Suatu tempat, kampung atau kota selalu beridentitas. Identitas―yang bisa berupa hasil produksi utama, arsitektur yang unik, atau peristiwa sosial-politik bersejarah―menjadi semacam roh pemberi makna pada kehidupan dan penghidupan warga setempat dan menjadi penanda awal bagi orang-orang luar yang ingin mengenal tempat, kampung atau kota lebih jauh. Pada tahun 1946 sekitar 74 laskar Hizbullah dan Fisabilillah, dua laskar yang berjuang untuk kemerdekaan penuh Indonesia, gugur di sebuah rumah berdinding kayu jati dalam penyerbuan tentara Belanda di Kampung Bugen, Kelurahan Tlogosari Kulon, Kecamatan Genuk, Semarang. Serdadu Belanda menguburkan jenasah-jenasah itu di sebuah lubah besar di depan rumah itu. Serdadu Belanda itu membuat lubang itu dengan meledakkan bom. Pada tahun 1960 pemerintah Indonesia berusaha memindahkan ke 74 kerangka laskar itu ke Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal, Semarang, namun warga Kampung Bugen meminta 34 kerangka itu ditinggal di Kampung Bugen untuk dibuatkan cungkub makam. Warga juga meminta Haji Mustofa, pemilik rumah berdinding kayu jati, untuk terus merawat rumah itu. Warga Kampung Bugen ingin kampung mereka dikenang sebagai sebuah kampung yang berperan dalam dekolonisasi Indonesia. Penelitian ini berupaya mengungkap bagaimana dan sejauh apa usaha warga kampung Bugen, warga kota Semarang dan pemerintah Kota Semarang dalam membentuk dan mengenalkan identitas kampung Bugen sebagai kampung yang berperan dalam proses dekolonisasi Indonesia
Kata Kunci: identitas tempat, dekolonisasi Indonesia, pembentukan ingatan, laskar Hizbullah, laskar Fisabilillah, Kampung Bugen/Kampung Syuhad