Pertanggungjawaban Pidana Penyelenggara Pelayanan Kesehatan Terhadap Penelantaran Pasien Yang Berakibat Kematian

Abstract

Tindak pidana yang dilakukan oleh anak kerap terjadi kurun waktu tiga tahun ke belakang. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merilis data kenaikan jumlah pelaku tindak pidana sebanyak 9% dalam kurun waktu 3 tahun. Selain itu, Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak (LPKA) Jawa Barat tahun 2020 merilis terdapat 241 jumlah tahanan anak dan 429 napi anak. Banyak faktor penyebab anak melakukan tindak pidana, salah satunya menurut Hirschi adalah kontrol sosial yaitu attachment, responsibility, involvement, dan believe, dimana semakin positif ikatannya maka akan semakin rendah kemungkinan terjadi pelanggaran hukum pada anak. Menilik prinsip keadilan restoratif, ketika anak melakukan tindak pidana maka perlu dikembalikan ke kondisi semula dan tidak hanya sekedar menghukum atau membalas perilaku yang telah dilakukannya. Terkait hal tersebut, data tahanan anak dan napi anak menunjukkan adanya indikasi kurang optimalnya kebijakan keadilan restoratif pada proses penyelesaian perkara di luar peradilan pidana atau persidangan, maupun melalui proses peradilan pidana atau persidangan. Anak sebagai pelaku tindak pidana perlu penanganan secara tepat, hal ini karena memberi pengaruh atas masa depannya. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kontrol sosial dalam perspektif kriminologi yang mempengaruhi anak menjadi pelaku tindak pidana serta untuk mengetahui kebijakan keadilan restoratif pada anak sebagai pelaku tindak pidana. Jenis penelitian ini adalah deskriptif, dimana teknik analisis data yang digunakan adalah kualitatif, sedangkan pendekatan penelitiannya adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Subjek penelitian berjumlah 22 napi anak dan tahanan anak di salah satu Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) wilayah Jawa Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontrol sosial memberi pengaruh terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana, serta penyelesaian perkara anak sebagai pelaku tindak pidana berdasarkan kebijakan keadilan restoratif masih belum optimal karena banyaknya kegagalan diversi dan persentase cukup tinggi pada putusan pidana penjara yang seharusnya menjadi pilihan terakhir. Stigma masyarakat, di satu sisi, bahwa anak melakukan tindak pidana harus dipenjara masih tergolong besar. Trauma proses pemeriksaan, kehidupan penjara, sampai dengan stereotip mantan napi di sisi lain mempengaruhi fungsi psikologis anak, dimana mereka menjadi kurang percaya diri karena merasa tidak berharga, bahkan dapat menjadi salah satu penyebab untuk anak mengulangi kembali tindakannya (residivis) karena merasa tidak termaafkan meskipun sudah menjalani hukuma

    Similar works