[Yogyakarta] : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada
Abstract
Perbedaan variasi genetik dari generasi ke generasi telah teramati pada berbagai spesies; dan diduga merupakan efek dari peruba.hanukuran populasi, serta terjadinya perubahan tingkatan selfing dan crossing dalam populasi. Hal ini berdampak pada peningkatan homozigositas dan penurunan diversitas genetik, yang akan menyebabkan turunnya fitness dan kemampuan hidup, serta terjadinya depresi silang-dalam dalam populasi. Introduksi cendana Santalurn album Linn, salah satu spesies dengan kategori vulnerable atau rentan untuk terancam punah ke Hutan Penelitian Wanagama dimulai pada tahun 1967 dengan ditanamnya sekitar 6800 batang pohon cendana di Petak 5. Oari jumlah tersebut, hanya sedikit yang mampu bertahan hidup dan menjadi cikal bakal tegakan cendana yang ada di Wanagama hingga saat ini. Selanjutnya, program pemuliaan pohon cendana dimulai dengan membangun uji provenan dari 7 sumber benih di Petak 18 pada akhir tahun 1993. Pada saat ini, regenerasi telah terjadi secara luas hingga radius lebih dari 5 km dengan hanya mengandalkan permudaan alam. Belum pernah dilakukan penelitian terhadap variasi genetik pada tegakan alam cendana di Wanagama; baik pohon induknya maupun anakan yang merupakan hasil permudaan alam. Variasi genetik anakan hasil permudaan alam dari pertanaman uji provenan juga belum pernah diamati.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan variasi genetik dari generasi tetua ke permudaan alamnya; dengan fokus pada (1) penentuan variasi genetik dalam dan antar populasi pada tanaman induk, termasuk pendeteksian alel langka tetua; (2) penentuan variasi genetik anakan hasil permudaan alam, termasuk pendeteksian alel yang punah pada generasi anakan tersebut; serta (3) perumusan strategi konservasi genetik cendana. Keragaman genetik dalam populasi diamati berdasarkan nilai frekuensi aiel, frekuensi genotipe, jumlah lokus yang polimorfik, jumlah alel per lokus, heterozigositas harapan, dan heterozigositas yang teramati.
Pada tingkatan hidup yang berbeda, teramati kecenderungan adanya penurunan frekuensi aiel tertentu pada tingkatan semai dibanding sapihan, bahkan terjadi kepunahan alel. Di sisi lain, peningkatan frekuensi alel terdapat pada sejumlah lokus yang diamati. Nilai heterosigositas harapan (He) maupun teramati (Ho) cenderung tetap pada dua tingkatan hidup yang berbeda.
Pada tingkatan fisiognomi yang berbeda, teramati kecenderungan adan¥a perubahan frekuensi aiel seiring dengan berubahnya tingkatan fisiognomi. Perubahan frekuensi alel seiring dengan tingkatan fisiognomi ini tidak teramati secara jelas pada level sapihan. Namun pada generasi selanjutnya yaitu level semai, perubahan ini teramati dengan jelas. Sejumlah alel menampakkan adanya peningkatan frekuensi, sedangkan pada alel yang lain, yang terjadi adaiah sebaliknya. Seiring dengan makin lanjutnya tingkatan fisiognomi, ternyata terjadi perubahan distribusi atau pola penyebaran aiel dalam suatu lokus tertentu. Nilai heterosigositas harapan (He) maupun teramati (Ho) untuk sapihan cenderung tetap pada tingkatan fisiognomi yang berbeda. Namun pada level semai, nilai ini ternyata cenderung bervariasi