Penerapan Pasal 16 Ayat 8 Konvensi UNTOC pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi

Abstract

Masyarakat Internasional telah sepakat membentuk kerja sama internasional dalam hal pemulangan pelaku kejahatan melalui mekanisme ekstradisi sebagaimana dirumuskan dalam konferensi PBB pada tahun 2000 di Palermo, Italia yang melahirkan UNTOC. Indonesia sendiri telah memiliki Undang-undang yang mengatur masalah ekstradisi yaitu Undang-undang RI No.1 tahun 1979. Tidak mengherankan apabila ada beberapa ketentuan ekstradisi di UNTOC yang belum diatur dalam UU RI No.1 tahun 1979 tentang ekstradisi, seperti UNTOC menyaratkan Negara-negra untuk melaksanakan proses ekstradisi secara singkat (simplified ektradition process) demi terciptanya kepastian hukum. Pada praktiknya penanganan ekstradisi di Indonesia membutuhkan waktu yang lama dan proses birokrasi yang panjang. Menyikapi hal tersebut Polri kemudian membuat suatu alternatif mekanisme penyerahan pelaku kejahatan transnasional yang tertangkap di Indonesia dari Polri kepada penegak hukum negara yang berhak mengadilinya, proses ini disebut dengan handing over. Handing over merupakan penyederhanaan berdasarkan pertimbangan taktis dari ketentuan-ketentuan yang sepenuhnya didasari serta berpedoman pada Undang-Undang ekstradisi Nomor 1 tahun 1979 dan kepentingan bersama antara penegak hukum negara peminta serta negara yang diminta. Kebijakan handing over yang diciptakan oleh Polri tentunya berasaskan resiprositas (timbal balik), dengan tujuan apabila pelaku kejahatan yang dicari Polri tertangkap di negara yang sebelumnya telah dibantu oleh Polri, maka aparat penegak hukum negara tersebut harus menyerahkan pelaku kepada Polri melalui handing over bukannya ekstradisi. Sebagaiamana yang disampaikan Deflem bahwa kerja sama kepolisian lebih efektif karena didasari adanya suatu kepentingan bersama juga karena adanya kultur profesi yang hampir serupa diantara polisi-polisi di duni

    Similar works