Masyarakat Internasional telah sepakat membentuk kerja sama internasional dalam
hal pemulangan pelaku kejahatan melalui mekanisme ekstradisi sebagaimana
dirumuskan dalam konferensi PBB pada tahun 2000 di Palermo, Italia yang
melahirkan UNTOC. Indonesia sendiri telah memiliki Undang-undang yang
mengatur masalah ekstradisi yaitu Undang-undang RI No.1 tahun 1979. Tidak
mengherankan apabila ada beberapa ketentuan ekstradisi di UNTOC yang belum
diatur dalam UU RI No.1 tahun 1979 tentang ekstradisi, seperti UNTOC
menyaratkan Negara-negra untuk melaksanakan proses ekstradisi secara singkat
(simplified ektradition process) demi terciptanya kepastian hukum. Pada praktiknya
penanganan ekstradisi di Indonesia membutuhkan waktu yang lama dan proses
birokrasi yang panjang. Menyikapi hal tersebut Polri kemudian membuat suatu
alternatif mekanisme penyerahan pelaku kejahatan transnasional yang tertangkap di
Indonesia dari Polri kepada penegak hukum negara yang berhak mengadilinya, proses
ini disebut dengan handing over. Handing over merupakan penyederhanaan
berdasarkan pertimbangan taktis dari ketentuan-ketentuan yang sepenuhnya didasari
serta berpedoman pada Undang-Undang ekstradisi Nomor 1 tahun 1979 dan
kepentingan bersama antara penegak hukum negara peminta serta negara yang
diminta. Kebijakan handing over yang diciptakan oleh Polri tentunya berasaskan
resiprositas (timbal balik), dengan tujuan apabila pelaku kejahatan yang dicari Polri
tertangkap di negara yang sebelumnya telah dibantu oleh Polri, maka aparat penegak
hukum negara tersebut harus menyerahkan pelaku kepada Polri melalui handing over
bukannya ekstradisi. Sebagaiamana yang disampaikan Deflem bahwa kerja sama
kepolisian lebih efektif karena didasari adanya suatu kepentingan bersama juga
karena adanya kultur profesi yang hampir serupa diantara polisi-polisi di duni