Memahami Konsepsi “Kafir” pada Organisasi Keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah di Media Sosial

Abstract

Radikalisme muncul dan berkembang di latar sosial berbeda. Di Asia, radikalisme muncul dalam bentuk identitas kelompok agama seperti ekstrem Buddha di Myanmar, ekstrem Hindu di India, dan militan Muslim di Timur Tengah dan Asia, termasuk Indonesia. Pada perkembangannya, radikalisme mewujud dalam bentuk pelabelan seperti “kafir” yang membawa konsekuensi pada diskriminasi, terutama pada kelompok non-muslim. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah juga mengambil peran dalam penggunaan istilah ini. Riset ini berupaya untuk mengungkap konstruksi “kafir” oleh media di organisasi keagamaan melalui pendekatan semiotika struktural Saussure. Hasil riset menunjukkan bahwa organisasi Islam NU dan Muhammadiyah memiliki konstruksi berbeda terhadap istilah “kafir”. NU menyepakati bahwa terdapat dua konteks yang berbeda dalam penggunaan istilah “kafir”, yaitu dalam konteks keimanan (agama) dan konteks bernegara. NU merekomendasikan untuk menghilangkan penggunaan istilah “kafir” bagi non-muslim dan menggantinya dengan istilah muwathinun (warga negara) dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbeda dengan NU, Muhammadiyah menekankan bahwa penggunaan istilah “kafir” memiliki kecenderungan merujuk kepada non-muslim. Istilah “kafir” tidak boleh dihilangkan dalam ajaran Islam, namun penyebutan “kafir” perlu digunakan secara bijak. Komunikasi menjadi perantara sentral dalam diskursus tentang politik identitas di Indonesia

    Similar works

    Full text

    thumbnail-image

    Available Versions

    Last time updated on 16/11/2022