Pengendalian Kualitas Produksi Cokelat Bubuk Menggunakan Metode Six Sigma, Failure Mode And Effect Analysis (FMEA), dan Fault Tree Analysis (Studi Kasus Kelompok Tani Mulyo Jati, Mojokerto, Jawa Timur)
Kakao berperan penting di Indonesia dengan jumlah produksi 728.046 ton per tahun 2021 (Ditjenbun, 2021). Salah satu produk turunan biji kakao ialah cokelat bubuk yang dianggap menyehatkan tubuh karena kandungan polifenolnya. Kelompok Tani Mulyo Jati Mojokerto memproduksi produk olahan kakao termasuk cokelat bubuk. Masih sering ditemukan penyimpangan seperti biji tidak terpecah saat pemecahan biji, biji asing atau kotoran pada hasil roasting, berat produk akhir tidak sesuai, dan kemasan sobek. Masalah tersebut perlu diidentifikasi penyebab dan dicari solusi perbaikannya. Tujuan penelitian ialah mengidentifikasi penyimpangan dominan, penyebab dari tiap jenis penyimpangan dan merancang usulan perbaikannya. Metode pada penelitian ini yakni Six Sigma, Failure Mode and Effect Analysis serta Fault Tree Analysis. Pendekatan Six Sigma berperan meminimalisir variasi seluruh proses dengan konsep DMAI (Define, Measure, Analyze dan Improve). Metode ini diintegrasikan dengan FMEA untuk identifikasi peluang kegagalan selama proses produksi. Penyebab kegagalan dominan yang berdampak besar akan diketahui melalui RPN tertinggi. Selain itu dalam merancang usulan perbaikan digunakan FTA untuk mengetahui penyebab kegagalan secara rinci dari kegagalan paling dasar, sehingga usulan yang diberikan dapat sesuai dan diharapkan mampu mengatasi penyebab penyimpangan.
Hasil analisis menunjukkan terdapat tiga jenis penyimpangan dominan pada produksi cokelat bubuk yaitu biji tidak terpecah sempurna, biji utuh hasil roasting dan berat produk cokelat bubuk varian dark, milk dan hazelnut tidak sesuai. Proses pemecahan biji, roasting, dan pengemasan usaha Kelompok Tani Mulyo Jati memiliki nilai sigma 3,05; 4,57; dan 3,29 yang menunjukkan bahwa produksi cokelat bubuk masih kompetitif di industri pangan Indonesia. Metode FMEA disusun untuk mengetahui prioritas penyimpangan dominan dengan diperoleh hasil peringkat tertinggi perhitungan RPN sebesar 256 pada berat produk tidak sesuai akibat bubuk menggumpal; RPN tertinggi kedua pada biji tidak terpecah 192 disebabkan ukuran biji tidak seragam yang diayak pada ayakan dengan kemiringan lebih dari 40° sementara biji utuh hhasil roasting akibat tidak terpecah memiliki RPN 120. Metode FTA mengidentifikasi penyebab paling dasar dari kedua penyimpangan sehingga dapat ditentukan perbaikan yang tepat. Usulan perbaikan antara lain penegasan dan pemberlakuan SOP pada tiap stasiun kerja khususnya proses sortasi, pencampuran bahan, penyimpanan, dan pengemasan; peningkatan pengawasan oleh pemilik usaha atau pekerja khusus, pengaturan ulang tingkat kemiringan bidang sortasi tidak lebih dari 30o, penambahan ember plastik sebanyak 1-2 buah untuk tiap varian sebagai wadah penyimpanan, serta pelaksanaan briefing setiap pagi sebelum proses produksi berlangsung