Setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 35/20121, hutan adat yang selama ini berada dalam kawasan hutan negara telah berganti status dari hutan negara ke hutan hak. Konsekuensi logis atas pengakuan ini adalah memastikan bahwa masyarakat adat memperoleh manfaat yang sepantasnya atas upaya mereka menjaga hutan selama ini. Di sini kehadiran Negara diharapkan agar biaya tak lagi ditanggung masyarakat adat sendiri dan manfaat yang dihasilkan dari konservasi hutan adat dapat pula dibagi ke masyarakat adat (baca: benefit sharing mechanism/BSM).
Namun, usulan-usulan mekanisme pembagian manfaat yang ada saat ini, terutama yang menggunakan pendekatan keuangan publik (public finance), baik di aras teoretis dan terlebih lagi di aras usulan praktis, cenderung salah kaprah, belum mencerminkan kondisi dan konteks kelembagaan di tanah air, serta bertentangan dengan aspirasi masyarakat adat. Merujuk pada kondisi di atas, maka penting untuk merancang mekanisme pembagian manfaat bagi masyarakat adat yang sepadan dengan prinsip keuangan publik dan desentralisasi fiskal dalam pengelolaan rente sumber daya alam, serta kelembagaan dan tata kelola dalam konteks sistem sosial-ekologis kehutanan.
Pada kajian ini, instrumen pendanaan untuk konservasi hutan adat akan difokuskan pada DBH kehutanan dan pertambangan. DBH dipilih untuk saat ini dengan pertimbangan diskresi pemerintah daerah dalam penggunaannya sehingga sebagian dapat didorong agar memenuhi aspirasi masyarakat adat. Kabupaten yang dipilih untuk merancang dan mengoperasionalkan mekanisme pembagian manfaat bagi konservasi hutan adat ini adalah Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi