KONSELING LINTAS BUDAYA

Abstract

Dalam bidang konseling dan psikologi, pendekatan lintas budaya dipandang sebagai kekuatan keempat setelah pendekatan psikodinamik, behavioral dan humanistik (Paul Pedersen, 1991). Banyak pengarang menulis tentang konseling lintas budaya sering dari populasi minoritas mereka sendiri, mengartikan secara berbeda-beda sebagaimana keragaman dan perbedaan budayanya. Dalam konseling lintas budaya terlibat adanya relasi antara konselor dan konseli Bagaimanapun relasi yang terjadi dalam konseling adalah relasi dalam situasi kemanusiaan, artinya baik konselor maupun klien adalah manusia dengan karakteristiknya masing–masing, baik karakteristik kepribadiannya maupun karakteristik nilai, moral dan budaya yang dibawa masing– masing. Dengan demikian relasi konseling tidaklah sederhana. Konselor harus memiliki kesadaran adanya perbedaan karakteristik (pribadi, nilai, moral, budaya) antara dirinya dengan kliennya, serta menghargai keunikan kliennya. Perbedaan-perbedaan ini bagaimanapun akan mempengaruhi proses konseling. Di sinilah perlunya konseling berwawasan lintas budaya, yaitu konseling yang mengakomodasi adanya perbedaan budaya antara konselor dan klien. Konseling berwawasan lintas budaya efektif untuk mengeleminir kemungkinan munculnya perilaku konselor yang menggunakan budayanya sendiri (counselor encaptulation) sebagai acuan dalam proses konselin

    Similar works