluarga yang\ud tinggal di desa, opportunity cost (biaya kesempatan)\ud yang hilang akibat meninggalkan desa untuk\ud melanjutkan pendidikan sangat menjadi faktor yang\ud harus dipertimbangkan. Penghasilan dengan bekerja\ud di desa, misalnya menyadap karet, hilang (earning\ud forgone) karena harus kuliah di Banjarmasin menjadi\ud hal tidak bisa diabaikan begitu saja oleh masyarakat\ud desa. Perhitungan pendapatan yang hilang akibat\ud anak mereka kuliah di Banjarmasin juga menjadi satu \ud 6\ud hal yang mendorong anggapan bahwa kuliah jauh dari\ud kampung memerlukan biaya tinggi.\ud Dengan kata lain, keluarga lebih cenderung\ud tidak mampu membayar biaya langsung pendidikan\ud daripada membayar biaya tidak langsung. Keluarga\ud akan merasa tidak mampu keberatan membayar biaya\ud langsung yang berhubungan dengan proses\ud pendidikan, dalam hal ini SPP, dalam jumlah tertentu\ud tetapi pada saat yang sama keluarga akan mampu\ud membayar jumlah yang sama jika untuk membayar\ud biaya tak langsung misalnya, membeli Hp, laptop,\ud pulsa, dan sepeda motor. Hal itu, paling tidak muncul\ud dugaan, biaya langsung pendidikan dianggap\ud masyarakat harus menjadi tanggung jawab\ud pemerintah. Dengan demikian, keluarga dapat\ud mengeluarkan biaya tidak langsung yang lebih besar\ud misalnya, membeli sepeda motor, gadget, dan pulsa\ud serta biaya tak langsung lain.\ud Itu sejalan dengan temuan riset Asian\ud Development Bank (Clark et.all, 1998 : 42) yang\ud menunjukkan bahwa kontribusi keluarga dalam hal\ud biaya biaya pendidikan berada pada kisaran 3 sampai\ud 17%. Pada tingkat SD, kontribusi keluarga 3% dari\ud biaya pendidikan, SMP 12%, SMA 17% dan SMK\ud 15%. Pada kurun waktu 2001 – 2007, Jepang,\ud Republik Korea, Philippina, Indonesia, Brazil, dan\ud beberapa negara di Amerika Latin menerapkan\ud kebijakan yang menggeser biaya ke orang tua dan\ud siswa.\ud OECD (2012) juga melihat kecenderungan\ud meningkatkan biaya pendidikan di tingkat universitas \ud 7\ud dari tahun 2000 sampai 2009. Biaya yang dikeluarkan\ud orang tua meningkat dari 22,9% menjadi 30% pada\ud pendidikan tinggi sedangkan pada tingkat pendidikan\ud dibawahnya meningkat dari 7,1% menjadi 8,8%.\ud Menurut publikasi tersebut, pengeluaran pemerintah\ud tidak berkurang untuk pendidikan, tetapi pengeluaran\ud orang tua dan pemerintah semakin besar sama-sama\ud meningkat dengan pertumbuhan yang berbeda.\ud Meskipun demikian, semakin besarnya pengeluaran\ud keluarga untuk pendidikan tinggi tersebut tidak\ud berhubungan dengan terbatasnya atau turunnya\ud kesempatan keluarga kurang mampu untuk memasuki\ud perguruan tinggi.\ud Riset yang dilakukan Organization for\ud Economic Cooperation and Development (OECD) di\ud negara-negara maju (AS, Inggris, Korea Selatan\ud Finlandia dan lain-lain) tersebut memberikan\ud gambaran bahwa peran keluarga serta perusahaan\ud cenderung semakin besar dalam pendidikan tinggi\ud tanpa mengurangi peran pemerintah. Dengan kata\ud lain, dukungan untuk pendidikan tinggi diberikan\ud masyarakat (keluarga dan perusahaan) serta\ud pemerintah secara bersama. Kecenderungan itu\ud berbeda dengan pembiayaan pendidikan di Indonesia\ud yang peran masyarakat akan berkurang jika\ud pemerintah memberikan dukungan yang lebih besar\ud untuk pendidikan. Hal itu tergambar dari tag line\ud “pendidikan gratis” yang mengurangi peran keluarga\ud dan juga perusahaan untuk pendidikan karena\ud semuanya sudah ditanggung pemerintah

    Similar works