Madura dikenal sebagai pulau yang gersang, perekonomian minus, panetrasi Islam yang sangat
dominan dalam setiap aspek kehidupan, penduduknya temperamental dan terkesan ekslusif sehingga
secara sosial relasi seringkali dibangun atas prasangka dan kewaspadaan terhadap orang lain yang
belum dikenalnya, karenanya dalam kosa kata madura didapati istilah oreng dibik (kerabat sendiri)
dan oreng laen (orang di luar kerabat) untuk menandai adanya perbedaan perlakuan dalam
berhubungan secara sosial.
Dalam arsitektur ciri ekslusifitas dan keislaman dapat dilihat dari bagaimana unit-unit ruang
bermukim yang disusun secara komunal dengan batas teritori yang tegas berjenjang terikat dalam satu
inti tanean lanjheng (halaman yang panjang) dan langghar (surau) yang selalu ada sebagai sumbu
utama orientasi ruang.
Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana pola ketersusunan ini terjadi dan bagaimana ia
berperan dalam pola pertahanan komunalitas ruang bagi keluarga dan kerabatnya melalui pembinaan
nilai-nilai ke-Islaman yang dipahaminya secara fanatis. Pengamatan dilakukan terhadap pola
ketersusunan ruang bermukim dan bagaimana relasi kehidupan dilangsungkan. Pengamatan akan
dikaitkan dengan bagaimana Islam sebagai sebuah sistem sosial dan budaya, karakteristik masyarakat
yang ekslusif dan kondisi lingkungan yang minus sebagai unsur penting yang mempengaruhi
bagaimana ruang bermukim itu disusun dan berperan dalam upaya pembinaan keluarga masyarakat
Madura.
Penelitian dilakukan di desa Prenduan Sumenep Madura dengan menggunakan metoda naturalistik
untuk dapat merekam bagaimana arsitektur dan relasi sosial berlangsung dalam kondisi alamiahnya.
Sehingga tujuan penelitian untuk memperoleh gambaran yang sesungguhnya dari keterkaitan
arsitektur ruang bermukim, agama, sosial dan lingkungan dapat menjelaskan dengan baik terhadap
bagaimana tujuan pembinaan keluarga dalam komunitas masyarakat Madura diperankan melalui
gagasan perancangan arsitektur yang original