Dengan akal manusia mampu membedakan mana yang hak dan yang batil, mana yang benar dan mana yang salah. Sebagaimana Al-Qur‘an memang merupakan suatu sumber kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan. Namun kebenaran Al-Qur‘an tidak hanya bersifat Internal bagi dirinya sendiri, tetapi yang lebih penting lagi adalah makna eksternalnya, sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Islam sebagai agama yang bersandar pada wahyu, yaitu Al-Qur‘an pada dasarnya menuntut pemeluknya untuk dapat berdialog dengan wahyu itu, dengan menggunakan kapasitas akalnya secara optimal dalam memahami wahyu. Kedua hal ini hendaknya memiliki hubungan yang bersifat fungsional, agar manusia mampu berdialog dengan wahyu dalam upaya menjadikan wahyu sebagai pedoman hidup bagi manusia.
Jika akal dan wahyu memiliki hubungan secara struktural, artinya wahyu di atas akal, atau sebaliknya akal di atas wahyu. Sehingga salah satu dari keduanya mensubordinasi yang lainnya, maka akan membawa kesulitan munculnya dinamika fungsional keduanya. Hubungan yang bersifat struktural tidak bisa diterapkan dalam memahami wahyu. Karena wahyu tidak bisa dipahami secara benar, dan akal tidak bisa memahami kebenaran yang hakiki tanpa adanya wahyu. Musa Asy‘arie dalam bukunya Islam Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Umat menjelaskan akal dan wahyu pada tahap dialog, akal berhubungan secara fungsional dengan wahyu, bukan hubungan atas struktural atas-bawah.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research) yang bersifat deskriptif-analisis. Metode deskriptif digunakan untuk membuat deskripsi, gambaran atau melukiskan hubungan-hubungan dari sebuah data, kemudian dilanjutkan dengan metode analisis, untuk menganalisis data, kemudian mereduksi, melakukan penafsiran dan interpretasi serta menarik kesimpulan. Dalam penelitian ini sebuah data diolah dan digali dari berbagai buku, surat kabar, majalah, makalah, berbagai literatur yang berkaitan dengan tema penelitian ini dan tentunya sebagai data primer juga wawancara terhadap narasumber, yakni Musa Asy‘arie sendiri.
Al-Qur‘an sebagai pedoman hidup bagi manusia menyiratkan secara tegas adanya hubungan fungsional, dan menolak hubungan struktural, karena jika antara akal dan wahyu memiliki hubungan struktural, maka akal tidak bisa berfungsi kreatif dalam memahami Al-Quran sebagai pedoman hidup. Sehingga pemahaman dan penafsiran secara kreatif terhadap wahyu menjadikan mutlak diperlukan, agar segala firman-firman Tuhan yang terkandung di dalam Al-Quran bisa dijadikan pedoman hidup, dan sebagai jawaban bagi persoalan-persoalan yang dihadapi oleh manusia. Baik secara langsung, dengan memfirmankan di dalam Al-Qur‘an, atau secara tidak langsung, dimana wahyu memberikan inspirasi kreatif dalam pemecahan persoalan yang ada