PROSPEK PELAKSANAAN ILLICIT ENRICHMENT TERKAIT HAK ASASI MANUSIA

Abstract

Korupsi sebagai extra-ordinary crime memerlukan penanganan yang luar biasa untuk dapat mewujudkan pemberantasan korupsi yang optimal. Penindakan korupsi secara represif perlu mempertimbangkan 2 (dua) hal yakni aspek penjeraan bagi pelaku korupsi, dan pengembalian kerugian negara akibat korupsi. Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia selama ini baru menyentuh aspek penjeraan bagi pelakunya, dengan memberikan sanksi pidana yang berat bagi siapapun yang terbukti melakukan korupsi. Semestinya penindakan terhadap korupsi tidak lagi difokuskan pada pelaku (follow the suspect), akan tetapi difokuskan pada pengembalian asset korupsi (follow the money). Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anti Korupsi PBB (UNCAC) yang di dalamnya terdapat suatu norma yang mendukung mengenai pengembalian asset korupsi yakni illicit enrichment (peningkatan harta kekayaan secara tidak sah). Berdasarkan norma tersebut, memungkinkan dilakukannya perampasan asset tanpa adanya putusan hakim yang menyatakan kesalahan terdakwa. Mekanisme ini menarik untuk dikaji, karena akan lebih efektif untuk memberantas korupsi, oleh karena tanpa harus membuktikan bahwa terdakwa melakukan korupsi. Ketika terdakwa memiliki harta yang tidak sesuai dengan pendapatannya yang sah, dan ia tidak dapat menjelaskan sumber penambahan harta kekayaannya, illicit enrichment dapat diterapkan. Penerapan illicit enrichment ini didukung dengan mekanisme pembalikan beban pembuktian. Permasalahannya adalah apakah penerapan pembalikan beban pembuktian ini bertentangan dengan Hak Asasi Manusia? Artikel ini akan menjawab permasalahan tersebut dengan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan konseptual dan pendekatan perundang-undangan. Hasil dari penelitian ini adalah illicit enrichment mesti diterapkan sekalipun bertentangan dengan asas non-self incrimination oleh karena ada kepentingan yang lebih prioritas yakni pengembalian kerugian negara

    Similar works